Koperasi Merah Putih dan dagelan ekonomi kerakyatan

Alih-alih membebaskan rakyat secara ekonomi, program Koperasi Merah Putih rawan mengulang kegagalan top-down Orde Baru.
Koperasi Merah Putih dan dagelan ekonomi kerakyatan. © Wokephoto17/Getty Images
Menghitung uang. © Wokephoto17/Getty Images

Kalau Bung Hatta bangkit dari kubur dan lihat program Koperasi Merah Putih, kemungkinan besar beliau akan berpikir dirinya tersesat ke pameran dagelan birokrasi. Sebab alih-alih jadi simbol perlawanan terhadap kapitalisme, koperasi di tangan kekuasaan malah berubah jadi proyek industrialisasi massal. Mimpi Bung Hatta dijadikan proyek seragam, seperti seragam PNS hari Senin: kaku, membosankan, dan tidak menginspirasi.

Tapi tentu, tidak ada yang salah dengan niat baik. Pemerintah katanya ingin membangkitkan ekonomi kerakyatan lewat koperasi. Masalahnya, niat baik tanpa otak sehat itu seperti makan nasi goreng tanpa nasi—niatnya bagus, tapi kosong. Skema koperasi desa yang digulirkan lewat program Koperasi Merah Putih berpotensi mengulang sejarah kelam Koperasi Unit Desa (KUD) ala Orde Baru. Bedanya, kalau KUD dulu gagal karena korupsi, sekarang bisa gagal karena ambisi terlalu megalomania.

Kementerian Koperasi dan UKM menargetkan 80 ribu koperasi dibentuk di seluruh desa se-Indonesia. Luar biasa. Ini bukan koperasi, ini pabrik koperasi. Disulap dalam waktu singkat, dikirim secara merata ke seluruh pelosok, lengkap dengan satgas dan pelatih seperti paket pelatihan prajurit.

Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi pun tampil percaya diri. Katanya semua koperasi akan didampingi, diawasi, dan dipeluk erat-erat oleh negara. Bahkan disiapkan dana jumbo lewat APBN dan Bank Himbara. Sebuah proyek besar yang kalau berhasil, ya bagus. Tapi kalau gagal? Potensi beban fiskal ditaksir bisa mencapai 400 triliun. Ini bukan angka lelucon, ini angka serius yang bisa bikin jantung APBN berdebar tanpa romansa.

Koperasi Merah Putih, katanya, akan diberi suntikan dana, pelatihan, dan didorong untuk jadi motor penggerak ekonomi desa. Tapi kita sudah lihat model seperti ini. Koperasi simpan pinjam yang dulunya dijanjikan jadi solusi kredit rakyat, malah jadi tempat baru para rentenir berjubah koperasi. Bukan tempat saling menolong, tapi saling menjebak.

Konsep koperasi versi Bung Hatta dibangun dari kesadaran rakyat. Sukarela, kekeluargaan, dan rasa tanggung jawab sosial. Sementara Koperasi Merah Putih ini dibentuk dari atas, berdasarkan Surat Edaran Menteri, dengan mewajibkan desa mengalokasikan 20 persen Dana Desa untuk koperasi. Itu bukan koperasi rakyat, itu koperasi rasa koloni.

Bagaimana tidak lucu? Pemerintah memaksa desa membentuk koperasi, lalu memaksa alokasi dana, lalu mengawasi lewat satgas yang datang dari pusat. Ini bukan membangun kedaulatan ekonomi rakyat. Ini mengulang pola penguasaan lewat lembaga yang diklaim kerakyatan. Seolah-olah rakyat diajak berdikari, padahal diarahkan seperti pion di papan catur birokrasi.

Tak hanya itu. Keberadaan Koperasi Merah Putih tumpang tindih dengan BUMDes yang sudah ada sejak satu dekade lalu. Hasilnya? Kebingungan di tingkat desa, duplikasi fungsi, dan potensi pemborosan anggaran. Desa bukan laboratorium percobaan elite kekuasaan. Rakyat desa bukan objek proyek. Mereka adalah subjek pembangunan yang layak diajak berpikir, bukan diperintah.

Prinsip dasar koperasi adalah partisipasi. Tapi koperasi yang dipaksa, diseragamkan, dan didanai besar-besaran dari atas, justru membunuh semangat itu. Apa bedanya dengan orkestra di mana pemainnya disuruh main lagu yang tak mereka pilih, dengan instrumen yang tak mereka bisa, dan dinilai oleh juri yang tak kenal desa?

CORE Insight mengingatkan, pendekatan ini akan gagal karena mengabaikan konteks lokal. Desa di Papua berbeda dengan desa di Jawa Tengah. Desa nelayan di Maluku tak bisa disamakan dengan desa pertanian di Sumatera Barat. Tapi koperasi Merah Putih seolah diperlakukan seperti pop mie—satu rasa untuk semua lidah.

Koperasi yang sukses, seperti Amul di India, SACCOs di Kenya, dan Mondragon di Spanyol, semua lahir dari rakyat. Mereka bukan proyek negara, tapi buah dari solidaritas sosial. Mereka tak dibentuk karena surat edaran, tapi karena kebutuhan nyata. Dan mereka berhasil bukan karena pendanaan jumbo, tapi karena akuntabilitas dan manajemen yang sehat.

Kalau program ini gagal, seperti biasa, rakyat akan dipersalahkan. Dibilang kurang siap, kurang literasi, tidak memahami koperasi. Tapi siapa yang menyuruh mereka membentuk koperasi dengan tergesa-gesa dan penuh tekanan? Siapa yang mendesain program tanpa menakar kapasitas lokal?

Mereka yang menciptakan struktur terlalu rumit, sistem pendampingan yang asal tunjuk, dan model evaluasi yang hanya berdasarkan jumlah koperasi, bukan kualitas. Maka kegagalan bukan pada rakyat, tapi pada desain kekuasaan yang semena-mena.

400 triliun itu uang siapa? Bukan uang kementerian, bukan uang menteri. Itu uang rakyat. Dan ketika digunakan untuk membiayai koperasi seragam yang belum tentu dibutuhkan, itu artinya rakyat dipaksa membayar eksperimen elite.

Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk memperkuat koperasi lokal yang sudah ada, membangun sistem audit independen, menciptakan platform digital koperasi, atau memperbaiki akses pasar petani dan nelayan. Tapi sayangnya, lebih seru membentuk 80 ribu koperasi baru ketimbang memberdayakan yang sudah ada. Karena proyek baru lebih seksi, lebih banyak seremonial, dan tentu... lebih banyak peluang diklaim sebagai “prestasi”.

Kalau benar ingin membangkitkan ekonomi rakyat, jangan beri mereka koperasi dalam kardus dari pusat. Beri mereka ruang untuk membentuk koperasi sendiri, sesuai kebutuhan, kapasitas, dan keunikan desanya. Pemerintah cukup jadi fasilitator, bukan produsen koperasi massal.

Berhentilah menjadikan koperasi sebagai alat kekuasaan atau proyek politik. Koperasi itu sekolah demokrasi ekonomi. Dan sekolah yang baik tidak bisa dipaksa masuk ke desa seperti sales motor kredit. Ia tumbuh pelan-pelan, dari keyakinan dan kebutuhan bersama.

Bung Hatta pernah bilang, “Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib ekonomi berdasarkan tolong-menolong.” Tapi kalau koperasi dibentuk berdasarkan perintah dan proyek elite, maka ia bukan koperasi. Ia hanya koperasi papan nama yang dipasang di depan kantor desa, lalu ditinggal usai acara pemotongan pita.

Koperasi Merah Putih bisa jadi solusi, kalau dibentuk dari bawah, bertahap, dan dengan pengawasan yang ketat. Tapi kalau masih top-down, seragam, dan dibumbui ambisi politik, ia hanya akan jadi ilusi.

Ilusi tentang rakyat mandiri yang ternyata dikendalikan dari pusat. Ilusi tentang pembangunan ekonomi yang ternyata hanya proyek anggaran. Ilusi tentang koperasi sebagai penyelamat, padahal hanya dagelan birokrasi dengan sentuhan nasionalisme murahan.

Maka mari kita jaga semangat koperasi, bukan dengan slogan, tapi dengan kesadaran. Bukan dengan instruksi, tapi dengan partisipasi. Dan bukan dengan uang triliunan, tapi dengan nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan kedaulatan rakyat. Karena koperasi sejati tidak lahir dari kekuasaan. Ia lahir dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar