![]() |
Sejumlah pemain mementaskan teater berjudul Imam Al Bukhari dan Soekarno di Balai Budaya, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (27/6/2025). © Didik Suhartono/Antara |
Di saat generasi muda mencari makna hidup lewat scroll TikTok dan Spotify Wrapped, sekelompok seniman justru menemukan ilham di antara jubah putih dan lilin menyala. Balai Budaya Surabaya, Jumat malam (27 Juni 2025), berubah menjadi ruang transendental di mana sejarah, spiritualitas, dan nasionalisme disatukan dalam pertunjukan Pementasan Imam Al-Bukhari dan Soekarno. Penonton yang datang berharap menonton drama sejarah, namun justru dihadiahi zikir dan sorban putih sejak detik pertama.
Tiga aktor berjubah dan berjenggot membuka pertunjukan dengan membawa lilin—simbol penerangan, atau setidaknya, simbol bahwa listrik teater masih dibayar. Musik Timur Tengah mengalun, seolah mengantar penonton langsung ke Samarkand, padahal mereka masih duduk manis di kursi Surabaya.
Pementasan Imam Al-Bukhari dan Soekarno ini memang bukan pertunjukan biasa. Dalam narasi panggung ini, Presiden Pertama Republik Indonesia tidak hanya digambarkan sebagai proklamator, tetapi juga sebagai penziarah spiritual, pemburu makam suci di tanah Soviet. Dialog antar tokoh bangsa diselingi tarian dan lagu nasional, membuat penonton bertanya-tanya apakah mereka sedang menonton pertunjukan teater atau menghadiri upacara 17 Agustus yang tersesat jadwal.
Salah satu adegan paling menggetarkan adalah ketika Soekarno—diperankan dengan penuh keyakinan dan dada membusung—menolak undangan Nikita Khrushchev demi satu hal: menemukan makam Imam Al-Bukhari terlebih dahulu. Di tengah Perang Dingin, sementara dunia menanti perang nuklir, Bung Karno justru sibuk mencari hadits shahih. Dunia bisa menunggu, tapi ziarah tak bisa ditunda.
Menambah aroma autentik dari pertunjukan ini, hadir pula aktor-aktor dari Uzbekistan. Mereka berdialog dalam bahasa Uzbekistan yang tak semua penonton pahami, tapi syukurlah ekspresi dan musik tradisional berhasil menyelamatkan suasana. Ini adalah diplomasi budaya dalam bentuk paling teatrikal: dialog lintas bahasa, lintas benua, dan lintas makna.
Latar belakang panggung menampilkan bintang-bintang, memberi kesan bahwa ziarah Bung Karno dilakukan dalam dimensi yang lebih tinggi—mungkin dimensi tempat spiritualitas dan pencitraan bersatu dalam cahaya lilin.
Setelah makam Imam Al-Bukhari akhirnya ditemukan dalam keadaan kurang terawat (seperti kebanyakan situs sejarah di negeri ini), Soekarno pun menari dan bernyanyi bersama rombongan tokoh bangsa. Ini bukan metafora: benar-benar menari dan bernyanyi. Entah karena bahagia, atau karena naskah memang meminta demikian.
Pertunjukan ditutup dengan tepuk tangan meriah, senyum sumringah, dan kehadiran tamu istimewa. Tampak di bangku penonton, Rano Karno—aktor senior, seniman nasional, dan kini Wakil Gubernur DKI Jakarta—bersama Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Keduanya tampak tersentuh, atau setidaknya tampak sadar kamera.
Tidak lengkap rasanya pertunjukan sejarah tanpa komentar pejabat yang tersentuh jiwanya. Rano Karno, yang selalu tampak seperti sedang membaca puisi saat bicara, menyatakan bahwa Soekarno mungkin telah bermimpi tentang makam Imam Al-Bukhari sejak di Ende. Dari sana lahirlah Pancasila, bukan sebagai produk debat DPR, melainkan sebagai hasil firasat dan ilham spiritual. Versi ini tentu lebih puitis dan jauh dari polemik politis.
“Beliau menemukan kata-kata ketuhanan yang maha esa,” kata Rano, seolah Pancasila adalah lirik lagu religi, bukan dokumen kenegaraan.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, juga tak mau ketinggalan menyumbang hikmah. Baginya, permintaan Bung Karno untuk menziarahi makam Imam Al-Bukhari sebelum menghadiri undangan resmi dari Uni Soviet adalah bentuk kesalehan diplomatik. Karena, tentu saja, tidak semua pemimpin bisa menolak Moskow demi makam ulama abad ke-9.
Eri menekankan bahwa semangat Bung Karno adalah “api perjuangan” yang masih membara di darah arek-arek Suroboyo. Mungkin karena itulah pementasan ini dipenuhi dengan tarian dan nyanyian, agar para penonton benar-benar merasa kehangatan api tersebut—walau sebagian hanya merasa AC gedung terlalu dingin.
Eri juga menegaskan bahwa Surabaya punya peran penting dalam membentuk karakter Bung Karno. Di sinilah Soekarno belajar dari HOS Tjokroaminoto, belajar merangkai Pancasila, dan—berdasarkan pertunjukan malam itu—belajar menari sambil mengangkat lilin.
Menurut Restu Imansari Kusumaningrum, produser independen yang memimpin pementasan ini, pertunjukan ini adalah hasil riset selama empat tahun. Proses panjang itu akhirnya melahirkan pertunjukan berdurasi satu jam yang memadatkan sejarah, spiritualitas, diplomasi, dan kesenian ke dalam satu paket penuh simbolisme.
“Sejarah itu milik semua peradaban manusia,” katanya, membuat penonton merenung apakah berarti semua manusia juga boleh naik panggung jika punya kostum yang cukup menarik.
Pementasan Imam Al-Bukhari dan Soekarno berhasil menjadi semacam ritual nasionalisme yang disutradarai dengan penuh khidmat dan humor tersembunyi. Di satu sisi, ini adalah pertunjukan teater. Di sisi lain, ini adalah pelajaran sejarah spiritual dengan sentuhan estetik. Namun di sisi ketiga—jika diperbolehkan—ini adalah bentuk diplomasi kenangan, di mana Soekarno tidak hanya tampil sebagai tokoh bangsa, tapi juga sebagai influencer spiritual dari masa lalu.
Dan seperti setiap pertunjukan yang baik, penonton pulang dengan sesuatu di hati: entah itu semangat nasionalisme, keinginan ziarah ke Samarkand, atau sekadar pertanyaan kenapa semua pemimpin sekarang tak bisa menari seperti Bung Karno di panggung teater.
Yang pasti, lilin menyala di tengah kegelapan panggung malam itu bukan hanya penerangan sementara—tapi metafora tentang sejarah yang butuh panggung, cahaya, dan naskah yang bagus.