Dompet Wilmar lebih meyakinkan dari dakwaan jaksa

Grup Wilmar kembalikan 11,8 triliun dalam kasus korupsi ekspor sawit 2022. Meski mengaku bersalah lewat dompet, vonis lepas tetap berlaku.
Dompet Wilmar lebih meyakinkan dari dakwaan jaksa. © Bayu Pratama S/Antara
Barang bukti uang. © Bayu Pratama S/Antara

Akhirnya ada juga terdakwa korporasi yang sadar bahwa "dosa" keuangan negara bisa dibayar kontan—literally dibayar kontan. Grup Wilmar, raksasa industri sawit yang sempat disebut dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah 2022, memutuskan untuk mengembalikan uang 11,8 triliun. Tapi jangan salah, ini bukan karena mereka tobat, melainkan karena sistem hukum kita membuka pintu maaf selebar rekening offshore.

Apa yang bisa dipelajari dari kasus ini? Sederhana: jika Anda perusahaan besar dan kebetulan tersandung korupsi, cukup pulangkan uang, tersenyumlah, dan tunggu kejaksaan datang dengan karpet merah, bukan borgol.

Ceritanya begini. Tahun 2022, negara mengalami krisis minyak goreng, warga antre, emak-emak menjerit, tukang gorengan hampir pensiun dini. Di sisi lain, tiga grup besar—Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau—diberi "fasilitas" ekspor sawit yang pada akhirnya terbukti menguntungkan secara ilegal. Alias, korupsi kelas kakap.

Mereka dituduh melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Tapi hebatnya, pada sidang awal di Pengadilan Tipikor, ketiga perusahaan itu dinyatakan… lepas dari segala tuntutan hukum! Alias "onslag"—istilah hukum yang kalau diterjemahkan bebas artinya: "Kami tahu kamu melakukan itu, tapi kami tidak mau menghukum kamu."

Nah, jaksa tidak puas. Maka mereka naik kasasi ke Mahkamah Agung. Di tengah jalan, Grup Wilmar datang membawa kabar: "Kami pulangkan uang, nih, 11,8 triliun." Jangan salah paham. Ini bukan sedekah. Ini juga bukan CSR. Ini upaya memperbaiki citra lewat transfer bank jumbo.

Dan sakti betul langkah itu. Karena mendadak banyak pejabat yang tersentuh hatinya. Bahkan Kejagung pun menyebut langkah Wilmar sebagai "langkah bijak dan patut dicontoh." Rasanya seperti menonton sinetron di mana tokoh antagonis tiba-tiba tobat karena menangis dan menyumbang masjid.

Lalu bagaimana nasib dua terdakwa lainnya, Musim Mas dan Permata Hijau? Sampai artikel ini ditulis, keduanya belum setor. Tapi Kejagung berharap—ya, berharap—mereka ikut langkah Wilmar. Seakan hukum kini berbasis niat baik, bukan pembuktian bersalah.

Bahkan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, bilang, "Pengembalian ini akan menjadi contoh." Benar, Pak. Contoh bahwa kejahatan bisa jadi investasi. Curi dulu, setor kemudian, dan pulang tanpa noda.

Dan jangan lupakan: kasus ini belum inkrah. Masih proses kasasi. Tapi uang sudah disita, dan korporasi sudah dielu-elukan. Kalau nanti Mahkamah Agung tetap membebaskan mereka, akan makin jelas bahwa dalam dunia korupsi Indonesia, uang memang bisa beli semuanya—bahkan penghapus dosa.

Wilmar tak sendiri. Di bawah payung besarnya, ada lima anak perusahaan yang menyetor uang itu: PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Totalnya? 11,8 triliun, dikirim ke Rekening Penampungan Jampidsus.

Lucunya, uang itu langsung disita untuk masuk memori kasasi. Logikanya: ini belum dinyatakan bersalah, tapi uangnya sudah dianggap hasil kejahatan. Bingung? Sama. Ini seperti seseorang yang belum terbukti maling, tapi dompetnya disita dan dijadikan bukti bahwa dia maling, sambil tetap diperlakukan sebagai bukan maling. Hukum kita memang fleksibel, selentur hati warganet saat lihat diskon Shopee 90 persen.

Sutikno dari Kejagung menyebut bahwa Musim Mas dan Permata Hijau masih bisa ikut mengembalikan kerugian negara. Tapi tak ada tekanan, hanya harapan. Ini bukan pengadilan, ini seperti acara reuni keluarga besar: "Yuk, yang belum transfer, ditunggu ya. Jangan bikin malu keluarga."

Yang membuat ini makin menyedihkan adalah kenyataan bahwa keputusan "onslag" masih berlaku. Artinya, secara hukum, korporasi-korporasi ini tetap bebas. Maka, pengembalian uang tidak mengubah status, hanya memperbaiki penilaian publik (kalau publiknya gampang lupa).

Pertanyaannya: apakah pengembalian uang membuat kejahatan terhapus? Kalau begitu, kenapa maling ayam tetap masuk bui walau ayamnya dikembalikan? Kenapa ibu-ibu yang ketahuan ambil minyak goreng dua kali di warung dibentak-bentak? Karena mereka tidak punya 11,8 triliun, tentu saja.

Inilah Indonesia 2025: di mana hukum tidak hanya tumpul ke atas, tapi juga punya fitur cashback. Curi besar, setor balik, bebas. Sementara warga negara biasa yang salah parkir saja bisa digembok, digeret, dan didenda tanpa pengampunan.

Akhirnya kita belajar bahwa dalam urusan korupsi korporasi, uang bisa membersihkan nama secepat disinfektan. Pengembalian uang menjadi "kebajikan" baru. Tak perlu minta maaf, cukup transfer dan tersenyumlah ke kamera pers.

Grup Wilmar sudah membuktikan: keadilan bisa dibeli, asal bawa nota yang cukup besar. Dan jangan salah, ini bukan satire sepenuhnya. Ini realita yang terlalu aneh untuk dianggap fiksi, dan terlalu sistemik untuk disebut kebetulan.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar