Bobby gagal kuasai empat pulau Aceh

Sengketa pulau antara Sumut dan Aceh berakhir di tangan Prabowo, tapi hujatan ke Bobby belum reda.
Bobby gagal kuasai empat pulau Aceh. © Galih Pradipta/Antara
Konferensi pers Gubernur Aceh, Sumut, dan Mendagri. © Galih Pradipta/Antara

Apa jadinya jika seorang gubernur mencoba “memungut” empat pulau yang ternyata bukan miliknya, lalu disoraki warganet seantero negeri? Ya, seperti itulah nasib Bobby Nasution, Gubernur Sumatera Utara yang kini sedang uninstall aplikasi Instagram secara spiritual—karena kolom komentarnya tak lagi ramah, melainkan seperti panggung debat publik tanpa moderator.

Kisah ini bukan soal pulau semata, melainkan tentang kuasa, ego, dan aroma dinasti yang entah mengapa masih lengket seperti lem UHU politik Indonesia.

Pada Selasa, 17 Juni 2025, Presiden Prabowo menetapkan bahwa empat pulau yang diperebutkan—Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—adalah milik Aceh. Game over untuk Sumut. Dan tentu saja, semua mata langsung tertuju pada Bobby, sang menantu Jokowi, yang wajahnya mendadak muncul di semua lini masa dengan caption beragam: dari sindiran satire sampai panggilan halus untuk mundur.

Sengketa ini muncul gara-gara Kepmendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang tiba-tiba seperti pesulap—memindahkan pulau-pulau yang selama ini dianggap milik Aceh ke peta Sumatera Utara. Sebuah trik administratif yang membuat warga Aceh naik pitam dan warganet bingung: kok bisa?

Keputusan ini bikin panas, karena sejarahnya bukan baru kemarin sore. Sengketa wilayah ini sudah ada sejak Bobby masih memakai popok. Tapi entah kenapa, justru ketika Bobby jadi gubernur, status empat pulau itu berubah, dan publik pun mulai mengaitkannya dengan aroma khas politik dinasti: manuver kekuasaan yang dibalut keputusan administratif.

Sejak keputusan Kemendagri muncul, akun Instagram Bobby tak lagi indah seperti filter Paris. Kolom komentarnya berubah jadi panggung stand-up comedy politik. Ada yang menyebut dia blunder, ada yang bilang ini karma politik, bahkan ada yang meminta Bobby belajar dari budaya Jepang: kalau gagal, mundur.

Lebih pedas dari sambal setan, komentar warganet mulai menguliti setiap ucapan Bobby. Termasuk pernyataan ajaibnya bahwa ketika sengketa bermula, dia baru berusia satu tahun. Maksudnya mungkin mau bilang "saya nggak tahu-menahu," tapi di telinga warganet, itu terdengar seperti "bukan salah saya, salah bayi tahun 1991."

Setelah drama ini makin memanas dan warga mulai lebih paham peta daripada pejabat, Presiden Prabowo akhirnya turun tangan. Dalam rapat terbatas, ia memutuskan empat pulau yang diperebutkan adalah milik Aceh.

Dan Bobby pun berdiri di konferensi pers dengan wajah datar (mungkin juga lelah), menyampaikan bahwa warga Sumut harus legowo. Sebuah pesan damai yang terdengar indah, meski gagal meredakan tsunami kritik.

Pesan legowo ini seperti lagu sedih yang diputar setelah konser gagal. Maksudnya baik, tapi suasananya tak lagi mendukung.

Walau Bobby sudah menyatakan menerima keputusan presiden, warganet belum selesai. Kolom komentarnya masih seperti forum debat daring, lengkap dengan tag akun Mendagri Tito Karnavian agar ikut bertanggung jawab.

Ada pula yang menyarankan reshuffle kabinet atau minimal reshuffle pikiran para pejabat yang ikut merancang kepindahan pulau lewat kertas dan stempel.

Apapun yang dikatakan Bobby, semua sudah telanjur dicurigai sebagai manuver politik. Ya, nasib jadi pejabat dengan status "menantu Jokowi": langkahmu seperti catur, tapi papan mainnya diatur warganet.

Inti dari semua sindiran ini bukan hanya soal empat pulau, tapi lebih pada ketidakpercayaan publik terhadap elit yang dianggap “bermain wilayah” demi gengsi politik.

Isu dinasti politik tak bisa dielakkan. Sejak Bobby mencalonkan diri, banyak yang sudah bersiap dengan kacamata sinis. Dan begitu ada sengketa pulau—langsung diasumsikan sebagai "pengembangan wilayah" demi memperbesar peta kekuasaan.

Padahal, jika pulau-pulau ini memang benar milik Aceh secara historis, maka mengklaimnya sama saja seperti ngaku-ngaku pacar orang: belum tentu berhasil, tapi pasti malu kalau ketahuan.

Yang paling menarik dari kisah ini adalah kejelian warganet. Publik sekarang tak bisa dibodohi hanya dengan rapat tertutup dan konferensi pers.

Mereka bisa lacak sejarah, peta, bahkan siapa pemilik sertifikat tanah kalau perlu. Jadi, saat keputusan Mendagri terbit, publik langsung membedahnya seperti tesis.

Meskipun Prabowo sudah memutuskan, polemik ini belum benar-benar usai. Karena masalahnya bukan hanya pada kepemilikan empat pulau, tapi pada bagaimana cara para pemimpin kita menjalankan logika hukum, wilayah, dan etika.

Saat Bobby menyebutkan bahwa masyarakat harus bersaudara dan jangan terpecah, warganet membalas dengan "iya, bersaudara—tapi jangan rebutan warisan."

Pulau mungkin sudah kembali ke Aceh. Tapi citra Bobby? Masih nyasar entah ke mana.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar