![]() |
Abu ledakan bom. © Visoot Uthairam/Getty Images |
Kebodohan Amerika Serikat menyerang negara lain tak ada habisnya. Kali ini, mereka memakai dalih klasik nan membosankan: senjata pemusnah massal. Ya, Amerika Serikat serang Iran dengan gaya bak pahlawan film Hollywood—lengkap dengan bom, rudal, dan klaim kemenangan yang dibuat-buat.
Donald Trump, yang tampaknya lebih rindu main perang daripada main golf, langsung memamerkan keberhasilan pasukannya menghancurkan tiga fasilitas nuklir Iran. “Sukses besar,” katanya sambil senyum seperti baru menang lotre. Padahal, sejumlah senator di AS sendiri bilang, “Eh bro, itu melanggar konstitusi, lho.” Tapi ya namanya juga Trump. Peduli amat.
Satu hal yang pasti: Amerika Serikat masih yakin mereka adalah polisi dunia. Tapi jangan lupa, ini polisi yang sering nyelonong masuk rumah orang lain tanpa ketok pintu, terus lempar granat sambil bilang, “Tenang, ini demi keamanan kalian.”
Dari zaman Irak, Libya, sampai sekarang Iran, Amerika Serikat selalu punya hobi baru tiap dekade: invasi. Mereka bilang ingin menyelamatkan dunia, tapi yang hancur justru negara yang mereka kunjungi. Kali ini, giliran Iran jadi sasaran. Alasannya? Karena Iran “tidak melucuti senjata nuklir.”
Saking semangatnya, Amerika Serikat pakai pesawat pengebom dan kapal selam untuk menembakkan puluhan rudal. Tapi anehnya, Organisasi Energi Atom Internasional (IAEA) pernah bilang: menyerang fasilitas nuklir itu bisa membahayakan manusia dan lingkungan. Tapi ya, buat Amerika Serikat, semua itu cuma formalitas. Kalau sudah pengin perang, apapun bisa jadi dalih. Bahkan mimpi pun bisa dijadikan bukti.
Trump menyebut ini keberhasilan spektakuler. Tapi spektakuler buat siapa? Buat rakyat Iran yang panik? Buat anak-anak yang ketakutan? Atau buat pasar saham AS yang langsung cemas? Mungkin buat ego seorang Trump yang sedang haus panggung.
Bahkan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sudah keluarin surat perintah penangkapan untuk Benjamin Netanyahu. Tapi ya begitu, suratnya mungkin cuma cocok dijadikan wallpaper. Nyaring saat dibacakan, tapi taringnya tumpul. Amerika Serikat dan Israel? Tak tersentuh. Mereka terlalu sibuk memasarkan “perdamaian” lewat misil.
Kutukan dari negara-negara dunia? Biasa saja. Kecaman dari pemimpin dunia? Sudah jadi playlist harian. Semua dibalas dengan satu sikap: diam seribu rudal.
Pemerintah Indonesia tentu mengecam agresi ini—secara lisan. Lewat pernyataan resmi, kita bilang konflik seharusnya diselesaikan secara damai. Tapi di balik layar, kita juga sibuk menghitung berapa subsidi energi yang bakal bocor kalau harga minyak dunia naik.
Negara kita bukan pemain utama di panggung ini. Tapi, begitu harga minyak mentah naik, kita langsung kena getahnya. Kita bukan lagi eksportir migas, hanya penonton yang tiap hari dihantui harga BBM naik, subsidi energi bengkak, dan APBN yang ngos-ngosan.
Serangan ini bikin harga minyak global melonjak. Dolar AS juga makin gagah. Sementara rupiah? Ya, seperti biasa, melemah sambil minta dimengerti.
Kalau harga minyak naik 1 dollar AS, APBN bisa bocor Rp 10 triliun. Kalau naik sampai 30-40 dollar? Selamat datang defisit fiskal jumbo. Dan jangan lupa, subsidi energi juga akan meledak. Pemerintah akan pusing bukan karena rudal, tapi karena spreadsheet anggaran yang mendadak berdarah-darah.
Maka, rakyat pun harus siap: harga BBM naik, tarif transportasi ikut naik, harga sembako pun ikut-ikutan. Semua itu gara-gara dua kepala negara main-main di Timur Tengah sambil bawa bom.
Presiden Prabowo punya niat baik: membangun kemandirian energi. Tapi niat baik tanpa eksekusi ya cuma jadi quote motivasi di dinding kementerian.
Cetak biru kemandirian energi itu sudah ada. Tapi kalau hanya disimpan di lemari, sama saja bohong. Pemerintah harus mulai bergerak sekarang juga. Gunakan sumber daya yang ada dengan bijak, dorong investasi energi terbarukan, dan—yang terpenting—bereskan mafia energi yang sudah kadung jadi benalu negara.
Kalau masih ada yang main-main di sektor ini, sebaiknya diberi dua pilihan: minggir atau dipinggirkan. Karena kita sudah terlalu sering jadi korban dari harga minyak dunia yang kita sendiri tidak bisa kontrol.
Kita hidup di dunia yang katanya “beradab,” tapi perang masih jadi hobi. Negara-negara besar masih jualan rudal dengan kemasan “demokrasi,” sementara rakyat kecil harus beli beras mahal karena perang yang bahkan tidak mereka pahami.
Kalau kita tidak siap, kita akan terus jadi korban keadaan. Sekali harga minyak naik, dampaknya menyentuh semua sektor: transportasi, logistik, pangan, dan tentu saja, ekonomi rakyat jelata.
Karena itu, mitigasi bukan sekadar kata. Pemerintah harus menyiapkan langkah konkret. Bangun cadangan strategis, percepat transisi energi, dan atur ulang kebijakan fiskal. Jangan cuma berharap cuaca ekonomi global membaik dengan doa dan press release.
Saat Amerika Serikat serang Iran, yang menderita bukan hanya Iran, tapi seluruh dunia. Dunia tidak butuh pahlawan bersenjata, tapi pemimpin yang bisa berpikir jernih. Tapi sayangnya, yang kita punya malah mereka yang doyan berperang dulu, mikir belakangan.
Selama orang-orang seperti Trump dan Netanyahu masih main petasan nuklir di panggung dunia, kita semua hanya bisa bersiap: dompet menipis, harga BBM naik, dan masa depan yang makin buram.
Selamat datang di abad 21, di mana retorika perdamaian diucapkan sambil menekan tombol rudal. Dan selamat berjuang, Indonesia—semoga kita bisa bertahan, meski dunia semakin absurd.