![]() |
Menghitung uang. © Dimas Ardian/Bloomberg/Getty Images |
Mari buka fakta dengan secangkir kopi pahit dan tamparan realita. Nilai tukar—yang katanya cuma angka di pojok kanan bawah layar televisi—ternyata adalah monster besar yang bisa menggerogoti dompet kita, diam-diam tapi pasti. Dan sekarang, sang monster sedang lapar. Rupiah melemah terhadap dolar AS dan semua orang, dari politisi sampai tukang gorengan, memilih cuek.
Mereka bilang, “Ah, biasa itu. Fluktuasi wajar.”
Wajar? Coba bilang itu ke pengusaha yang harus impor bahan baku. Atau ke anak muda yang nabung buat kuliah di luar negeri. Atau ke ibu-ibu yang baru sadar harga minyak goreng naik bukan karena jin jahat, tapi karena rupiah drop.
Tapi tenang, ini bukan obituari untuk rupiah. Ini sinyal. Dan bukan cuma sinyal pasar, tapi alarm untuk kita semua: jangan anggap remeh nilai tukar.
Ada dua jenis orang di negeri ini: yang panik karena dolar naik, dan yang diam-diam senyum karena dia punya tabungan USD. Yes, kalau Anda termasuk yang kedua, selamat. Anda sedang menikmati pertunjukan gratis dari kurs yang melemahkan rupiah sambil menaikkan aset Anda.
Coba bayangkan: Anda pegang USD100.000 saat rupiah masih Rp16.390. Total kekayaan Anda setara Rp1,639 miliar. Eh, minggu depannya rupiah turun ke Rp16.600? Tiba-tiba aset Anda jadi Rp1,660 miliar. Nambah Rp21 juta tanpa ngapa-ngapain, cuma karena mata uang lokal lagi sakit flu. Enak, kan?
Tapi tentu tidak semua orang seberuntung itu. Rakyat jelata kebanyakan masih percaya investasi terbaik adalah tanah dan tabungan rupiah, dua entitas yang kini sama-sama stagnan dan perlahan dilumat inflasi.
Lucunya, banyak orang menganggap nilai tukar itu urusan negara. Padahal justru inilah senjata investasi paling praktis—asal tahu caranya.
Skenario sederhana: Anda ingin beli properti senilai Rp10 miliar. Kurs hari ini Rp16.200. Anda butuh sekitar USD617.000. Tiba-tiba karena delay pembayaran, kurs jadi Rp16.500. Tahu berapa yang Anda hemat? USD11.225. Itu sekitar Rp180 juta. Hanya karena waktu dan kurs.
Ini bukan sulap, ini realitas. Dan ya, dalam realitas ini, dolar adalah pahlawan berjubah hijau, bukan sekadar simbol kapitalisme.
Di tengah kabut geopolitik—dari Israel-Iran sampai dagelan pemilu AS—pasar global sedang joget cha-cha: dua langkah maju, satu langkah mundur. Pasar saham merosot. Komoditas jungkir balik. Investor bingung.
Tapi dolar? Dolar tetap tampil prima, bagai selebgram yang tidak pernah kehilangan follower. Dan ketika IHSG kita turun menembus level psikologis 7.000 menuju 6.800, para investor institusi mulai pamit pelan-pelan. Saham blue chip dijual, sektor perbankan dibabat. Mereka tak lagi berharap rebound. Mereka tahu: ini bukan koreksi sehat, ini sinyal putus cinta dari pasar.
Masih percaya dengan mantra “hold aja”? Wah, selamat, Anda korban investasi emosional. Dalam dunia yang dikuasai algoritma dan volatilitas, menahan aset dengan harapan pasar balik arah itu ibarat menunggu mantan balik karena kita ganti foto profil WA. Bisa sih, tapi kemungkinan besar cuma buang waktu.
Realokasi portofolio bukan berarti panik. Itu namanya cerdas. Menjual saham saat harga masih tinggi bukan pengkhianatan terhadap mimpi jangka panjang. Itu strategi bertahan hidup. Karena dalam pasar, yang bertahan bukan yang setia, tapi yang fleksibel.
Diversifikasi itu bukan teori kampus. Itu kebutuhan hidup. Kalau selama ini Anda cuma punya saham dan properti, maka Anda sedang berjalan di tali tipis. Sedikit goyangan, jatuh.
Masukkan emas. Tambahkan obligasi. Sisihkan dolar. Bahkan kalau perlu, pelajari stablecoin. Karena hari ini, menjadi investor itu bukan soal mencari untung, tapi menghindari kerugian fatal.
Dan tahu apa musuh paling diam-diam dari kekayaan kita? Bukan koruptor. Bukan mafia proyek. Tapi si nilai tukar yang pelan-pelan melemahkan daya beli. Kita pikir tabungan Rp1 miliar itu aman. Padahal kalau rupiah drop 10%, daya belinya sudah terpangkas Rp100 juta.
Narasi pemerintah soal ekonomi kuat sering kali disajikan dengan saus optimisme kental. Mereka bilang, “Fundamental kita kuat, inflasi terjaga, pasar stabil.” Tapi coba tanya para pelaku ekspor. Tanyakan ke pengusaha kecil yang tergantung bahan impor. Mereka semua tahu: stabilitas itu semu.
Gubernur BI Perry Warjiyo sudah jungkir balik pakai strategi “triple intervention” biar rupiah tidak terjun bebas: dari intervensi NDF, DNDF, sampai SRBI, SVBI, SUVBI—kayak nama-nama boyband Korea. Semua sudah dipakai. Tapi tetap saja, pasar punya kehendaknya sendiri.
Rupiah melemah bukan bencana. Tapi jika kita terus berpikir bahwa nilai tukar hanyalah angka di layar, maka kita sedang berjalan mundur. Mereka yang memegang dolar bukan karena ikut-ikutan, tapi karena sadar fungsi lindung nilai, akan selamat lebih lama.
Jangan menunggu pemerintah memperbaiki nilai tukar, karena mereka saja masih sibuk memperbaiki citra di medsos. Jangan menunggu BI menjinakkan volatilitas, karena dunia terlalu dinamis untuk dikontrol dari satu gedung di Thamrin.
Kita perlu sadar: mata uang bukan sekadar alat bayar. Ia adalah simbol kekuatan. Dan yang memahami nilainya—bukan nominasinya—akan selalu selangkah di depan.