Iran tak pernah menutup Selat Hormuz

Iran tahu ancaman lebih berguna daripada tindakan. Dalam lanskap geopolitik modern, menjaga ketegangan lebih menguntungkan daripada konfrontasi.

Iran tak pernah menutup Selat Hormuz. © Giuseppe Cacace/AFP/Getty Images
Selat Hormuz. © Giuseppe Cacace/AFP/Getty Images

Setiap kali Iran dan Amerika Serikat kembali ribut, kita bisa langsung menebak satu hal: ancaman penutupan Selat Hormuz akan muncul seperti iklan obat kuat di tengah malam. Ini bukan berita baru—lebih mirip mantra wajib sejak Revolusi Islam 1979. Bahkan, kalau ancaman ini punya royalti, Iran sudah bisa bangun Disneyland versi sendiri.

Iran tak pernah menutup Selat Hormuz, dan itu bukan karena mereka tak mampu. Justru karena mereka tahu: dunia ini lebih takut pada ancaman daripada realisasi. Sama seperti ketika bos bilang “kita evaluasi bulan depan”—serem, tapi gak kejadian.

Mari kita bicara logika dagang. Selat Hormuz bukan cuma jalur lintasan tanker raksasa, tapi juga jalan nafkah bagi Iran sendiri. Sekitar 80 persen ekspor minyak mereka lewat situ. Menutup selat berarti mereka sendiri yang kehabisan napas.

Itu ibarat pedagang pecel lele yang ngamuk karena digusur, lalu bakar gerobaknya sendiri. Emosional sih, tapi habis itu makan apa?

Iran tahu diri. Mereka sedang dihajar sanksi dari segala penjuru, dan minyak adalah satu-satunya barang dagangan yang masih laku keras. Kalau selat ditutup, siapa yang rugi duluan? Bukan AS. Justru China dan India, pelanggan setia minyak Iran, bisa langsung bilang, “Bro, kita pending dulu ya.” Dan saat itu terjadi, Iran bukan cuma kehilangan devisa, tapi juga kehilangan muka.

Dulu, menutup Hormuz mungkin bisa bikin Presiden AS langsung pencet tombol darurat. Tapi sekarang? Amerika sudah jadi bad boy baru di dunia energi. Mereka bisa produksi minyak sendiri dari tanah mereka sendiri—semacam swasembada energi versi kapitalis.

Jadi kalau harga minyak naik, perusahaan-perusahaan di Texas malah pesta pora. Dan, hei, kapan terakhir kamu lihat Washington menolak rejeki nomplok? Tidak pernah.

Jadi alih-alih menyakiti Amerika, penutupan Hormuz bisa jadi malah kasih bonus buat mereka. Iran tahu itu. Maka, daripada kasih kejutan ekonomi ke musuh, lebih baik main aman—ancam saja cukup.

Jangan kira negara lain akan tinggal diam. Kalau Iran benar-benar nekat, bakal banyak negara langsung bersatu dengan dalih “menjaga stabilitas global”. Koalisi mendadak bisa terbentuk, mirip seperti alumni reuni SMA: biasanya jarang ngobrol, tapi bisa kompak kalau ada masalah bareng.

China dan Rusia mungkin selama ini kelihatan akrab dengan Iran. Tapi jangan salah—kalau minyak mereka ikut terhambat, mereka juga bisa nyuekin. Dunia ini tak ada sahabat sejati dalam urusan minyak. Yang ada cuma kepentingan.

Iran tahu bahwa satu langkah gegabah bisa bikin mereka jadi kambing hitam dunia. Bukan hanya dituding sebagai provokator, tapi juga sebagai ancaman global. Dan itu bukan PR yang enak dijual ke publik.

Analoginya begini: Hormuz itu seperti remote TV. Kalau ditekan tombolnya, bisa bikin ribut seisi rumah. Tapi remote itu tak harus dilempar ke kepala orang supaya berfungsi. Cukup pencet volume sedikit, semua sudah panik.

Iran memperlakukan Hormuz bukan sebagai alat perang, tapi sebagai tombol kontrol geopolitik. Mereka tahu satu manuver kecil saja bisa bikin harga minyak dunia naik. Jadi buat apa main keras? Toh dengan sedikit drama saja, mereka bisa bikin negara-negara maju langsung rapat darurat.

Ini adalah seni menciptakan kepanikan tanpa menyulut konflik. Seperti penjual bakso yang teriak “habis-habis!” padahal masih punya dua panci di belakang. Trik klasik, tapi selalu berhasil.

Banyak yang mengira Iran pengecut karena hanya menggertak. Tapi coba pikir lagi: butuh nyali besar untuk tidak menekan pelatuk, apalagi ketika kamu bisa. Iran memilih main catur, bukan gulat. Mereka paham bahwa mempertahankan ancaman lebih efektif daripada mengeksekusinya.

Dalam dunia di mana semua orang haus kepastian, Iran justru memanfaatkan ketidakpastian. Mereka tahu bahwa kadang ketegangan yang tak kunjung pecah bisa jauh lebih menakutkan daripada ledakan.

Itu sebabnya mereka lebih suka mengirim kapal patroli, menggelar latihan militer, atau menyebar pernyataan pedas. Semua itu bukan karena mereka ingin perang. Justru sebaliknya—mereka ingin semua orang berpikir perang itu dekat, padahal tidak.

Iran tak butuh tank melintas, cukup sinyal di radar. Mereka bermain di ranah gangguan terbatas: sabotase ringan, serangan siber, atau dukungan ke milisi lokal. Semua dilakukan secara presisi dan minimalis—semacam diet geopolitik. Efektif tanpa membakar kalori terlalu banyak.

Ini adalah bentuk strategi modern: membuat lawan tak nyaman, tapi tak memberi mereka alasan untuk menyerang balik secara frontal. Dengan kata lain, bikin gatal tanpa bikin berdarah.

Hormuz dalam hal ini bukan panggung perang, tapi panggung sandiwara tekanan. Iran jadi sutradara, dan dunia jadi penontonnya. Setiap tahun, episode baru dirilis: ada kapal disita, ada drone ditembak, ada latihan militer besar-besaran. Tapi klimaksnya? Iran tak pernah menutup Selat Hormuz.

Di era di mana pasar saham bisa goyang hanya karena cuitan presiden, ancaman dari Hormuz adalah alat yang sangat ampuh. Iran tinggal naikkan tensi sedikit, pasar langsung sesak napas. Ini bukan sekadar gertakan, tapi cara untuk menyeimbangkan permainan global.

Jangan lupa: dunia sudah terlalu tergantung satu sama lain. Kalau Iran menutup Hormuz dan harga minyak naik dua kali lipat, yang kena bukan cuma AS, tapi juga Jerman, Jepang, bahkan negara-negara yang cuma numpang lewat. Dan ketika semua panik, Iran jadi pusat perhatian.

Itu adalah posisi tawar yang mahal.

Jadi kenapa Iran tak pernah menutup Selat Hormuz?

Jawabannya sederhana: karena mereka terlalu pintar untuk melakukan hal bodoh. Di tengah sanksi, tekanan ekonomi, dan isolasi politik, menutup selat adalah tindakan yang bisa memicu kehancuran sendiri.

Iran memilih cara yang lebih elegan: menjaga selat tetap terbuka sambil terus membuat semua orang tidak tenang. Ini bukan kelemahan—ini strategi. Mereka tahu bahwa dunia akan terus bertanya “kapan Hormuz ditutup?” tanpa pernah mendapat jawabannya. Dan di dalam ketidakpastian itu, Iran menjaga eksistensi dan pengaruhnya.

Hormuz tetap terbuka, bukan karena Iran tak berani, tapi karena Iran sudah cukup berani untuk menahan diri.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar