Daya upaya manipulasi sejarah Indonesia

Penulisan ulang sejarah versi penguasa: dari penghilangan tragedi HAM hingga pengaburan fakta sejarah.
Upaya memanipulasi sejarah Indonesia. © Jackie Allee/iStock
Penghapus dan pensil. © Jackie Allee/iStock

Warga negara sudah kenyang dengan manipulasi. Dari angka kemiskinan yang katanya turun tapi dompet tetap kempes, sampai survei elektabilitas yang makin jauh dari kenyataan. Tapi yang satu ini beda level: pemerintah kini mencoba memoles bukan masa kini, melainkan masa lalu—sejarah Indonesia.

Dan tentu saja, siapa sutradaranya? Tak lain tak bukan: Menteri Kebudayaan Fadli Zon, tokoh yang lebih sering muncul dalam meme ketimbang karya budaya.

Ya, Fadli Zon dan upaya manipulasi sejarah Indonesia bukan sekadar kabar burung. Ini fakta nyata dalam bentuk proyek penulisan ulang sejarah nasional yang konon ingin "meluruskan" narasi, padahal yang terjadi justru melenceng ke tikungan tajam tanpa rem.

Sejak awal diumumkan, proyek ini sudah bikin alis warga naik sebelah. Baru juga mulai, istilah yang dipakai sudah aneh bin ajaib. Sampai-sampai seorang profesor sejarah memilih mundur, mungkin karena takut sakit kepala akut atau kehilangan nalar akademis.

Tapi yang bikin geleng-geleng kepala datang di jilid 9. Ini bukan novel fiksi, tapi buku sejarah resmi yang mengisahkan masa Orde Baru. Dalam bab ke-7, tampak ada niat setengah hati menulis tragedi HAM. Tapi sayangnya, daftar tragedi itu lebih pendek dari daftar belanja mahasiswa kos.

Cuma ada Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989. Lalu, ke mana perginya krisis moneter 1997? Ke mana kerusuhan dan pemerkosaan massal Mei 1998? Penghilangan aktivis? Tragedi Trisakti dan Semanggi? Di-ghosting begitu saja dari sejarah resmi republik ini.

Padahal, tragedi-tragedi itu masuk dalam buku sejarah sekolah. Lho, jadi anak-anak di sekolah sekarang diajarkan sejarah yang lebih jujur daripada versi pemerintah? Atau ini upaya mengubah pelajaran sejarah jadi dongeng pengantar tidur buat penguasa?

Puncak absurditas terjadi ketika Fadli Zon dengan entengnya menyatakan tidak ada bukti soal pemerkosaan massal Mei 1998. Ia menyebut itu hanya rumor, seolah-olah ratusan kesaksian korban dan investigasi lembaga independen hanya isapan jempol.

Maaf Pak Menteri, ini bukan soal perasaan atau opini pribadi. Ini soal dokumen resmi negara. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sendiri menyatakan bahwa dapat disimpulkan telah terjadi pemerkosaan oleh sejumlah pelaku terhadap sejumlah perempuan di berbagai tempat secara serentak.

Tapi mungkin, bagi Fadli, TGPF adalah singkatan dari "Tim Ghibah Penuh Fantasi."

Pernyataan tak berperasaan itu langsung dihantam protes dari berbagai kelompok masyarakat sipil. Bahkan survivor tragedi Mei 1998 pun bersuara. Tapi sayangnya, suara mereka tak cukup keras menembus dinding tebal kekuasaan yang merasa dirinya pemilik kebenaran tunggal.

Yang bikin masyarakat tambah curiga adalah motif di balik kasak-kusuk penulisan ulang sejarah ini. Apakah ini sekadar salah ketik? Atau memang disengaja sebagai cara paling elegan untuk menghapus dosa kolektif para elite masa lalu?

Kalau benar ini bagian dari kampanye abadi demi ambisi politik 2029, maka sejarah kita sedang dijadikan alat kosmetik: dipoles, disamarkan, dan dijadikan brosur yang membanggakan sekaligus menyesatkan.

Sejarah jadi alat branding. Dari Orde Baru sampai reformasi dipotong seenaknya, disajikan dalam bentuk instastory yang bisa hilang dalam 24 jam.

Selama ini kita sering dengar adagium, "sejarah ditulis oleh pemenang." Tapi kita tak menyangka akan menyaksikan itu secara vulgar di abad ke-21, dengan dana APBN dan stempel resmi Kementerian.

Waktu bilang sejarah ditulis oleh pemenang, kita kira itu metafora. Ternyata sekarang literal: sejarah ditulis, disensor, dan dibacakan oleh yang menang pemilu.

Dan yang kalah? Dilupakan. Bahkan dihapus dari buku pelajaran. Mereka yang pernah berjuang di jalan, tertembak di kampus, disiksa karena beda pendapat—semua jadi catatan kaki tak penting.

Pemerintah seharusnya sadar, publik hari ini bukan warga '80-an yang hanya bisa mendengarkan siaran tunggal TVRI. Ini zaman ketika satu penghapusan fakta bisa langsung dibandingkan dengan arsip internet dan video YouTube yang tak bisa dimanipulasi.

Ketika warga negara bersuara, jangan disamakan dengan lag spike di jaringan Wi-Fi. Itu bukan error. Itu sinyal peringatan bahwa bangsa ini tidak ingin sejarahnya dikorupsi.

Sayangnya, pemerintah tampaknya lebih memilih mendengar suara mesin fotokopi ketimbang suara korban.

Sejarah adalah milik publik. Milik orang-orang yang pernah mengalami dan menjadi saksi peristiwa. Bukan milik negara, apalagi milik menteri.

Sejarah harus ditulis berdasarkan data, fakta, dan kesaksian. Kalau sejarah bisa dipelintir sesuka penguasa, maka masa depan kita akan dibangun di atas kebohongan. Dan bangsa yang tumbuh dari kebohongan tak akan pernah benar-benar maju—cuma jago bikin baliho.

Kalau pemerintah masih punya sisa akal sehat dan empati, segera evaluasi proyek penulisan ulang ini. Libatkan sejarawan, aktivis HAM, korban, dan publik secara luas. Jangan jadikan sejarah sebagai alat propaganda atau pelindung bagi elite yang ingin bersih-bersih rekam jejak.

Jangan bikin generasi mendatang hidup dalam kebohongan kolektif, hanya karena generasi hari ini takut mengakui luka.

Karena kalau sejarah dibelokkan sekarang, bersiaplah melihat bangsa ini nabrak tembok di masa depan. Dan jangan salahkan warga negara jika kelak menulis ulang sejarah versi mereka sendiri—dengan tinta kemarahan.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar