Dua sesi pertunjukan tari kecak di Uluwatu

Tari kecak menjadi daya tarik wisata Bali sejak 1996. Dengan ribuan wisatawan setiap hari, tari kecak di Uluwatu kini tampil dua kali sehari.

Dua sesi pertunjukan tari kecak di Uluwatu. © Andri Saputra/Antara
Penari mempersembahkan tari Kecak di kawasan Uluwatu, Badung, Bali, Selasa (24/6/2025), demi menghibur wisatawan yang yakin budaya bisa dinikmati sambil selfie dan update story. Antara nyala obor dan kilatan kamera, tradisi pun tetap menari. © Andri Saputra/Antara

Selamat datang di Bali, pulau dewata sekaligus lokasi syuting kehidupan palsu para travel influencer. Di antara ribuan destinasi spiritual yang kini berubah jadi kafe matcha organik dan yoga tempat healing berbayar, ada satu yang masih bertahan dengan jati dirinya: tari kecak di Uluwatu. Sejak 1996, pertunjukan budaya ini terus membakar semangat pariwisata Bali, kadang juga membakar energi para penarinya yang harus melantunkan cak-cak-cak setiap sore, setiap hari, tanpa cuti tahunan.

Sebagai magnet turis, tari kecak di Uluwatu lebih laku daripada promo hotel bintang tiga di Booking.com. Ribuan wisatawan, dari yang berjiwa spiritual hingga sekadar kehabisan aktivitas setelah sunset di Seminyak, datang duduk manis selama satu jam demi menyaksikan ratusan pria bersarung berteriak bersama membawakan Ramayana. Ya, ini Bali, bukan episode live dari Squid Game, meskipun kadang jumlah penonton dan tekanan mental pemainnya hampir serupa.

Menurut Kadek Sila Arsa, Sekretaris Grub Kecak di Uluwatu, pertunjukan ini digawangi sekitar 100 personil—semuanya warga lokal Desa Pecatu. Dulu sempat 300 orang, tapi seperti kisah banyak hubungan toxic, sebagian mulai bosan dan akhirnya mundur teratur. Kini yang tersisa tetap semangat melayani tontonan dua kali sehari, setiap hari, termasuk saat Anda sedang sibuk scroll TikTok.

Ada 10 pemeran utama (bisa dibilang “bintang tamu reguler”), sekitar 50-60 orang bagian cak, sisanya kru yang entah bagaimana tetap waras setelah mendengar “cak-cak-cak” secara repetitif 365 hari setahun. Sementara para turis bisa pulang membawa video slow-mo api unggun, para penari pulang membawa suara serak dan punggung pegal. Tapi hei, itulah seni: pengorbanan yang dipertontonkan, tapi tak selalu dihargai.

Sadar bahwa turis makin banyak dan tripadvisor tak bisa dibiarkan kosong ulasan, pertunjukan tari kecak di Uluwatu kini diadakan dua kali sehari. Pertama jam 18.00 sampai 19.00, lalu disambung sesi kedua dari 19.15 sampai 20.00. Cukup waktu untuk memanjakan dua rombongan sekaligus: satu yang datang sebelum sunset, satu lagi yang telat karena kejebak macet di Canggu.

Jangan salah. Pertunjukan ini bukan cuma budaya, ini logistik. Ratusan manusia diatur, suara harus sinkron, cahaya api dikendalikan, dan monyet lokal harus dijauhkan dari tas Gucci turis. Bahkan Hollywood pun belum tentu siap mengatur produksi sepadat ini setiap hari tanpa jeda. Tapi Bali? Bali tidak gentar.

Menurut Kadek Sila, turis India mendominasi penonton sejak 2021 hingga 2022. Alasan utamanya? Cerita Ramayana yang juga familiar di negeri Bollywood. Jadi, bukan karena kecak mirip tarian Shiva, bukan karena tiketnya murah, tapi karena nostalgia. Ternyata, Rama, Shinta, dan Rahwana mampu menjembatani hubungan diplomatik lintas samudera lebih kuat dari perjanjian bilateral.

Tentu kita tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga ingin membandingkan Hanoman versi Bali dengan versi CGI di film Adipurush. Atau sekadar ingin berteriak “Jai Shri Ram!” sambil duduk di tribun Uluwatu dengan angin laut menerpa rambut.

Five Wonderful Uluwatu adalah branding pariwisata lokal yang entah siapa agennya, tapi patut diacungi jempol karena berhasil meramu tebing, pura, monyet, sunset, dan tari kecak di Uluwatu menjadi satu paket wisata yang terdengar seperti bucket list Instagram. Kombinasi ini nyaris sempurna, kecuali bagian di mana monyet-monyet lokal bisa mencuri kacamata Ray-Ban Anda dalam tiga detik tanpa rasa bersalah.

Untuk harga tiket? Cuma 150 ribu. Terlalu murah untuk budaya, terlalu mahal untuk kantong mahasiswa, tapi pas di tengah bagi influencer yang rela bayar 10 kali lipat demi spot selfie dengan background api unggun.

Tak lengkap rasanya kalau dalam cerita tentang budaya Bali tidak ada daerah lain yang iri dan ingin meniru. Masuklah Karanganyar, lewat pernyataan wartawan senior Joko Dwi Hastanto, yang menyebut Candi Cetho bisa jadi “Uluwatu”-nya Jawa Tengah. Katanya, Cetho punya potensi untuk jadi panggung Ramayana juga.

Tentu kita dukung semua upaya pelestarian budaya. Tapi mari jujur: apakah cukup hanya punya candi dan pegunungan untuk menyaingi aura magis Uluwatu? Bagaimana dengan kru, promotor, marketing, lighting, dan monyet yang sudah dilatih sejak lahir untuk mencuri sandal turis?

Karanganyar boleh bermimpi, tapi sebelum menggelar pertunjukan budaya berkelas global, mungkin bisa dimulai dengan pelatihan dasar “bagaimana membuat turis India betah duduk sejam tanpa AC”.

Kecak: seni suci atau industri hiburan?

Wisatawan khusyuk menyaksikan penari tari Kecak Uluwatu di kawasan Uluwatu, Badung, Bali, Selasa (24/6/2025)—sembari sesekali memastikan angle terbaik untuk konten “spiritual journey” di Instagram. Tradisi tetap sakral, meski harus bersaing dengan kamera depan. © Andri Saputra/Antara
Wisatawan khusyuk menyaksikan penari tari Kecak Uluwatu di kawasan Uluwatu, Badung, Bali, Selasa (24/6/2025)—sembari sesekali memastikan angle terbaik untuk konten “spiritual journey” di Instagram. Tradisi tetap sakral, meski harus bersaing dengan kamera depan. © Andri Saputra/Antara

Inilah dilema utama dari tari kecak di Uluwatu hari ini: ia berada di persimpangan antara sakral dan spektakel. Di satu sisi, ini warisan budaya, seni ritual, suara dari masa lalu yang hidup kembali. Di sisi lain, ini juga bisnis, atraksi wisata, pertunjukan berjadwal ketat yang tak boleh telat satu menit karena penonton bisa marah lalu menulis review buruk.

Penari bukan lagi hanya penjaga tradisi, tapi juga entertainer yang harus tampil tanpa cela. Budaya tak lagi hanya dilestarikan, tapi juga dijual. Dan dalam dunia yang dikendalikan algoritma, kecak pun akhirnya harus tunduk pada rating YouTube dan jumlah like.

Apakah penari kecak di Uluwatu adalah pelaku budaya yang menghidupkan tradisi, atau justru kita—penonton, turis, fotografer, travel blogger, content creator—yang sedang menari dalam pusaran kapitalisme budaya? Kita datang, berdecak kagum, lalu pulang dengan footage dan caption puitis. Tapi apa yang tersisa setelah itu?

Tari kecak tetap ada, tetap menjerit cak-cak-cak, bahkan ketika kita sudah lupa nama penarinya. Karena di dunia pariwisata hari ini, keabadian tak diukur dari warisan budaya, tapi dari seberapa banyak view dan seberapa cepat video Anda masuk FYP.

Lainnya

Tentang

Novanka Laras
Laras di sini menulis seni dan budaya.

Posting Komentar