![]() |
Dua polisi memeriksa sebuah rumah dalam operasi penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Gunung Kidul, Yogyakarta, Oktober 1948. © IPPHOS/Antara |
Sejarah resmi Indonesia dan ambivalensi yang ditekan bukan sekadar persoalan akademik. Ia adalah warisan dari proyek politik besar yang berupaya mengendalikan cara kita memahami masa lalu. Seperti yang dijelaskan oleh Michel Foucault, pengetahuan tidak pernah netral. Ia adalah produk dari relasi kuasa. Dalam Power/Knowledge, Foucault menulis bahwa wacana—cara kita berbicara dan memahami sesuatu—bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi menciptakannya.
Dalam konteks ini, sejarah bukan sekadar kumpulan fakta masa lalu, tetapi medan pertarungan politik di mana negara berusaha mengontrol ingatan kolektif. Apa yang ditulis dan apa yang dihapus bukanlah tindakan akademis, tetapi keputusan politik.
Lihat saja bagaimana Orde Baru merangkai kisah tentang peristiwa 1965-1966. Dalam versi negara, peristiwa itu dijelaskan sebagai pengkhianatan PKI yang ditumpas oleh tentara. Titik. Tidak ada ruang untuk membahas bagaimana kekerasan massal terjadi. Tidak ada diskusi tentang motif politik di balik pembantaian. Tidak ada pengakuan terhadap korban yang tak berdosa.
Hilmar Farid, sejarawan Indonesia, pernah menulis dalam esainya “Indonesia dalam Arus Sejarah” bahwa sejarah resmi yang dibentuk Orde Baru bukan sekadar untuk menciptakan ingatan, tapi juga untuk melupakan. Negara tidak hanya memilih apa yang diingat, tapi juga apa yang harus dilupakan. Itulah bentuk paling brutal dari represi pengetahuan: menghapus kemungkinan bahwa sejarah bisa ditafsirkan secara berbeda.
Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan bekerja bukan hanya dengan melarang, tapi juga dengan menentukan apa yang bisa dibicarakan dan apa yang tidak bisa. Dalam sejarah Indonesia, ini tampak jelas dalam bagaimana buku-buku tertentu dilarang, film disensor, hingga narasumber sejarah tertentu dianggap subversif.
Ini adalah bentuk dari regime of truth—di mana negara menentukan apa yang dianggap sebagai kebenaran historis, dan mendeligitimasi narasi lain sebagai hoaks, provokasi, atau bahaya laten. Dalam konteks itu, sejarah resmi Indonesia dan ambivalensi yang ditekan adalah bukti dari betapa kuatnya cengkeraman kekuasaan atas memori kolektif.
Proyek sejarah nasional juga sangat selektif dalam hal dokumentasi. Arsip dikelola dengan cara yang bias. Data tentang korban kekerasan 1965, pelanggaran HAM di Papua, dan kekerasan Mei 1998 banyak yang tidak diarsipkan dengan layak atau bahkan hilang. Dan ketika ada yang mencoba merekonstruksi peristiwa secara independen, mereka diintimidasi.
Jika arsip adalah jejak memori negara, maka kita sedang hidup dalam negara dengan memori yang lobang-lobang—dan itu bukan karena lupa, tapi karena sengaja dilupakan.
Untungnya, narasi sejarah resmi kini mulai ditantang. Penulisan ulang sejarah tidak lagi dianggap tabu. Sejumlah karya ilmiah, termasuk tulisan Hilmar Farid, Asvi Warman Adam, dan banyak akademisi muda, mencoba membongkar narasi tunggal yang dibentuk sejak 1966.
Penelitian-penelitian ini tidak hanya menyajikan data baru, tetapi juga mempersoalkan metodologi dan ideologi di balik sejarah versi negara. Mereka tidak hanya bertanya apa yang terjadi, tapi juga mengapa versi tertentu dianggap lebih sah dari yang lain. Ini adalah bentuk perlawanan wacana, seperti yang dibayangkan oleh Foucault—perlawanan terhadap monopoli makna oleh kekuasaan.
Apa itu ambivalensi dalam konteks sejarah? Ini adalah pengakuan bahwa tidak ada peristiwa yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya jahat. Bahwa pelaku bisa juga korban, dan sebaliknya. Bahwa realitas lebih kompleks daripada slogan dan poster propaganda. Bahwa sejarah adalah konflik tafsir, bukan buku pelajaran dengan satu jawaban benar.
Dengan menerima ambivalensi, kita membuka ruang untuk melihat Sukarno bukan hanya sebagai proklamator, tapi juga pemimpin yang ambigu setelah G30S. Kita bisa melihat militer bukan hanya sebagai penyelamat negara, tapi juga sebagai institusi yang melanggengkan kekerasan. Kita bisa membicarakan korban kekerasan seksual Mei 1998 tanpa takut dianggap pengkhianat bangsa.
Ini bukan bentuk relativisme. Ini bentuk keberanian intelektual. Karena hanya bangsa yang percaya diri yang berani menghadapi sisi gelap dirinya.
Sejarah resmi Indonesia dan ambivalensi yang ditekan tidak bisa terus dipertahankan. Sebab, dalam masyarakat yang semakin terbuka dan terhubung, kebenaran sulit dikubur selamanya. Masyarakat sipil kini bergerak aktif untuk merekam ulang, membongkar mitos, dan menghidupkan kembali cerita-cerita yang dulu dipaksa diam.
Mereka menulis buku, membuat film dokumenter, mengarsipkan testimoni, dan membuka ruang dialog. Ini bukan sekadar upaya akademik, tapi upaya menyembuhkan luka kolektif. Karena rekonsiliasi tidak mungkin terjadi jika sejarahnya masih dimanipulasi.
Inilah saatnya kita meninggalkan obsesi terhadap narasi tunggal. Kita perlu menerima bahwa sejarah adalah medan konflik, ambivalen, dan tak pernah final. Justru dari kerumitan itu, kita bisa membangun kesadaran sejarah yang lebih jujur dan manusiawi.