Pedang Themis jadi pisau dapur di tangan hakim tipikor

Vonis ringan bagi mafia hukum dalam kasus Ronald Tannur tunjukkan hukum di Indonesia masih hobi memeluk koruptor, bukan membasminya.

Pedang Themis jadi pisau dapur di tangan hakim tipikor. © Ismoyojati Evat/Shutterstock
Pisau dapur. © Ismoyojati Evat/Shutterstock

Dalam dunia mitologi Yunani, Themis adalah dewi keadilan yang membawa pedang dan menutup matanya sebagai simbol keadilan yang tak pandang bulu. Tapi di Indonesia, Themis tampaknya sedang magang jadi ibu rumah tangga. Pedangnya bukan lagi untuk menebas ketidakadilan, melainkan buat motong bawang merah sambil nangis di dapur—karena saking sedihnya melihat ulah para hakim.

Itulah kira-kira gambaran paling realistis dari vonis yang baru saja dijatuhkan terhadap trio pelaku suap dalam kasus Ronald Tannur: ibunya Meirizka Widjaja, pengacaranya Lisa Rachmat, dan mantan pejabat MA Zarof Ricar. Ketiganya terbukti menyuap tiga hakim PN Surabaya lebih dari 4,6 miliar supaya sang putra kesayangan bisa lolos dari jeratan hukum pembunuhan. Tapi apa balasannya? Sebuah drama hukum penuh pertimbangan "kemanusiaan" yang menggelikan sekaligus memilukan.

Mari mulai dari Meirizka, sang ibu penyayang yang rela nyogok hakim demi anak tercinta. Dari tuntutan jaksa 4 tahun, dia cuma diganjar 3 tahun. Cuma beda setahun, katanya. Tapi di dunia hukum yang korupsinya sudah setinggi langit, satu tahun bisa jadi tiket emas untuk pelesiran keluar Lapas sambil selfie bareng petugas.

Lalu Lisa Rachmat, si pengacara yang lebih mirip makelar keadilan ketimbang pembela hukum. Dituntut 14 tahun, dihukum 11 tahun. Masih lumayan lama sih, tapi jangan lupa—dengan remisi, jatah potong tahanan, dan fasilitas bintang lima di dalam penjara, dia bisa jadi lebih cepat keluar ketimbang antre BPJS.

Dan puncaknya, Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung. Seorang veteran hukum, usia 63 tahun, katanya pantas dikasih keringanan karena "sudah tua." Dituntut 20 tahun, divonis 16 tahun. Padahal seharusnya, dengan jam terbang sebanyak itu, dia tahu persis bahwa menyuap hakim adalah pesta pora terakhir dari kehancuran hukum. Tapi apa boleh buat, kata hakim: “Beliau ini manusia juga.” Ya, manusia yang menyuap 4,6 miliar, bukan manusia biasa, Pak Hakim.

Di sinilah kita mulai menyadari: pedang Themis jadi pisau dapur. Duh, sayang sekali. Semestinya pedang itu dipakai buat menebas urat nadi mafia hukum. Tapi malah dipakai buat kupas mangga di ruang sidang.

Para hakim di negeri ini tampaknya punya agenda sendiri: mengajak masyarakat belajar berempati... pada koruptor. Coba bayangkan, Meirizka dianggap korban karena tidak paham hukum. Lho, kalau orang awam bisa kumpulin 4,6 miliar untuk menyuap, mungkin dia juga bisa belajar KUHP dalam semalam. Tapi tak apa, di negeri ini, kebodohan bisa jadi alasan pengampunan. Apalagi kalau dompet tebal.

Di banyak negara, korupsi sudah dianggap crime against humanity alias kejahatan kemanusiaan. Tapi di Indonesia? Justru sebaliknya: pelakunya dimanusiakan, dipeluk, dikasih kue lebaran di sel, dan kadang-kadang ikut karaoke bareng petugas. Hakim pun tampaknya lebih ingin jadi fasilitator rekonsiliasi moral ketimbang penegak hukum.

Alasan kemanusiaan dijadikan bumper untuk melindungi pelaku kejahatan yang sebenarnya membuat jutaan warga negara kehilangan akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan hak dasar lainnya. Menariknya, para hakim seolah lupa bahwa 68% warga negara Indonesia masih hidup dalam kemiskinan menurut hitungan Bank Dunia. Itu berarti lebih dari 194 juta orang harus berjuang setiap hari, sebagian akibat praktik korup yang mencuri uang publik.

Tapi, ya sudahlah. Di negeri ini, mengasihani koruptor dianggap lebih penting daripada memikirkan warga miskin. Dan jangan kaget kalau nanti penjara malah jadi tempat reuni elit politik dan pejabat hukum. 

Keputusan Tipikor Jakarta ini bukan yang pertama dan pasti bukan yang terakhir. Jarang sekali pengadilan ini benar-benar membuat efek jera. Justru sebaliknya, vonis lunak ini membuat koruptor lain makin semangat nyogok. Toh, kalau ketahuan, cuma dapat "bonus" menginap di penjara dengan kemungkinan remisi setiap hari besar nasional.

Logikanya begini: kalau Anda bisa bayar 4,6 miliar untuk keluar dari jerat hukum, dan hukum hanya mengganjar Anda dengan vonis main-main, maka suap bukan lagi kejahatan—melainkan strategi bisnis.

Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia memang naik, dari 115 ke 99. Wah, luar biasa! Tapi jangan keburu tepuk tangan. Karena kita masih ada di posisi kelima negara paling korup di ASEAN. Cuma lebih baik dari Myanmar, Laos, Kamboja, dan Thailand. Itu pun kalau datanya benar.

Di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, dan Vietnam. Vietnam, hey! Negara yang dulunya perang lawan Amerika itu sekarang lebih tertib hukumnya ketimbang kita. Sungguh ironis. Negeri yang katanya punya Pancasila dan gotong royong ini malah jadi tempat hangat bagi para pelaku korupsi untuk bersantai ria.

Apa yang bisa dilakukan warga negara ketika hukum tidak lagi menegakkan keadilan, melainkan menimbang-nimbang perasaan pelaku kejahatan? Ya, nonton. Jadi penonton setia sinetron pengadilan. Tapi kali ini, sinetronnya tidak tayang di stasiun TV. Ia hadir di setiap berita headline koran, dengan aktor-aktris yang bergelar "Yang Mulia."

Kita semua paham bahwa pengadilan adalah bagian dari sistem yang lebih besar. Tapi kalau dari atas sampai bawah semua diam saja, maka korupsi bukan hanya akan terus hidup—ia akan berkembang biak.

Solusi jangka panjang tentu bukan sekadar mengganti hakim atau jaksa. Tapi membongkar total sistem hukum yang selama ini lebih mirip pasar malam: siapa yang bayar paling mahal, dia yang menang.

Kita perlu desakan publik yang nyata. Perlu kebisingan dari masyarakat sipil, media, dan akademisi. Kalau perlu, kita harus menyewa Themis asli dari Yunani buat ngasih kursus kilat ke para hakim Indonesia—cara memakai pedang dengan benar.

Ketika pedang Themis jadi pisau dapur, maka yang dipotong bukan kejahatan, tapi nalar sehat masyarakat. Kita diajari bahwa hukum bisa dibeli, bahwa keadilan bisa dinegosiasikan, dan bahwa kejahatan bisa jadi karier selama tahu caranya.

Dan selama hakim-hakim kita masih lebih suka jadi juru masak ketimbang juru hukum, maka jangan harap korupsi akan pergi. Ia akan tetap tinggal, berkembang, dan tertawa terbahak-bahak di kursi pengadilan.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar