![]() |
Uang seratus ribu rupiah. © La Terase/Shutterstock |
Mari kita mulai dengan satu fakta pahit: The Fed memutuskan suku bunga tetap, dan semua orang tetap panik. Pasar saham? Goyang. Investor? Bingung. Rupiah? Gemetar. Bitcoin? Melambung seperti mimpi yang tak kunjung usai. Dan semua itu terjadi bukan karena ada yang berubah... tapi justru karena tidak ada yang berubah.
Jerome Powell, si bos besar The Fed, memutuskan bahwa suku bunga tetap nyaman di posisi sekarang. Bukan keputusan mendebarkan, tapi entah kenapa reaksinya seperti habis diputus via WhatsApp tanpa emotikon.
"Tidak ada penurunan dalam waktu dekat," kata Powell dengan gaya khas orang tua yang bilang "nanti kita lihat" padahal maksudnya "enggak."
Ini sudah keempat kalinya The Fed mempertahankan suku bunga tetap, yang artinya mereka masih melihat inflasi sebagai momok yang menakutkan. Padahal, investor sudah pasang lilin harapan agar suku bunga diturunkan biar portofolio mereka bisa bernapas.
Tapi harapan tinggal harapan. Powell masih hawkish. Bahasa ekonominya sih begitu, tapi kalau diterjemahkan ke bahasa investor retail, artinya "Kalian gak akan dapat diskon cicilan, jangan ngarep!"
Pasar bereaksi? Tidak meledak sih, tapi seperti orang ditolak gebetan: kecewa, namun berusaha terlihat santai. Dow Jones goyang tipis, S&P 500 nyaris diam, Nasdaq malah ngasih senyum kecil. Tapi di balik itu, para pelaku pasar sedang membuka tabungan darurat.
Belum cukup Powell bikin suasana horor, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei, menambahkan bumbu nuklir ke dalam sup geopolitik.
Dengan semangat "kami tidak akan tunduk pada perdamaian yang dipaksakan," Iran resmi membuat pasar minyak tersedak. Harga WTI pun melayang di angka 75 dolar AS per barel. Bukan karena kebutuhan energi dunia naik, tapi karena politisi doyan drama.
Dan di sinilah investor benar-benar pusing. Beli saham takut perang, beli minyak takut turun, beli reksadana takut likuiditas kering, eh... yang naik malah Bitcoin. Dunia sungguh tidak adil.
Indonesia? Jangan tanya. IHSG sempat “gap up” lalu terjun seperti roller coaster yang bannya copot. Dari 7.115 ke 7.028 hanya dalam satu tarikan napas.
Investor lokal langsung ambil posisi: posisi tiarap. Karena jujur saja, katalis domestik? Tipis banget. Rasa-rasanya cuma BI yang masih nyoba jaga muka.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, bersumpah menjaga stabilitas rupiah. Tapi stabilitas itu, seperti stabilitas hubungan LDR, selalu diuji oleh dunia luar. Apalagi kalau dunia luar lagi murung dan ngambek kayak sekarang.
Di balik kekacauan itu semua, ada satu langkah licin dari AS yang patut diwaspadai: regulasi stablecoin resmi diluncurkan. Jangan salah, ini bukan cuma soal kripto. Ini tentang menciptakan jalur modal baru yang... surprise! — tetap balik ke obligasi pemerintah AS.
Stablecoin yang diakui AS harus didukung penuh oleh aset aman dengan rasio 1:1, terutama obligasi pemerintah. Apa artinya?
Artinya, ketika investor dunia bingung mau naruh duit di mana, Washington dengan manisnya bilang: “Sini aja, ada kripto rasa negara.” Gak cuma aman, tapi legal, rapi, dan (yang paling penting) terhubung langsung ke kekuatan fiskal negara adidaya.
Suku bunga tetap, tapi arus modal bergerak ke arah yang diam-diam mematikan.
Begini cara mainnya: Amerika menciptakan kripto legal berbasis utang negara, lalu menarik investor dari seluruh dunia—termasuk investor dari negara-negara yang ekonominya rapuh kayak Indonesia.
Dan Indonesia? Masih sibuk debat soal perlu atau tidaknya cryptocurrency dilegalkan. Padahal, game-nya sudah naik level.
Ketika dana global pelan-pelan masuk ke stablecoin berbasis US Treasury, itu artinya Indonesia makin kesulitan mempertahankan likuiditas di pasar modal. Rupiah makin gampang digoyang, IHSG makin susah naik, dan kita makin tergantung pada doa.
Sementara saham jatuh dan rupiah loyo, Bitcoin dan emas mulai naik panggung. Investor yang jeli mulai lempar saham dan pelan-pelan bangun benteng dari logam mulia dan aset digital.
Tapi jangan terlalu bahagia dulu. Bitcoin itu seperti pacar toxic: manis di awal, tapi bisa bikin menangis saat koreksi datang tanpa peringatan.
Konsolidasi harga Bitcoin sekarang adalah kode keras bahwa euforia bisa jadi jebakan. Tapi kalau Anda cerdas, diversifikasi ke stablecoin dolar atau USDT bisa jadi langkah strategis. Apalagi kalau AS sudah kasih karpet merah buat kripto legal.
Saat ini, pasar global bukan lagi tentang "bunga naik atau turun." Ini sudah masuk era siapa paling cepat adaptasi ke sistem keuangan digital.
Sementara Indonesia masih bertanya-tanya "Bitcoin haram atau halal?", negara lain sudah menjadikan aset digital sebagai strategi geopolitik.
Amerika paham bahwa uang hari ini tidak cuma dicetak, tapi dikodekan. Dan jika kita tak ikut dalam balapan itu, kita akan jadi penonton yang hanya bisa berkomentar sambil makan gorengan.
Kembali ke suku bunga tetap: memang kelihatannya tidak ada perubahan. Tapi perubahan besar justru terjadi di balik layar.
Investor lokal harus mulai melek. Bukan cuma melek data makroekonomi, tapi juga melek pada arah arus modal global yang sudah dikendalikan lewat sistem keuangan baru. Sistem yang tidak butuh kasir, tapi butuh koneksi blockchain.
Saat harga Bitcoin mendekati 110.000 dolar AS, bukan waktunya bertanya "terlalu mahal gak ya?", tapi "saya sudah punya pegangan apa kalau sistem keuangan berubah drastis?"
Karena seperti biasa, mereka yang siap akan bertahan. Mereka yang menunggu aba-aba pemerintah akan terkejut—dan biasanya ketinggalan.
Ketika The Fed mempertahankan suku bunga tetap, jangan tertipu oleh kesan "semuanya baik-baik saja." Dunia sedang bergerak cepat menuju era digital, dan hanya yang berani dan berpikir strategis yang akan bertahan. Yang lainnya? Akan terus menyalahkan harga cabai sambil tak sadar bahwa uang mereka sedang digiring pelan-pelan... ke dompet digital milik negara lain.
Selamat datang di perang dingin finansial. Dan kali ini, pelurunya bernama stablecoin.