Warga Kediri tumpah ruah sambut kirab 1 Muharram

Kirab budaya 1 Muharram dirayakan meriah di Kota Kediri, lengkap dengan jaranan, barongsai, hingga tumpeng spiritual demi menggaet wisatawan.

Warga Kediri tumpah ruah sambut kirab 1 Muharram. © Prasetia Fauzani/Antara
Warga mengarak gunungan dalam kirab budaya menyambut Tahun Baru Hijriah di Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (26/6/2025). © Prasetia Fauzani/Antara

Warga Kediri tumpah ruah sambut kirab 1 Muharram dengan gegap gempita dan semangat yang bahkan melebihi antusiasme jelang diskon Harbolnas. Sepanjang Jalan PB Sudirman hingga Jalan Basuki Rahmat, masyarakat berkumpul sejak pagi, lengkap dengan payung, bekal, dan tentunya ponsel siap merekam setiap detik momen sakral—dan sedikit teatrikal—dalam Kirab Mapag Wiyosan Warsa Enggal.

Kirab yang berangkat dari Masjid Agung hingga Balai Kota Kediri ini bukan kirab sembarangan. Ini adalah kirab spiritual dengan sentuhan kesenian rakyat dan aroma promosi wisata. Wali Kota Vinanda Prameswati, yang dikenal sebagai pemimpin muda dan penuh inisiatif, menjadi jenderal upacara yang melepas rombongan sejak pukul 08.00 pagi. Dengan senyum lebar dan semangat membara, beliau memimpin perayaan yang disebut-sebut sebagai perpaduan sempurna antara sakralitas dan event planner.

Yang membuat kirab ini berbeda adalah tampilannya yang serba total. Ada jaranan, barongan, barongsai, dan hadrah. Semuanya berpadu seperti festival lintas genre: dari spiritual hingga visual, dari zikir hingga gong. Setiap kelurahan membawa tumpeng dan gunungan, seolah-olah Tuhan akan menilai spiritualitas berdasarkan tinggi dan simetri tumpeng yang dibawa.

“Ini pertama kali digelar di Kota Kediri,” ujar Vinanda, penuh bangga, sambil melirik gunungan hasil kreasi RW setempat yang bentuknya nyaris menyerupai logo kementerian. "Saya bersyukur dan bangga bisa melihat antusiasme masyarakat," lanjutnya, sambil tidak lupa menoleh ke kamera wartawan.

Vinanda menyampaikan bahwa seluruh 46 kelurahan di Kota Kediri turut ambil bagian. Tiap kelurahan mengirim minimal 10 orang. Jadi, dengan perhitungan matematis yang lugas, setidaknya ada 460 peserta. Jika dihitung dengan panitia, petugas keamanan, pedagang cilok, dan konten kreator lokal, jumlahnya bisa mencapai ribuan. Sebuah angka yang cukup untuk membuat sebuah mini metropolis spiritual temporer di tengah kota.

Menurut Vinanda, bulan Suro adalah bulan sakral, penuh renungan, dan spiritual. Sebuah bulan di mana orang-orang biasanya menyepi, merenung, atau minimal mengurangi unggahan status. Tapi di Kediri, renungan itu dirayakan dengan arak-arakan yang cukup meriah untuk disebut festival mini. “Acara ini mencerminkan kearifan lokal,” tegas beliau.

Dan dalam napas yang sama, acara ini juga sejalan dengan visi besar: Kediri City Tourism. Sebab spiritualitas tidak akan maksimal jika tidak diabadikan dan dibagikan di feed media sosial, lengkap dengan tagar #SuroKediri dan filter warna hangat.

Kirab seperti ini, harap Vinanda, bukan hanya menjadi ajang pelestarian budaya, tetapi juga sarana strategis untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan. Bayangkan: paket wisata yang menawarkan pengalaman menyaksikan barongsai dan hadrah berjalan bersama, diselingi gunungan berisi ubi dan krupuk udang, lalu diakhiri doa bersama.

“Ini bukan sekadar tontonan,” ucap Vinanda, mungkin karena kata “tontonan” terdengar terlalu pasif. “Ini adalah nguri-uri budaya.” Dan nguri-uri itu tampaknya telah berkembang dalam bentuk festival rakyat, lengkap dengan panggung, pengeras suara, dan pedagang kaki lima yang siap menyambut penonton spiritual.

Warga Kediri tumpah ruah sambut kirab 1 Muharram dengan semangat yang tak kalah dari festival musik. Bedanya, yang tampil bukan penyanyi pop, tapi barongsai dan jaranan dengan makna mendalam. Yang bergetar bukan bass speaker, tapi hati para penonton—atau minimal kamera mereka yang gemetar karena mengambil video dari posisi kurang strategis.

Kegiatan ini jelas menunjukkan bahwa Pemkot Kediri tidak main-main dalam memadukan tradisi dan tren. Dalam satu acara, ada pelestarian budaya, ada strategi promosi, dan ada juga peluang untuk menaikkan engagement di media sosial resmi kota.

Program Kediri City Tourism bukan hanya slogan. Ia hidup dan menari dalam iringan musik hadrah dan langkah jaranan. Warga tumpah ruah sambut kirab 1 Muharram tidak hanya sebagai penonton, tapi sebagai bagian dari gerakan pariwisata spiritual lokal, yang bisa saja suatu hari nanti menjadi case study di kampus-kampus pariwisata.

Vinanda menyampaikan harapan agar acara seperti ini bisa menjadi tradisi tahunan. Tahun depan, siapa tahu, bisa lebih ramai. Mungkin ditambah dengan kompetisi gunungan terbaik, lomba tumpeng simetris, atau sayembara caption Instagram paling bijak seputar Suro.

Mimpi itu bukan tidak mungkin. Sebab jika budaya bisa dihidupkan kembali lewat panggung dan iring-iringan, maka Kota Kediri sedang berjalan di jalur yang tepat: memuliakan warisan dengan cara yang mudah diakses, difoto, dan dibagikan.

Dan siapa tahu, tahun depan acara ini sudah terdaftar di calendar of events Kementerian Pariwisata. Dengan begitu, sakralitas bisa disubsidi, dan spiritualitas bisa diliput media nasional.

Kirab budaya 1 Muharram di Kediri membuktikan satu hal: renungan tidak harus sunyi. Ia bisa bersuara, berwarna, bahkan bergetar lewat lantunan hadrah dan debur barongsai. Di Kota Kediri, sakralitas tak harus redup—ia bisa bersinar, asal ditata rapi, dibumbui budaya lokal, dan sedikit promosi digital.

Warga Kediri tumpah ruah sambut kirab 1 Muharram dengan cara yang khas: memadukan nilai, seni, dan semangat kebersamaan, lalu menyajikannya dalam bentuk yang bisa ditonton sambil makan cilok. Dan itu, entah bagaimana, tetap terasa bermakna.

Lainnya

Tentang

Novanka Laras
Laras di sini menulis seni dan budaya.

Posting Komentar