![]() |
Kerusuhan Mei '98. © Patrick Aventurier/Getty Images |
Indonesia mungkin negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tapi soal mengakui dosa masa lalu? Juara satu dalam kategori "amnesia selektif nasional." Sudah 27 tahun sejak tragedi pemerkosaan etnis Tionghoa pada 1998, tapi yang dilakukan negara cuma satu: membiarkan kasus ini jadi koleksi debu di rak sejarah.
Perempuan-perempuan Tionghoa yang menjadi korban kekerasan seksual sistematis pada Mei 1998 terus menunggu keadilan yang tak kunjung datang, seolah-olah negara berkata, "Sudah, jangan dibahas lagi, nanti ganggu investasi."
Pada 1998, Indonesia ambruk karena krisis ekonomi. Harga melambung, warga kelaparan, dan siapa yang disalahkan? Bukan sistem yang rusak, bukan kroni-kroni penguasa, tapi etnis Tionghoa. Mereka dijadikan kambing hitam, bukan karena fakta, tapi karena propaganda.
Toko dibakar, rumah dijarah, manusia dibantai. Di antara korban, perempuan menjadi sasaran paling keji—diperkosa, disiksa, dan diperlakukan lebih buruk dari binatang. Tapi setelah itu, yang dilakukan pemerintah? Mengutuk sambil ngopi, lalu menyuruh warga negara melupakan semuanya demi "stabilitas nasional."
Kita bicara soal teror negara yang tidak hanya merampas harta dan nyawa, tapi juga tubuh dan harga diri. Pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dilakukan secara terorganisir. Itu bukan kekacauan spontan, tapi lebih seperti operasi intelijen cabul yang menyasar perempuan sebagai simbol kehormatan komunitas.
Keterangan saksi menunjukkan banyak pemerkosaan dilakukan secara beramai-ramai. Beberapa korban bahkan disiksa menggunakan benda tajam—sebuah bentuk penyiksaan yang jelas-jelas dirancang untuk menimbulkan trauma mendalam. Tapi lucunya, pemerintah tak pernah mengakui adanya pola sistematis. Mereka pikir semua ini sekadar "kecelakaan sejarah."
Jika Anda berpikir negara peduli dengan suara korban, mari kita kenalkan Ita Martadinata. Ia adalah korban sekaligus aktivis yang hendak bersaksi di forum PBB. Tapi sebelum ia sempat bicara, ia ditemukan tewas mengenaskan di rumahnya. Pemerintah menyebut pelakunya "perampok panik," tapi aktivis tahu: ini adalah pesan. Bukan hanya untuk Ita, tapi untuk semua yang berniat membongkar borok negara.
Komnas HAM sudah lama menyerahkan laporan ke Kejaksaan Agung, tapi apa yang dilakukan Jaksa? Mungkin sibuk urus kasus-kasus pencemaran nama baik influencer, sementara pemerkosaan massal dianggap tidak urgent.
Tidak ada penyidikan, tidak ada langkah konkret, dan tidak ada rasa malu. Jika pelanggaran HAM berat dianggap sepele, maka kita tahu bahwa supremasi hukum di negeri ini hanya berlaku untuk maling sandal, bukan untuk pelaku pemerkosaan massal.
Presiden Joko Widodo sudah mengakui bahwa tragedi Mei 1998 termasuk dalam pelanggaran HAM berat. Tapi sayangnya, pengakuan ini lebih mirip pidato perpisahan ketimbang niat penyelesaian. Tim PPHAM yang dibentuk malah dibiarkan mati perlahan karena Perpres-nya tidak diperpanjang. Pemerintah lebih sibuk bangun ibu kota baru ketimbang memperbaiki luka lama warga negaranya.
Bayangkan, negara mengakui kesalahan, tapi tidak memperbaiki. Ini seperti seseorang bilang "maaf ya.. gua gebuk lo kemarin," tapi tetap mukulin tiap hari sambil tersenyum.
Selama 27 tahun, negara tak hanya gagal mengadili pelaku, tapi juga gagal menyembuhkan luka korban. Tidak ada mekanisme pemulihan yang layak. Banyak penyintas yang masih hidup dalam ketakutan dan trauma, seolah-olah pemerkosaan itu terjadi kemarin sore.
Kita bahkan tidak tahu pasti berapa jumlah korban, karena sebagian besar kasus tidak pernah dilaporkan. Bukan karena tidak ada, tapi karena mereka takut. Takut dibungkam, takut dipermalukan, takut negara justru menyalahkan mereka.
Di tengah semangat nasionalisme yang tiap tahun berkibar di layar televisi, tragedi pemerkosaan '98 terhadap etnis Tionghoa nyaris tak pernah dibahas. Media besar sibuk meliput gosip politik dan tutup mata soal pelanggaran HAM yang satu ini. Entah karena tekanan penguasa, atau karena memang bangsa ini sudah terlatih hidup tanpa empati.
Yang lebih menyedihkan lagi, Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara di kanal YouTube menyangkal pemerkosaan massal pada Mei 1998 dan menyebut tragedi tersebut sebagai "rumor."
Jika Anda masih berharap keadilan akan datang dari pemerintah, mungkin Anda juga percaya unicorn itu nyata. Kasus ini tidak akan selesai dengan sendirinya. Tidak akan ada jaksa agung yang bangun tidur lalu tiba-tiba sadar "wah, saya harus adili pelaku pemerkosaan massal '98!"
Kejujuran sejarah hanya bisa hidup jika masyarakat menuntutnya. Kalau tidak, tragedi akan berulang dalam bentuk berbeda. Karena pelaku kekerasan yang dibiarkan bebas bukan hanya ancaman bagi korban masa lalu, tapi juga bagi generasi berikutnya.
Pemerkosaan '98 terhadap etnis Tionghoa bukan hanya luka lama, tapi juga alarm yang terus berdentang. Bahwa di negeri ini, kekerasan bisa dilegalkan dengan diam, keadilan bisa dikubur di balik seragam, dan suara korban bisa dibungkam dengan pisau.
Selama negara tidak bertanggung jawab, selama pelaku masih berkeliaran tanpa rasa bersalah, dan selama publik diam, tragedi ini akan terus hidup. Bukan di buku sejarah, tapi di dalam hati dan tubuh para korban yang tak pernah benar-benar diberi hak untuk sembuh.