Janji manis pengesahan RUU PPRT

Setelah 20 tahun, para pekerja rumah tangga masih dihantui kekosongan hukum dan kekerasan. Sudah waktunya DPR berhenti PHP.
Janji manis pengesahan RUU PPRT. © Burak Karademir/Getty Images
Ngelap kaca. © Burak Karademir/Getty Images

Kalau ada lomba ngaret nasional, DPR dan elite politik kita jelas masuk nominasi. Pengesahan RUU PPRT adalah buktinya: 20 tahun ngaret, janji-janji manis doang, realisasi nol besar. Kalau ini serial TV, judulnya pasti "Janji Tinggal Janji: Season 20, Plot Masih Sama, Ending Belum Ada."

Dan sekarang, Prabowo – Presiden yang baru, yang katanya tegas dan cepat tanggap – bilang RUU ini bakal diberesin dalam tiga bulan. Ucapannya disampaikan live di Monas, di hadapan ribuan buruh, pas Hari Buruh. Gaya kampanye? Udah lewat. Tapi gaya ngomong janji-janji masih kental banget.

Kita tentu senang dong, Presiden kasih angin segar. Tapi masalahnya: angin ini udah 20 tahun berhembus, dan PRT belum juga dikasih payung hukum. Jangan-jangan ini angin surga, yang ujung-ujungnya bikin rakyat masuk angin.

Bayangkan nasib para pekerja rumah tangga: bangun lebih pagi dari ayam, tidur lebih malam dari tikus got, kerja nggak kenal waktu, tapi sampai hari ini masih dianggap "bukan pekerja formal". Jadi jangan heran kalau perlindungan hukumnya nol koma nol sekian.

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah bolak-balik masuk daftar prioritas, tapi sering kali ditolak. Periode DPR 2019–2024 sempat sepakat ini jadi inisiatif legislatif. Tapi begitu sudah sampai tahap akhir, eh malah mandek. Alasannya? Klise. Sibuk, kurang waktu, dan lain-lain yang ujungnya cuma muter di ruang rapat kayak kaset rusak.

PRT ini bukan makhluk mitologi, mereka manusia nyata, hidup dan kerja di rumah-rumah elit yang mungkin sibuk rapat soal RUU itu sendiri. Tapi selama dua dekade ini, mereka tetap jadi warga negara kelas Z, bahkan setelah digembar-gemborkan sebagai pahlawan domestik.

Presiden Prabowo bilang RUU ini bakal disahkan dalam tiga bulan. Ya bagus, kita hargai. Tapi tiga bulan itu bukan waktu yang panjang kalau DPR masih sibuk debat anggaran renovasi ruang rapat atau mengganti kursi kerja.

Pengesahan RUU PPRT harus terjadi sebelum 1 Agustus. Kalau lewat, jangan salahkan kalau publik mulai bikin meme, parodi, dan materi roasting soal janji-janji palsu pejabat. Kredibilitas pemerintah bisa ikut ambruk. Koalisi besar, suara mayoritas, tapi nyahkan satu undang-undang aja susah?

Inilah saatnya para anggota DPR membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pemilik jas mewah dan pin emas, tapi juga punya otak dan hati yang bekerja.

Yang diminta PRT itu simpel: status hukum yang jelas, perlindungan dari kekerasan, dan jam kerja manusiawi. Mereka nggak minta dikasih ruang VIP di bandara, apalagi apartemen gratis di ibu kota. Mereka cuma pengen diakui sebagai pekerja yang punya hak, bukan sekadar bayangan di balik dapur rumah elit.

Tapi anehnya, permintaan sesederhana ini bisa tertunda lebih dari dua dekade. DPR ngotot bahas revisi UU ASN atau proyek IKN, tapi RUU PPRT selalu masuk kotak pending.

Data dari 2021 sampai 2024 menunjukkan lebih dari 3.000 kasus kekerasan terhadap PRT. Dari pelecehan seksual, gaji tidak dibayar, disiksa, sampai dikurung kayak tahanan. Tapi lucunya, negara masih cuek. Bahkan hukum yang seharusnya jadi benteng, justru bolong kayak jaring nelayan pensiun.

RUU PPRT ini penting banget. Tanpa itu, PRT tetap jadi korban yang kesalahannya cuma satu: lahir sebagai rakyat kecil dan kerja di ranah domestik. Kalau majikan jahat, nggak ada yang bisa melindungi. Kalau disiksa, paling-paling viral sehari lalu dilupakan.

Biasanya alasan penundaan adalah, "RUU-nya masih kontroversial," atau "perlu pendalaman." Pendalaman apaan? Ini udah 20 tahun, hey! Atlantis aja bisa ditemukan lebih cepat. Kalau masih bilang butuh kajian, ya mending jujur aja: "Kami malas, dan kami tidak peduli."

Saat ini, RUU PPRT sudah punya Surat Presiden (surpres), sudah ada DIM (daftar inventarisasi masalah), dan tinggal diketok. Kalau sampai gagal lagi, ya jelas ini bukan kesalahan teknis, tapi niat jahat politik yang mengulur-ulur nasib kaum lemah.

Buat yang khawatir RUU ini bikin majikan susah, mari tenang dulu. RUU ini bukan undang-undang balas dendam. Bukan juga alat untuk bikin para PRT tiba-tiba jadi diktator di dapur. Isinya cuma ingin memperjelas hak dan kewajiban dua pihak: PRT dan majikan.

Kalau majikan baik, nggak ada yang berubah. Yang repot ya cuma yang suka manggil PRT tengah malam buat ngambil remote TV yang jatuh. Atau yang minta kerja 20 jam sehari tapi gaji setara paket data.

16 Juni kemarin adalah Hari Pekerja Rumah Tangga Sedunia. Momen ini dipakai para aktivis untuk kembali ingatkan DPR. Tapi sayangnya, peringatan ini seperti orkestra tanpa penonton: ramai di pinggir, sepi di panggung kekuasaan.

Pengesahan RUU PPRT adalah ujian nurani kolektif. Kita sudah terlalu sering melihat para elit berdiri di atas panggung, mengucapkan kata-kata indah tentang kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. Tapi begitu lampu padam, mereka kembali ke rutinitas: lupa, ngeles, dan sibuk bagi-bagi kursi.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar