![]() |
Ribuan warga antre BBM di salah satu SPBU di Kota Bengkulu, Senin (26/5/2025). © Muhammad Izfaldi/Antara |
Kabar gembira datang dari Timur Tengah. Tapi seperti biasa, itu hanya berlaku dalam waktu terbatas. Gencatan senjata antara Iran dan Israel pada Senin malam, 23 Juni 2025, lebih mirip promo diskon Tokopedia—tidak ada yang tahu kapan habis masa berlakunya, dan sering berakhir dengan kecewa.
Dijembatani oleh Amerika Serikat dan Qatar, kesepakatan itu terlihat manis di permukaan. Tapi seperti hubungan LDR, yang sering muncul lebih banyak drama daripada kepercayaan, perjanjian ini pun rapuh. Israel, negara yang langganan lupa isi kontrak damai yang mereka tanda tangani sendiri, bisa sewaktu-waktu bangun tidur dan merasa "waktunya bombardir pagi-pagi."
Dan kalau itu terjadi, Iran tak akan menari-nari dalam kesabaran. Dengan 3.000 rudal balistik menunggu di gudang seperti stok minuman soda di musim Lebaran, Iran jelas tidak akan kirim bunga, tapi kirim peluru kendali.
Kalau Israel kembali menyerang dan AS ikut main jotos, Iran kemungkinan besar akan membalas bukan dengan statement pers, tapi dengan strategi nyata: menutup Selat Hormuz.
Bagi kamu yang mengira Selat Hormuz itu nama hotel di Bandung, mari kita luruskan. Itu adalah saluran sempit yang jadi urat nadi dunia untuk lalu lintas minyak global. Sekitar 20% dari pasokan minyak mentah dunia lewat situ. Kalau ditutup, dunia pusing.
Dan Indonesia? Kita yang bahkan untuk subsidi BBM saja harus ngutang, tentu bukan pengecualian. Saat negara-negara seperti AS, Rusia, atau bahkan Brasil bisa produksi minyak sambil ngopi, kita malah sibuk nunggu harga minyak dunia turun sambil berharap cuaca bersahabat.
Sejak 2023, Indonesia resmi masuk ke klub elit "Top 15 Konsumen Minyak Dunia." Sayangnya, kita datang ke klub itu bukan sebagai tuan rumah, melainkan sebagai tamu pengemis energi. Alias: net importer.
Artinya? Kita lebih jago beli daripada produksi. Kita punya industri, tapi bukan industri minyak. Kita punya tambang, tapi ekspornya mentah. Kita punya tekad, tapi tidak cukup tekonologi. Kita lebih andal menulis rencana daripada melaksanakan.
Dan saat negara yang suka perang seperti AS dan Israel mulai main petasan beneran, kita cuma bisa bilang “Wah, semoga aman ya...” sambil cek harga Pertamax.
Per akhir April 2025, cadangan devisa Indonesia sudah menyusut sebesar Rp75,8 triliun. Sebabnya? Rupiah yang melemah parah terhadap dolar AS.
Ibarat lari maraton pakai sandal jepit, devisa kita kehabisan napas lebih cepat daripada nilai tukar naik. Kalau ini terus dibiarkan, beli BBM ke luar negeri bisa seperti belanja iPhone: mewah, mahal, dan penuh cicilan.
Kementerian Keuangan sudah bicara soal mitigasi. Tapi selama mitigasi hanya berupa presentasi di Zoom dengan slide indah dan jargon seperti "kebijakan jangka menengah terintegrasi," krisis tidak akan pergi.
Kalau bisa transaksi pakai rupiah, minimal kita tidak perlu cek dolar tiap kali beli solar. Tapi kerja sama seperti ini masih langka, seperti pejabat jujur atau jalan tol tanpa pungli.
Yang dibutuhkan sekarang adalah replikasi. Jangan hanya berhenti di satu negara. Libatkan lebih banyak mitra. Biar rupiah bisa berdiri gagah di pasar global, bukan cuma di iklan kampanye.
Pemerintah sudah sejak zaman orba akhir bicara soal energi terbarukan. Tapi hingga kini, hasilnya masih kalah cepat dibandingkan update aplikasi e-commerce.
Diversifikasi energi bukan cuma soal memasang panel surya di atap Gedung DPR untuk keperluan selfie, tapi soal membangun manufaktur dalam negeri yang memproduksi sendiri semua perangkat keras energi: dari mesin pembangkit sampai kabel listrik.
Kalau kita hanya bergantung pada produk impor untuk solar panel dan turbin angin, itu sama saja bohong. Kayak beli treadmill buat diet tapi tiap malam tetap makan nasi goreng kambing.
Tanpa perang Iran-Israel pun, energi kita sudah rapuh. PLTU batu bara masih jadi raja, listrik mati di pelosok masih hal biasa, dan subsidi BBM masih menguras APBN.
Bayangkan kalau perang benar-benar meledak. Harga minyak bisa tembus USD 150 per barel, dan kita masih sibuk nyalahin tukang bensin karena antriannya panjang.
Kalau begitu skenarionya, Indonesia bisa jadi negara pertama yang krisis energi hanya karena terlalu percaya bahwa dunia akan selalu damai. Padahal sejarah membuktikan: dunia tidak pernah benar-benar damai, hanya ganti zona konflik.
Jangan cuma bikin forum diskusi atau simposium dengan tema “Ketahanan Energi di Tengah Geopolitik Global.” Cukup. Itu sudah dilakukan sejak era BBM dua ribuan. Yang kita butuhkan sekarang adalah tindakan nyata:
- Wajibkan BUMN bikin komponen energi sendiri.
- Beri insentif ke pengusaha lokal yang mau masuk sektor pembangkit.
- Bangun pusat riset energi yang tak hanya bikin jurnal tapi juga bikin prototipe.
Dan yang terpenting: berhenti jual murah sumber daya strategis ke asing, hanya demi investasi jangka pendek. Kita butuh ketahanan, bukan ketergantungan yang dibungkus diplomasi.
Perang Iran-Israel bukan sekadar perang orang lain. Ini perang yang bisa membuat kita kelimpungan, bukan karena bom, tapi karena minyak goreng mahal dan listrik mati.
Indonesia harus sadar bahwa dunia global tak mengenal batas jarak dalam hal dampak.
Kalau rudal Teheran bisa membuat kita antri di SPBU, maka sudah waktunya kita serius membangun strategi energi yang tahan uji, bukan hanya tahan kritik.
Jangan tunggu krisis untuk bertindak. Karena kalau sudah telat, kita akan kembali pada solusi khas Indonesia: doa bersama dan bansos beras.