Dua raksasa digital kawin paksa

KPPU kasih syarat, Tiktok senyum-senyum: akuisisi Tokopedia bisa jadi resep rahasia monopoli ala algoritma.
Akuisisi Tokopedia oleh Tiktok berpotensi monopoli digital. © Andri wahyudi/Shutterstock
© Andri wahyudi/Shutterstock

Kabar bahagia datang dari dunia e-commerce yang makin hari makin seperti sinetron: penuh drama, penuh akuisisi, dan penuh algoritma. Kali ini, sang bintang utama adalah pengambilalihan saham Tokopedia oleh Tiktok Nusantara Pte Ltd. Ya, benar. Tiktok, aplikasi favorit sejuta warganet buat nonton joget-joget dan life hack sulap sabun jadi kecap, resmi menguasai 75,01 persen saham Tokopedia.

Tapi seperti di sinetron, tiap kebahagiaan harus diiringi dengan konflik. Di sinilah masuk tokoh baru: Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam peran sebagai penengah drama digital ini, KPPU nggak langsung bilang "yes, silakan nikah." Mereka justru bilang, "ya boleh, tapi..."

KPPU memberikan restu dengan label persetujuan bersyarat. Selama dua tahun ke depan, Tiktok dan Tokopedia harus membuktikan bahwa mereka bukan pasangan beracun buat pasar digital Indonesia. Bayangkan: selama dua tahun, mereka wajib setor laporan tiga bulanan berisi data pendapatan, komisi, biaya langsung dan tak langsung, daftar tukang kirim, bahkan laporan perasaan (eh, belum).

Dan jangan salah, mereka juga dilarang melakukan predatory pricing, nggak boleh membatasi penjual promosi di luar platform, apalagi menutup akses ke metode pembayaran dan logistik lain. Pendek kata, jangan jadi buaya darat digital.

Tiktok langsung pasang senyum manis, seperti biasa. Mereka bilang mereka "mengapresiasi keputusan KPPU" dan tetap berkomitmen pada persaingan usaha sehat. Biasa lah, template corporate PR 101: bilang iya, lalu gas pelan-pelan.

Mari kita lihat apa yang bikin KPPU gelisah. Ada empat dosa besar yang jadi perhatian:

  1. Konsentrasi pasar tinggi: Dua nama besar, Tiktok dan Tokopedia, gabung jadi satu. Kalau pasar digital ini kayak turnamen bulutangkis, maka gabungnya Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon dengan ganda campuran favorit netizen.

  2. HHI naik tajam: HHI atau Herfindahl-Hirschman Index bukan kode Wi-Fi tapi alat ukur seberapa “monopoli” pasar kita. Dan hasilnya? Ya, tinggi. Gak enak dilihat—kecuali buat investor.

  3. Efek unilateral: Entitas baru ini bisa dengan santainya menaikkan harga karena sudah pegang kendali pasar. Nggak usah diskon 11.11 lagi, cukup pasang harga, dan pembeli pasrah.

  4. Efek jaringan: Mirip MLM, makin besar jaringannya, makin kuat kendalinya. Apalagi Tiktok punya konten, Tokopedia punya logistik. KPPU takut ini jadi ikatan tak kasat mata yang bikin UMKM makin minggir.

Dengan kata lain, akuisisi Tokopedia oleh Tiktok bukan sekadar merger biasa. Ini adalah potensi kooptasi besar-besaran atas ekosistem digital Indonesia. Dari cara orang belanja, bayar, kirim barang, bahkan cara orang promosiin jualan bisa dikendalikan dari satu ruang server.

KPPU bilang ini berpotensi melanggar Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Tapi yang menarik adalah... KPPU tetap kasih izin. Iya, dengan syarat. Tapi tetap izin.

Bayangkan begini: seseorang ketahuan berpotensi mencuri, lalu disuruh janji dulu buat tidak mengulangi, terus dilepas. Apakah ini penegakan hukum? Atau parenting ala lembaga negara?

Dalam pernyataan persnya, Tiktok bilang mereka ingin menciptakan ekosistem digital yang adil dan inklusif. Manis sekali. Tapi jangan lupa, ini juga perusahaan yang pernah bikin regulasi dagang jadi jungkir balik. Ketika Tiktok Shop sempat ditutup karena jualan bersaing tak sehat, mereka malah datang lagi... dengan uang dan strategi akuisisi.

Apakah itu salah? Tidak, kata kapitalisme. Tapi apakah itu sehat buat pasar? Nah, itu pertanyaannya.

UMKM—yang sering dipamerin di seminar, jadi bahan quotes menteri, dan dibanggakan tiap Hari UMKM Nasional—sekarang berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, mereka bisa jualan di Tokopedia dan Tiktok. Tapi di sisi lain, mereka juga bisa digusur dari beranda hanya karena algoritma lebih suka merek besar dengan anggaran iklan ratusan juta.

Dan jangan lupa, siapa yang bisa akses "boosting" dan "ads"? UMKM yang modal pas-pasan atau korporasi yang bisa beli prime slot setiap jam makan siang?

KPPU memberi tenggat dua tahun untuk "mengawasi" kelakuan entitas baru ini. Tapi maaf, kita hidup di negara yang kadang suka amnesia institusional. Siapa yang jamin laporan per tiga bulan itu betul-betul dibaca, dicek, dan dianalisis? Siapa yang jamin, dua tahun itu tidak hanya jadi masa "adaptasi dominasi" sebelum akhirnya semua orang pasrah?

Kita bicara soal dua entitas yang masing-masing punya kekuatan besar: Tiktok mengendalikan perhatian, Tokopedia menguasai transaksi. Kalau digabung? Mereka bukan cuma tahu apa yang kamu mau, tapi juga kapan kamu akan beli, dari siapa, dan dengan ekspedisi mana.

Sebelumnya, orang scrolling Tiktok buat cari hiburan, lalu beli barang di marketplace lain. Sekarang? Konten dan belanja sudah dalam satu platform. Kamu nonton video orang masak, klik panci, beli langsung, dan semua transaksi ditangani oleh satu perusahaan. Nyaman, ya? Tapi nyaman tidak selalu berarti sehat—apalagi untuk pasar.

Akuisisi Tokopedia oleh Tiktok ini adalah langkah strategis yang sangat menguntungkan... buat mereka. Buat konsumen dan pelaku usaha kecil, ini seperti nonton pertarungan dua titan dari jauh, sambil berharap kita nggak ketiban reruntuhannya.

KPPU sudah kasih syarat, tapi sejarah menunjukkan bahwa dominasi digital bukan cuma soal laporan dan regulasi, tapi soal ketimpangan struktur kuasa. Dan ketika satu entitas pegang distribusi, promosi, transaksi, dan data—itu bukan cuma akuisisi.

Itu sudah masuk kategori kolonialisasi digital versi terbaru: pakai algoritma, bukan artileri.

Siap-siap, kita memasuki era ketika satu aplikasi bisa tahu kamu lapar, rekomendasikan mie instan, lalu suruh ojol kirim ke rumah... semua tanpa kamu sadar kamu sedang dikendalikan.

Selamat datang di Tokotiktopedia.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar