Coretax bikin kacau penerimaan pajak

Sistem perpajakan digital bikinan DJP justru jadi biang shortfall fiskal.

Coretax bikin kacau penerimaan pajak. © Yudi Manar/Antara
Pegawai melayani wajib pajak yang hendak membuat e-Faktur di Kantor Direktorat Jenderal Pajak Wilayah Sumatera Utara I, Medan, Senin (17/2/2025). © Yudi Manar/Antara

Begitu semangat pemerintah bicara soal transformasi digital, kita semua berharap: “Akhirnya, pajak jadi lebih gampang!” Tapi ternyata, yang gampang justru defisit anggaran. Ya, sistem digital Coretax bikin kacau penerimaan pajak sejak hari pertama tahun ini dimulai. Bayangkan, alih-alih jadi solusi, sistem itu justru membuat negara kehilangan triliunan rupiah penerimaan karena restitusi melonjak dan faktur pajak mandek.

Alih-alih seperti Iron Man yang canggih, Coretax justru lebih mirip printer kantor kelurahan: susah hidup, susah mati. Diluncurkan secara resmi pada 1 Januari 2025, Coretax seharusnya jadi fondasi sistem pajak modern. Tapi seperti kata orang tua dulu, “harapan tinggal harapan, kenyataan kadang brengsek.”

Mari kita mulai dari angka. Hingga Mei 2025, penerimaan pajak neto kita cuma Rp 683,3 triliun. Itu baru 31,2 persen dari target APBN sebesar Rp 2.189,3 triliun. Sekadar informasi, ini bukan target utopia, ini kebutuhan riil buat belanja negara. Tapi Coretax dengan gagah berani mempersembahkan keterlambatan, error, dan kekacauan digital sebagai “kado awal tahun”.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan, anjloknya penerimaan pajak sebagian besar karena lonjakan restitusi. Memang betul, kelebihan bayar pajak harus dikembalikan. Tapi bukankah sistem digital seharusnya membuat restitusi jadi lebih efisien, bukan malah bikin negara tekor lebih cepat?

Dan jangan lupakan drama awal tahun: sistem error, server ngadat, pelaporan gagal divalidasi. Wajib pajak dari Sabang sampai Merauke bersatu dalam sumpah serapah: "Coretax, kenapa kau begini?"

Coretax didesain untuk menyederhanakan pendaftaran, pelaporan, dan pembayaran pajak. Tapi bukannya menyederhanakan, justru bikin ribet, bikin stres, dan bikin marah.

Bimo Wijayanto, Dirjen Pajak yang baru seminggu menjabat, mengaku Coretax sedang "disempurnakan". Oh tentu, kami paham. Di negeri ini, “disempurnakan” sering berarti “belum selesai tapi sudah terlanjur dijalankan.” Target perbaikannya? Juli 2025. Padahal, target penerimaan pajak sebesar Rp 1.505,9 triliun harus dikejar dalam sisa waktu yang kian mepet.

Jadi, kita sedang menyelamatkan APBN dengan sistem yang bahkan belum bisa menyelamatkan login user-nya sendiri.

Ajib Hamdani dari Apindo menyebut, kalau pemerintah masih malas-malasan, shortfall bisa sampai Rp 130 triliun. Itu uang, bukan sembako. Kalau ini terjadi, realisasi penerimaan pajak tahun ini bisa hanya 94 persen dari target. Kita bisa ucapkan selamat tinggal pada anggaran subsidi, pembangunan, dan tentu saja, impian punya infrastruktur kayak negara Nordik.

Kalau negara kekurangan duit, rakyat yang jadi ATM darurat. Pajak naik, harga BBM naik, dan ujung-ujungnya, meme tentang “hidup kok mahal banget” makin laris di media sosial.

Direktorat Jenderal Pajak tampaknya sadar mereka sedang menghadapi bencana. Tapi solusinya masih seputar template: intensifikasi, ekstensifikasi, revisi regulasi. Padahal, dalam kondisi Coretax amburadul begini, rakyat butuh lebih dari sekadar jargon. Kami butuh sistem yang bisa dipakai tanpa harus menghafal skrip troubleshoot.

Kata pemerintah, ini adalah era baru digitalisasi perpajakan. Tapi untuk sekarang, lebih pas disebut era baru error berjemaah. Dunia usaha mengeluh, pelaporan kacau, faktur pajak terhambat. Sebelum Coretax, DJP bisa menerbitkan 60 juta e-faktur per bulan. Sekarang? Paling mentok 40 juta, itu pun kalau servernya tidak ngambek.

Yang paling ironis, faktur pajak ini adalah alat vital transaksi. Tanpa itu, kegiatan ekonomi bisa mandek. Jadi, Coretax bukan cuma masalah DJP, ini menyentuh urat nadi ekonomi nasional.

Kondisi fiskal Indonesia makin rapuh. Defisit APBN per Mei sudah Rp 21 triliun. Kalau penerimaan tetap melambat, ruang fiskal makin sempit, daya beli rakyat ikut babak belur. Tapi solusi kita? “Coretax akan diperbaiki bulan depan.”

Sungguh menenangkan seperti diberi teh hangat oleh debt collector.

Satu hal yang pasti: Coretax adalah pengingat bahwa digitalisasi bukan cuma soal teknologi, tapi soal kesiapan mental, infrastruktur, dan kejujuran mengakui bahwa “kami belum siap”. Tapi sayangnya, di Indonesia, sistem yang belum siap pun tetap dipaksa berjalan. Seperti anak SD disuruh lari maraton sambil bawa beban sejarah.

Kalau Juli nanti Coretax betul-betul mulus, kita bisa beri tepuk tangan. Tapi kalau tetap bermasalah? Selamat datang di episode lanjutan: Coretax 2.0 — Error Is Eternal.

Sementara itu, kita tunggu saja DJP cari cara lain mengisi kas negara. Mungkin dengan pajak konten viral TikTok? Atau pajak mendesah di podcast? Siapa tahu, kan? Inovasi kadang lahir dari kekacauan. Tapi ya... semoga bukan kekacauan model Coretax.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar