![]() |
Sejumlah anak bermain di lokasi Festival Memedi Sawah di Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Minggu (29/6/2025). © Hendra Nurdiyansyah/Antara |
Hari Minggu, 29 Juni 2025. Lokasi: hamparan sawah di Padukuhan Pakem Gede, Sleman, Yogyakarta. Cuaca: mendung, tapi penuh semangat. Suasana: antara syuting film horor pedesaan dan pelatihan daur ulang kreatif. Festival Memedi Sawah di Sleman resmi digelar sebagai bentuk cinta tanah air dalam bentuk paling literal—yaitu menancapkan boneka menakutkan di tengah ladang.
Diselenggarakan oleh Yayasan Kalimasada, acara ini tidak sekadar parade kostum sawah. Ini adalah jawaban atas kecemasan nasional: generasi muda tidak lagi mengenal memedi sawah. Bahkan, mereka lebih akrab dengan scarecrow versi kartun daripada memedi sawah asli yang berdiri tegak melawan burung pipit—musuh alami pangan nasional.
Menurut Y. Junaedi, salah satu pendiri Yayasan Kalimasada, Festival Memedi Sawah di Sleman lahir dari hasil obrolan santai. “Kami cuma ngobrol-ngobrol biasa. Ada penulis, wartawan, petani, dan pengrajin,” tuturnya. Seperti biasa, ide-ide brilian memang lahir bukan di ruang rapat formal, tapi di tempat dengan kopi panas dan pisang goreng.
Lalu, muncullah pertanyaan eksistensial:
“Kenapa anak-anak sekarang nggak tahu apa itu memedi sawah?”
Pertanyaan itu direspons serius. Sebab jika generasi TikTok tidak tahu tentang memedi sawah, maka siapa yang akan menjaga padi dari burung pipit? Jangan harap drone bisa menggantikan ketegasan tatapan mata memedi sawah buatan Pak Sarjono dari drum bekas.
Sebagai bagian dari peringatan Hari Lingkungan Hidup Dunia, memedi sawah yang dilombakan dalam festival ini harus terbuat dari bahan bekas. Tak ada tempat untuk plastik baru atau kain mahal. Semua peserta ditantang untuk menerapkan prinsip 3R: reduce, reuse, recycle.
Hasilnya? Sebuah parade surealis: boneka sawah berkepala botol air mineral, berbadan kantong kresek, dan mengenakan celana bekas SD tahun 1998. Beberapa bahkan terlalu estetik untuk burung pipit—mereka lebih pantas jadi konten fashion editorial eco-gothic.
“Material bekas menjadi indikator penilaian, selain kreativitas dan kerapian,” jelas Junaedi, dengan ekspresi serius yang biasanya hanya terlihat pada juri MasterChef.
Tidak tanggung-tanggung, pemenangnya akan mendapat trofi dari Bupati Sleman. Karena apa artinya menjadi pemuda desa jika belum pernah rebutan piala berbentuk kepala burung pipit dari logam daur ulang?
Dulu, memedi sawah adalah hiburan gratis. Tidak perlu Wi-Fi, tidak perlu login akun Google. Anak-anak cukup berjalan ke tengah sawah dan melihat boneka jerami yang berdiri tegak—kadang menakutkan, kadang lucu, kadang mirip tetangga yang suka marah-marah.
Menurut Junaedi, memedi sawah berperan besar menjaga ketahanan pangan. Sebab jika pipit menyerbu dan padi habis, maka krisis pangan akan melanda. Ini bukan teori konspirasi. Ini fakta agraris yang lebih nyata dari tagar #SaveOurRice.
Burung pipit dalam skenario ini bukanlah burung kecil imut, melainkan ancaman sistemik. Mereka hadir dalam ratusan, menyerbu sawah seperti pasukan udara, dan hanya bisa ditakuti oleh boneka dengan wajah dari topeng bekas lomba Agustusan.
Sejumlah anak bermain di antara memedi sawah. Beberapa selfie dengan gaya peace sign, yang lain membuat konten “memedi haul” untuk story IG mereka. Satu anak bertanya kepada ibunya:
“Bu, ini boneka apa? Serem tapi lucu…”
Sang ibu menjawab dengan sabar, walau agak ragu:
“Itu, nak, simbol perjuangan petani... tapi juga bisa jadi background estetik buat konten reels.”
Di sinilah kita melihat dilema modern. Festival ini bukan hanya sarana nguri-uri budaya lokal, tetapi juga pengingat bahwa kita butuh pahlawan baru. Bukan dengan pedang dan tameng, tapi dengan jerami, kain bekas, dan sedikit kreativitas mengikat simpul tali rafia.
Festival Memedi Sawah di Sleman adalah bentuk satire dari zaman. Dulu, memedi sawah dibuat untuk menakut-nakuti burung. Kini, mereka dipajang untuk memikat manusia. Dulu, fungsional. Sekarang, simbolis. Dulu, alat bertahan hidup. Sekarang, alat selfie dan edukasi.
Namun, bukan berarti maknanya berkurang. Justru lewat absurditas inilah kita menyadari bahwa budaya bertahan bukan karena disakralkan, tetapi karena diadaptasi.
Memedi sawah yang dulu dianggap usang, kini jadi alat perlawanan simbolik terhadap konsumerisme, kelupaan budaya, dan ancaman urbanisasi. Bayangkan jika burung pipit digantikan oleh investor properti. Apakah memedi dari kardus bisa menghadang pembangunan apartemen?
Apakah Festival Memedi Sawah di Sleman akan menyelesaikan krisis iklim? Tentu tidak. Tapi ia mengingatkan kita bahwa ada cara untuk menghargai lingkungan tanpa harus bersuara lantang di seminar internasional.
Ia menyentuh akar: dari bumi, kembali ke bumi. Ia merayakan ketahanan pangan, kreativitas rakyat, dan keberanian menghadapi burung pipit dengan modal botol Aqua dan kawat jemuran.
Ia menyatukan generasi: anak-anak yang hanya tahu kartun bisa mengenal bentuk asli memedi sawah. Sementara orang tua bisa bernostalgia dengan zaman di mana teknologi canggih bernama "kerincingan dari kaleng susu" berhasil menyelamatkan panen.
Festival ini adalah peringatan lembut dan lucu bahwa bumi tidak butuh penyelamat superhero—tapi pengingat kecil seperti memedi sawah yang berdiri diam, tapi penuh makna. Ia tidak bisa bicara, tapi pesannya jelas:
“Jagalah sawahmu. Jaga bumi. Dan kalau bisa, jangan buang botol plastik sembarangan.”
Karena siapa tahu, botol itu bisa jadi kepala memedi tahun depan.