![]() |
Gibran. © M Risyal Hidayat/Antara |
Selamat datang di republik yang katanya demokratis, tapi alergi terhadap kritik, terutama jika ditujukan kepada anak presiden yang sekarang sudah menjelma jadi wakil presiden. Penangkapan mahasiswa PMII di Blitar saat menyuarakan keresahan warga negara bukan cuma memalukan, tapi juga mencerminkan wajah asli demokrasi yang katanya "paling besar di Asia Tenggara", tapi ternyata kecut kayak jeruk busuk.
Tiga kader PMII hanya membentangkan spanduk bertuliskan "Omon-omon 19 juta lapangan kerja?" dan "Dinasti tiada henti", langsung dibungkus, diamankan, dihalau, dibungkam—pokoknya semua istilah steril ala aparat dipakai. Padahal, mereka cuma mahasiswa, bukan teroris. Yang mereka bawa cuma spanduk, bukan granat.
Kita ini hidup di negeri yang mengklaim kebebasan berpendapat dijamin konstitusi. Tapi setiap kali ada suara warga negara sedikit nyaring, langsung dibilang menggangu ketertiban, menodai ketenangan, bahkan mengancam VVIP. Jadi, sekarang mahasiswa bawa poster dianggap senjata pemusnah massal?
Penangkapan mahasiswa PMII itu terjadi hanya karena mereka mencoba mengungkapkan keresahan warga negara. Tapi seolah-olah kritik terhadap penguasa adalah tindakan kriminal. Ironis, karena di masa Orde Baru saja mahasiswa masih bisa turun ke jalan dan dikenal sebagai penjaga nurani bangsa. Sekarang? Baru bentang spanduk sudah dijemput ala penjahat kelas kakap.
Alasan aparat? Katanya area VVIP harus steril. Wah, kita baru tahu kalau udara demokrasi bisa dianggap kotor oleh pengamanan presiden dan wakilnya. Rupanya, bukan hanya jalan yang disterilkan, tapi juga pikiran warga negara. Kalau begini terus, lama-lama warga disuruh tutup mulut total setiap kali pejabat lewat. Bisa-bisa, orang jual gorengan pun ditangkap karena dianggap mengganggu aroma steril kekuasaan.
Jadi kalau Fufufafa lewat, spanduk harus minggir, kritik harus disensor, dan warga harus pura-pura bahagia. Inilah hasil pemilu yang katanya demokratis, tapi hasilnya bikin demokrasi kram perut.
Isi spanduk mahasiswa itu sebenarnya cerminan dari kegelisahan warga negara. "19 juta lapangan kerja" itu bukan hoaks. Itu janji yang terucap waktu kampanye. Tapi sampai sekarang, yang ada justru 19 juta pertanyaan di kepala warga negara: lapangan kerjanya di mana? Di bawah tikar? Di dalam mimpi?
Kritik soal "dinasti tiada henti" juga bukan ujaran kebencian. Itu realitas politik kita yang makin hari makin seperti sinetron keluarga. Ayah di puncak, anak di samping, adik di belakang, sepupu di pojok, dan warga negara di luar pagar, nonton sambil gigit jari. Tapi mengkritik dinasti dianggap dosa besar. Mungkin karena di negeri ini, darah biru lebih penting daripada suara warga negara.
Wakapolres Blitar Kota bilang penangkapan itu sesuai prosedur. Mereka hanya mengamankan karena takut "ada yang menerobos". Oke, mari kita pahami logika ini: mahasiswa bawa spanduk → dianggap menerobos → langsung digiring masuk mobil → diamankan 4 jam → dikembalikan tanpa proses hukum. Jadi sebenarnya salah mereka apa? Bawa karton? Berdiri di tempat yang salah? Atau cuma salah zaman?
Kalau semua prosedural, berarti yang salah adalah prosedurnya. Kalau yang dikritik kebijakan publik, kenapa yang ditangkap malah publiknya?
Aksi mahasiswa bukan kejahatan. Mereka hanya bertanya. Tapi di negeri ini, bertanya bisa bikin orang diamankan. Ini jelas bukan soal keamanan. Ini soal mentalitas kekuasaan yang takut dikritik. Semakin kuat klaim demokrasi, semakin rapuh reaksinya ketika dihantam kenyataan.
Penangkapan mahasiswa PMII adalah peringatan bahwa ruang demokrasi di Indonesia makin menyempit. Sekarang masih mahasiswa yang ditangkap. Besok siapa? Petani yang protes harga pupuk? Buruh yang demo upah? Wartawan yang nulis artikel satire seperti ini?
Saat institusi formal tak lagi jadi penyeimbang kekuasaan, mahasiswa adalah suara terakhir dari nalar publik. Mereka tak punya pangkat, tak punya anggaran, tapi mereka punya suara. Dan ketika suara itu mulai dibungkam, kita sedang berjalan mundur ke zaman di mana pemimpin dianggap raja, dan warga negara cuma pelengkap statistik.
Kita tak bisa terus hidup dalam ilusi "semua baik-baik saja". Negara ini dibangun bukan hanya dengan infrastruktur dan proyek mercusuar, tapi juga dengan kebebasan. Kalau kritik dianggap ancaman, maka kita sedang menyaksikan demokrasi mati perlahan.
Tidak semua yang keras itu berbahaya. Tidak semua yang beda itu musuh. Kritik adalah tanda cinta. Spanduk mahasiswa bukanlah simbol makar, tapi cermin dari keresahan. Kalau negara tak bisa membedakan antara kritik dan ancaman, maka sesungguhnya yang lemah bukan demokrasi, tapi mentalitas pemimpinnya.
Pemerintah, aparat, dan semua pemegang kekuasaan harus sadar bahwa sterilitas bukan berarti kekosongan suara. Jika setiap kritik disikapi dengan intimidasi, maka negeri ini sedang menuju rezim bisu di mana suara warga negara hanya boleh dalam bentuk pujian.
Penangkapan mahasiswa PMII di Blitar bukan insiden sepele. Itu sinyal keras bahwa demokrasi kita sedang masuk tahap rawat inap. Ruang publik dipersempit, suara warga negara dicurigai, dan kebebasan berekspresi hanya boleh dilakukan jika isinya memuji.
Negara ini butuh suara nyaring. Butuh mahasiswa yang berani bicara. Bukan karena mereka benar selalu, tapi karena mereka satu-satunya yang masih cukup waras untuk melawan kegilaan sistem yang sudah terlalu nyaman dengan kekuasaan.
Jika kritik mahasiswa dianggap mengganggu kenyamanan VVIP, maka sudah saatnya warga negara bertanya: siapa yang sebenarnya harus dijaga, pemimpin atau demokrasi?