![]() |
Sejumlah penari menampilkan tari Topeng Kaliwungu saat gelaran Festival Segoro Topeng Kaliwungu di Pantai Watu Pecak, Lumajang, Jawa Timur, Minggu (29/6/2025). © Irfan Sumanjaya/Antara |
Tahun ini, Segoro Topeng Kaliwungu resmi naik kelas. Tidak hanya digelar megah di Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-awar, tapi juga dibubuhi label prestisius: Karisma Event Nusantara (KEN) 2025. Artinya, menurut pernyataan resmi, festival ini bukan sekadar acara biasa—melainkan karisma nasional dengan potensi internasional, meskipun kostumnya masih dijahit di rumah Bu RT.
“Segoro Topeng Kaliwungu menjadi simbol transformasi budaya menjadi motor ekonomi dan pariwisata,” ujar Yuli Harismawati, Kepala Dinas Pariwisata Lumajang, dalam nada yang hampir terdengar seperti pidato presiden. Ia yakin penuh: topeng dan pantai bisa jadi bahan bakar pertumbuhan ekonomi daerah, mengalahkan pabrik, sawah, dan tambang pasir.
Dibuka dengan tarian kolosal—yang konon melibatkan lebih banyak penari daripada jumlah wisatawan—festival ini mencoba menjadi pertemuan agung antara warisan leluhur dan impian kontemporer. Tidak lagi cukup menari untuk arwah nenek moyang, sekarang penari juga diharapkan mampu menarik likes di media sosial.
Topeng dalam festival ini tidak hanya simbol budaya. Ia juga alat diplomasi pariwisata, alat branding daerah, bahkan mungkin nanti jadi desain logo APBD Lumajang. Jika sukses, siapa tahu, “Topeng Vision 2045” akan jadi visi baru pembangunan berkelanjutan.
Pantai Watu Pecak bukan lagi sekadar tempat memancing atau pacaran sembunyi-sembunyi. Dalam versi pemerintah, ia kini berubah fungsi menjadi catwalk budaya, tempat topeng menari diiringi deburan ombak dan janji masa depan. Pada 28–29 Juni 2025, pantai ini jadi lokasi resmi tarian kolosal, pameran UMKM, peragaan busana batik, festival memancing, dan—tentu saja—penanaman cemara laut sebagai simbol keharmonisan antara seni, ekonomi, dan vegetasi pantai.
Tidak tanggung-tanggung, penanaman pohon pun diiringi alunan musik. Karena rupanya, cemara juga butuh irama agar tumbuh produktif, apalagi jika penanamannya disponsori kementerian.
Ajang ini tidak hanya soal budaya. Ini soal perut. Pemerintah Kabupaten Lumajang menaruh harapan besar bahwa Segoro Topeng Kaliwungu akan menjadi motor ekonomi kreatif. Setiap penata musik, pembuat kostum, penjual bakso, sampai penyewaan sound system menjadi bagian dari ekosistem budaya yang tak kalah dari industri kreatif di Eropa—kecuali mungkin dalam hal anggaran.
“Bukan hal mustahil kalau lima tahun lagi, festival ini setara dengan festival budaya kelas dunia,” kata Yuli lagi, dalam semangat yang pantas diapresiasi. Karena di Lumajang, mimpi besar memang lebih murah daripada dana promosi wisata.
Di sela-sela tarian kolosal, pengunjung juga bisa menikmati pameran batik Lumajang. Motifnya menggambarkan perpaduan antara gelombang laut, topeng, dan keragaman rasa optimisme. Sambil mencoba jaket batik motif ombak, wisatawan juga diajak membayangkan bahwa belanja batik bisa jadi kontribusi geopolitik. Jika batik Lumajang sukses menembus pasar Eropa, maka salah satu sebabnya bisa jadi: festival ini.
UMKM pun dipajang dalam tenda-tenda putih yang sejatinya sangat instagramable. Mereka menjual mulai dari keripik pisang topeng, gelang laut selatan, sampai kopi dari desa sebelah. Pembeli mungkin belum sebanyak pengunjung bazar online, tapi setidaknya jualan dilakukan di lokasi penuh semangat budaya.
Salah satu tujuan festival ini adalah menarik minat generasi muda. Karena konon, jika mereka tak mengenal topeng, maka identitas budaya bisa punah. Maka para pelajar, mahasiswa, dan influencer lokal dikerahkan. Mereka ikut menari, ikut foto-foto, ikut unggah konten. Sebagian bahkan terlihat bingung: apakah mereka sedang latihan P5 Kurikulum Merdeka atau syuting sinetron kerajaan.
Namun satu hal pasti: budaya hanya bisa lestari jika diposting. Kalau tidak masuk reels, maka eksistensinya patut dipertanyakan.
Tentu tidak semua hal berjalan semulus naskah pidato. Festival selama dua hari ini tetap menghadapi realitas: anggaran terbatas, logistik seadanya, dan pengunjung yang lebih tertarik pada penjual es teh jumbo. Namun semua itu tidak penting, sebab kini Segoro Topeng Kaliwungu resmi masuk daftar Karisma Event Nusantara.
Karisma bukan lagi sekadar aura, tapi dokumen resmi dari kementerian. Artinya, acara ini kini berdiri sejajar dengan festival-festival lain yang telah lebih dulu menjadi destinasi influencer dan menteri.
Dengan semua elemen yang telah disiapkan—tari, musik, batik, memancing, dan cemara laut—Segoro Topeng Kaliwungu tidak hanya jadi acara budaya. Ia adalah proklamasi pariwisata baru. Ia menunjukkan bahwa bahkan daerah yang tak punya bandara internasional pun bisa bermimpi menjadi Bali berikutnya—asal punya cukup topeng dan karisma.
Tentu, masih banyak PR: infrastruktur, hotel, akses transportasi, dan pelatihan guide wisata yang bisa membedakan antara “topeng hias” dan “topeng pementasan.” Namun semua itu bisa menyusul. Yang penting, acara sudah digelar, berita sudah naik, dan foto sudah tayang.
Segoro Topeng Kaliwungu adalah festival yang menjanjikan lebih dari sekadar tontonan. Ia menjual impian dan narasi kebesaran masa depan, dibungkus tarian, dibalut budaya, dan dijual kepada dunia melalui selebaran kementerian.
Dalam tarian para penari topeng di pinggir pantai, kita melihat lebih dari sekadar seni. Kita melihat sinyal kebangkitan pariwisata berbasis harapan. Di tengah gelombang laut selatan dan suara gong, kita mendengar gema pesan:
“Topeng bukan hanya penutup wajah, tapi pembuka peluang ekonomi.”