![]() |
Kantor Danantara. © Bay Ismoyo/AFP/Getty Images |
Jika Indonesia adalah rumah tangga, maka Danantara adalah anak bungsu ambisius yang baru lahir—dan Temasek adalah sepupunya yang sudah jadi CEO multinasional di usia 25. Kini, sang bapak, Presiden Prabowo Subianto, ingin si bayi merah ini tumbuh besar, tegap, tajir, dan sukses seperti Temasek. Tidak salah sih, semua orang tua ingin anaknya jadi orang. Tapi kalau baru lahir langsung disuruh niru Temasek? Wah, ambisi ini bisa jadi semacam parenting yang... luar biasa optimis.
Senin, 16 Juni 2025, Prabowo menyampaikan harapan ini langsung di hadapan Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong. Suatu momen diplomasi yang serius, namun tak bisa dilewatkan begitu saja dari sudut pandang satire: karena ini seperti mengatakan pada tetangga, "Eh, anak saya baru lahir nih. Doakan cepat seperti anakmu yang udah punya jet pribadi." Oke, Pak.
Keinginan Prabowo agar Danantara meniru Temasek bukan omon-omon. Ia mengungkapkannya di tengah pujian kepada Singapura—yang memang, harus diakui, jagoan dalam hal investasi. Temasek bukan perusahaan kaleng-kaleng. Mereka mengelola portofolio senilai ratusan miliar dolar, berinvestasi di berbagai sektor dari teknologi, farmasi, transportasi, sampai real estat global. Singkatnya: mereka investor, bukan spekulan recehan.
Tapi membandingkan Danantara yang baru belajar jalan dengan Temasek yang sudah berlari maraton global selama puluhan tahun jelas seperti menyuruh bocah SD ikut olimpiade fisika. Kita dukung semangatnya, tapi tolong siapin P3K juga.
Dalam pidatonya, Prabowo menyampaikan keinginannya membentuk kerja sama erat antara Danantara dan Temasek, terutama di sektor energi terbarukan, kawasan industri berkelanjutan, dan pengembangan wilayah Batam, Bintan, serta Karimun. Dari sisi retorika, ini sempurna. Dari sisi realita? Masih PR besar.
Danantara, lembaga investasi strategis milik negara yang baru dibentuk, memang punya niat besar. Tapi apakah niat itu cukup? Temasek punya sejarah panjang, sistem meritokrasi ketat, independensi politik yang solid, dan manajemen profesional tingkat dewa. Sementara Danantara? Baru juga disusun struktur organisasinya. Mungkin masih bingung pakai software akuntansi apa.
Prabowo juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Singapura yang telah menjadi investor terbesar di Indonesia selama satu dekade. Ini seperti seorang suami yang berkali-kali bilang ke tetangganya: "Thanks ya, kamu udah bantu istri saya tiap hari masak dan belanja." Kita tentu bersyukur atas kontribusi investasi Singapura, tapi apakah itu berarti kita semakin tergantung?
Data dari BKPM memang menunjukkan bahwa Singapura menyumbang investasi sebesar US$ 4,6 miliar pada kuartal pertama 2025. Tapi kalau hampir sepertiga investasi asing datang dari satu negara, itu bukan hanya tanda keberhasilan diplomasi—tapi juga potensi kerentanan ekonomi. Kalau Singapura batuk, bisa-bisa Jakarta demam.
Yang perlu dipahami publik adalah model Temasek yang sangat independen dari campur tangan pemerintah. Temasek punya dewan direksi profesional, manajemen yang berbasis performa, dan prinsip bisnis yang benar-benar kapitalistik. Di sisi lain, Indonesia masih gemar menempatkan 'orang titipan' dalam struktur BUMN atau lembaga strategis. Kalau Danantara mau benar-benar meniru Temasek, kita harus siap dengan hal paling menantang di republik ini: tidak ikut campur urusan anak sendiri.
Bayangkan jika Danantara diberi tugas menanam investasi, tapi juga diminta mengakomodasi titipan jabatan dari kiri dan kanan. Jadinya apa? Investasi strategis bisa berubah jadi arisan jabatan.
Pujian Prabowo kepada Singapura tampaknya tulus. Tapi di balik pujian itu, ada pertanyaan yang harus dijawab: apakah Indonesia membangun ekosistem yang memungkinkan Danantara bertumbuh secara alami, atau sekadar ingin jalan pintas menjadi Temasek instan?
Indonesia punya sumber daya alam melimpah, pasar domestik besar, dan populasi muda produktif (kata Fufufafa: bonus demografi). Tapi kalau tidak dibarengi dengan perbaikan sistemik—seperti reformasi birokrasi, transparansi pengelolaan aset, dan pembenahan pendidikan ekonomi—maka harapan menjadi Temasek akan seperti berharap Bajaj jadi Tesla. Bisa sih... tapi di film animasi.
Sebagian kalangan menilai bahwa pernyataan Prabowo ini bagian dari strategi pencitraan awal pemerintahannya. Mau tampil keren di panggung internasional, ingin dipuji media luar negeri, dan tentu, membuat investor tersenyum. Tapi investasi itu bukan soal pujian, melainkan soal kepercayaan.
Kalau investor melihat bahwa Danantara berpeluang menjadi alat politik atau ladang kompromi elite, maka jangankan seperti Temasek, jadi reksadana syariah aja belum tentu laku. Investor itu seperti pasangan ideal: mereka butuh komitmen jangka panjang dan integritas, bukan sekadar janji manis.
Mari kita realistis. Sebelum Danantara berkhayal jadi Temasek, mari pastikan dulu beberapa hal dasar:
- Apakah SDM-nya benar-benar kompeten atau hanya politisi magang?
- Apakah sistem akuntabilitasnya terbuka untuk publik atau tersembunyi di balik sidang tertutup?
- Apakah mereka bisa menolak intervensi politik, bahkan dari istana?
Kalau semua pertanyaan itu bisa dijawab dengan jujur dan tegas, mungkin kita bisa mulai membayangkan Danantara sebagai Temasek-nya Indonesia. Tapi jika tidak? Ya, semoga Danantara tidak jadi Lembaga Investasi Rasa Dapil.
Mimpi besar itu penting. Tapi jangan sampai kita menyangka Temasek itu bisa dibentuk semudah membeli domain dan bikin logo keren. Dibutuhkan waktu, kepercayaan, dan reformasi internal yang radikal. Danantara bisa jadi Temasek baru jika didukung oleh sistem yang matang, bukan hanya pidato manis yang viral.
Prabowo ingin Danantara tiru Temasek? Silakan, Pak. Tapi jangan lupa: sebelum membangun gedung pencakar langit, pastikan fondasinya bukan dari kardus.