![]() |
Sri Mulyani. © Bayu Pratama S/Antara |
Sri Mulyani kembali tampil di panggung, bukan untuk mengumumkan penurunan utang negara (tentu tidak!), tapi untuk menyampaikan keresahannya pada The Fed dan kolega Eropa-nya yang ogah-ogahan menurunkan suku bunga. Dalam forum Economic Update 2025 di Hotel Borobudur yang penuh AC dan jargon, Menkeu mengeluh bahwa dunia ini sudah terlalu rumit. Bayangkan saja: inflasi katanya sudah jinak, ekonomi global sudah ngos-ngosan, tapi suku bunga tetap tinggi.
Menurut Sri Mulyani, seharusnya bank-bank sentral seperti The Fed, European Central Bank, dan Bank of England segera menurunkan suku bunga acuan mereka di semester II 2025 ini. Tapi kenyataannya? Mereka malah berlagak seperti jomblo idealis yang belum siap turun ke pasar. Alasannya? Harga komoditas masih tinggi karena gangguan rantai pasok. Dilema, katanya.
Tentu, Sri Mulyani khawatir The Fed keras kepala. Wajar saja. Jika suku bunga tinggi terus, uang asing susah diajak mampir ke Indonesia. Padahal, negeri kita ini masih menggantungkan perekonomiannya pada ekspor barang mentah yang harganya juga mentah-mentah fluktuatif.
Di tengah kekacauan global, Indonesia ternyata masih bertahan sebagai negara penonton. Harga minyak naik 9% dalam satu hari karena perang di Timur Tengah, dan kita di sini sibuk menghitung ulang spreadsheet APBN sambil berharap tidak ada subsidi baru yang meledak.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa karena Indonesia kaya sumber daya alam, maka jika harga komoditas dunia naik, kita harusnya senang. Tapi karena rantai pasok rusak dan suku bunga tinggi, justru investor minggat, daya beli warga lunglai, dan APBN seperti anak kos akhir bulan—selalu kekurangan meski katanya sudah cukup.
Kita adalah negara yang kaya bahan mentah, tapi miskin perencanaan hilirisasi. Maka wajar jika setiap kali dunia batuk, kita langsung masuk IGD ekonomi.
Jika ada satu kebiasaan ekonomi Indonesia yang tak berubah sejak era penjajahan, itu adalah ketergantungan pada komoditas. Kita masih ekspor batubara mentah, nikel mentah, sawit mentah, dan mungkin pemikiran mentah juga. Ketika Sri Mulyani khawatir The Fed belum juga menurunkan suku bunga, itu karena kita tak punya bantalan kuat di dalam negeri.
Apa yang terjadi jika harga sawit jatuh? Ekonomi kita ikut goyah. Apa yang terjadi jika nikel diboikot? Target hilirisasi langsung jadi wacana abadi. Sementara negara lain berlomba-lomba membuat inovasi energi terbarukan, kita masih bangga ekspor batu bara sambil menyanyikan lagu pembangunan.
Inflasi memang melunak, kata Menkeu. Tapi itu hanya statistik. Di dunia nyata, harga cabai tetap pedas, harga beras terus naik, dan pulsa listrik seperti punya agenda rahasia untuk bikin warga negara stres. Tapi tentu saja, penyebab semua itu adalah The Fed. Mereka terlalu lama menurunkan suku bunga.
Pemerintah kita punya hobi menyalahkan keadaan global. Kalau ekonomi buruk, ya karena dunia sedang susah. Kalau ekonomi bagus? Tentu karena kerja keras kabinet. Lucu sekali logikanya, seperti sandiwara sinetron petang.
Sri Mulyani menutup pernyataannya dengan frasa klasik: "Kita harus siap menghadapi ketidakpastian." Kalimat ini sudah digunakan sejak zaman Orde Baru, seperti jimat ekonomi yang tak pernah kehilangan khasiat.
Mari jujur saja. Bukan The Fed yang terlalu lama menurunkan suku bunga, tapi kita yang terlalu lama tidak berbenah. Ketika dunia mulai menggeser energi fosil, kita masih terus eksplorasi ladang minyak. Ketika negara lain ekspor teknologi, kita ekspor sawit. Ketika negara lain mengandalkan inovasi, kita mengandalkan doa dan Dana Desa.
Sri Mulyani khawatir The Fed belum juga turun tangan. Tapi warga negara Indonesia lebih khawatir kapan pemerintah turun ke bumi. Di luar sana, ekonomi dunia mungkin sedang dilema. Tapi di sini, kita lebih dilema lagi: mau masak apa kalau harga telur saja sudah bikin bimbang?
Sebenarnya, jika pemerintah ingin menguatkan ekonomi nasional, langkahnya sederhana: berhenti mengeluh dan mulai kerja. Mulailah dari mengurangi ketergantungan pada ekspor mentah. Perkuat industri dalam negeri. Jangan cuma berharap The Fed bersin lalu kita kebagian tisu. Kita bukan ekonomi anak kos yang tergantung donatur.
Negosiasi dagang dengan Amerika pun belum selesai, tapi siapa yang peduli? Warga sudah terlalu sibuk menghadapi harga sembako yang terus menanjak. Kita terlalu sibuk mengeluh soal inflasi global, padahal inflasi domestik pun tak kalah serem.
Dalam segala kekhawatiran Menkeu soal The Fed, satu yang pasti: selama kita tidak memperkuat pondasi ekonomi sendiri, kita akan terus jadi korban kondisi global. Kita bukan negara kecil, tapi juga belum cukup dewasa menghadapi turbulensi ekonomi. Setiap masalah dunia dijadikan dalih, setiap krisis dijadikan pembenaran.
Sri Mulyani khawatir The Fed tak menurunkan suku bunga. Warga khawatir harga telur naik. Dan keduanya tampaknya masih akan terus menunggu. Tapi bedanya, The Fed mungkin masih punya strategi. Kita? Masih sibuk mencari kambing hitam.