![]() |
Uang rupiah koin. © I Made Dwipa Agastya/Shutterstock |
Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana: apa bedanya sinergi fiskal dan moneter dengan unicorn? Jawabannya: sama-sama belum pernah terlihat secara nyata di Indonesia. Dalam dongeng ekonomi versi pemerintah, harmonisasi fiskal dan moneter itu seperti cinta sejati—katanya ada, tapi bukti konkret hanya muncul di presentasi PowerPoint pejabat dan lembar-lembar APBN yang penuh jargon.
Di tengah dunia yang makin absurd—harga minyak naik turun, perang dagang jadi sarapan harian, dan suku bunga global bikin jantung pelaku usaha berdebar lebih keras dari nonton final Liga Champions—Indonesia justru tampil seperti orkestra yang dirigen dan pemainnya sibuk main lagu sendiri-sendiri.
Satu sisi, Kementerian Keuangan bilang: "Kita genjot belanja produktif, bro!" Di sisi lain, Bank Indonesia jawab, "Kita rem ekonomi dulu, sis!" Lalu warga di tengah cuma bisa berkata, "Jadi yang bener yang mana, nih?"
APBN 2025 katanya sudah disusun dengan bijaksana. Defisit 2,45 persen, belanja infrastruktur tetap jalan, pendidikan dikasih jatah, kesehatan dapet remah-remah. Tapi jangan lupa: setengah dari belanja negara itu buat bayar utang. Lalu dari mana sisanya buat bangun mimpi?
Tiba-tiba, muncul kebijakan insentif pajak buat investor dan UMKM. Bagus. Tapi ketika warga negara mulai senyum, Bank Indonesia datang membawa kabar gembira: suku bunga acuan naik jadi 6,25 persen. Coba tebak siapa yang langsung panik? Ya, pelaku UMKM yang tadi katanya mau diselamatkan fiskal, kini dicekik moneter.
Pemerintah bilang kita butuh shock absorber. Tapi yang terjadi justru shock doang, tanpa absorber. UMKM udah ngos-ngosan, kredit macet naik, rumah tangga bingung mau bayar cicilan atau beli beras. Semua ini karena koordinasi fiskal dan moneter kita cuma selaras di kata sambutan, bukan di aksi nyata.
Oh ya, jangan lupa soal forum koordinasi bernama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Katanya, ini forum sakral tempat Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS duduk bareng. Tapi kalau kamu bayangkan mereka duduk serius sambil bahas strategi nasional, salah besar. Yang terjadi bisa jadi lebih mirip arisan ibu-ibu kompleks: rame, seru, tapi gak ada follow-up yang jalan.
KSSK ini ibarat band yang anggotanya jago semua, tapi gak pernah latihan bareng. Akibatnya, pas tampil, bass main reggae, gitar main rock, drum malah jazz fusion. Dan warga negara? Dengar konsernya sambil nangis, bukan karena terharu, tapi karena pusing bayar utang dan bunga.
Sementara negara-negara lain udah adopsi strategi super advance, kita masih sibuk bikin studi kelayakan yang kelayakannya dipertanyakan. Lihat India: mereka agresif tarik investor ritel masuk pasar obligasi domestik. Lihat Kenya dan Brasil: mereka integrasikan bantuan sosial dan sistem pembayaran digital.
Kita? Masih sibuk nyalahin anggaran telat cair atau software lelet saat e-budgeting. Padahal, ini zaman TikTok, bukan era pager. Tapi tampaknya, koordinasi fiskal dan moneter kita masih pakai SOP dari zaman Orde Baru. Bahkan bisa dibilang, Orde Baru pun dulu lebih disiplin, walau tentu saja penuh dosa-dosa lainnya.
Ingat gak waktu Bank Sentral Eropa bikin konferensi pers rutin tiap ngubah suku bunga? Atau waktu The Fed rilis ringkasan logika kebijakan mereka, lengkap dengan infografis? Nah, coba bandingkan sama BI. Rilis suku bunga naik, tapi tanpa penjelasan kenapa, untuk siapa, dan dampaknya apa.
Mereka lupa, warga bukan cuma butuh angka, tapi butuh narasi. Tanpa itu, publik jadi spekulatif, lalu pasar panik. Pemerintah dan bank sentral jadi seperti pasangan toxic: saling tuding di depan umum, tapi bilang "kita baik-baik saja" pas sesi wawancara.
Lihat Chile. Mereka pakai fiscal rule berbasis harga komoditas. Lihat Korea Selatan. Mereka punya Economic Policy Coordination Meeting yang aktif. Singapura? Mereka gabung regulator fiskal dan moneter di satu badan. Sementara kita? Kita punya niat. Dan niat saja tidak cukup, Bung.
Yang dibutuhkan sekarang bukan cuma konsep dan istilah keren. Kita perlu mekanisme pra-konsultasi nyata antara BI dan Kemenkeu. Bukan sekadar tukeran slide presentasi, tapi benar-benar duduk bareng bahas risiko, target, skenario, dan siapa ngapain di lapangan.
Dan—ini penting—tahan ego masing-masing lembaga. Karena selama masih ada "gue lebih penting dari lo", maka harmonisasi fiskal dan moneter hanya akan jadi tema seminar, bukan kebijakan nyata.
Indonesia punya modal ekonomi bagus. Tapi kalau kebijakan ekonominya jalan sendiri-sendiri, kita ibarat punya mesin Ferrari tapi dipakai buat narik gerobak. Bisa jalan sih, tapi nggak maksimal dan bikin malu.
Jadi, wahai para pejabat fiskal dan moneter, sebelum kalian bikin lagi forum atau strategi 2045, tolong duduk bareng, ngopi, lalu kerja bareng. Jangan cuma selfie bareng di Instagram resmi kementerian. Kami warga negara bukan butuh pencitraan, tapi butuh stabilitas harga, pekerjaan, dan masa depan yang jelas.
Karena harmonisasi fiskal dan moneter bukan mitos, kalau kalian serius. Tapi kalau terus begini, ya maaf, kami anggap saja kalian sedang menulis novel fiksi ekonomi berjudul "Koordinasi Tanpa Aksi."