Bisakah bernegara tanpa polisi?

Ketika polisi dianggap fondasi negara, kita lupa bahwa hukum diciptakan bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipercaya.

Bisakah bernegara tanpa polisi? © Bay Ismoyo/AFP/Getty Images
Seekor anjing K9 dan rekannya yang tak butuh tulang—anjing polisi robotik—berkolaborasi dalam demonstrasi penanganan kejahatan dalam perayaan HUT ke-79 Kepolisian Negara Republik Indonesia di Monas, Jakarta, pada 1 Juli 2025. © Bay Ismoyo/AFP/Getty Images

Bayangkan sebuah negara tanpa polisi. Ya, benar-benar tanpa polisi: tak ada seragam cokelat, tak ada tilang dadakan, dan tak ada patroli yang muncul tiba-tiba di kampung hanya untuk menanyakan, "Sedang apa malam-malam begini?"

Bisakah bernegara tanpa polisi? Pertanyaan ini biasanya dijawab dengan reaksi setengah tertawa, setengah takut. Karena dalam imajinasi modern, negara tanpa polisi itu seperti konser rock tanpa gitaris: kacau, liar, dan penuh suara sumbang. Tapi, bukankah lebih kacau ketika negara dipenuhi polisi yang tak tahu kapan harus mengayomi dan kapan harus berhenti merepresi?

Thomas Hobbes, dalam Leviathan, percaya bahwa manusia pada dasarnya jahat, dan negara dibentuk sebagai "makhluk buas" untuk menjaga agar semua orang tidak saling makan. Polisi adalah taring dari Leviathan itu—tajam, dingin, dan terkadang berair mata gas.

Di dunia modern, negara tak lagi didefinisikan oleh warga negara, tetapi oleh jumlah aparat yang dimilikinya. Seolah-olah kredibilitas negara terletak pada jumlah kamera pengintai dan mobil patroli yang dapat dikerahkan dalam lima menit.

Michel Foucault dalam Discipline and Punish menyebutkan bahwa kekuasaan modern tak lagi menggunakan hukuman publik, melainkan menciptakan sistem pengawasan permanen yang membuat warga merasa terus dilihat. Polisi bukan hanya pelaksana hukum, mereka adalah instrumen rasa bersalah yang tak kasat mata.

Dan ketika rasa bersalah menjadi alat pemerintah, maka kita harus bertanya: bernegara untuk keadilan, atau bernegara demi pengawasan?

Negara ideal dalam pikiran para filsuf—Aristoteles, Rousseau, bahkan Marx—adalah tempat warga saling terlibat dalam pencarian kebaikan bersama. Tapi dalam praktik, negara modern justru lebih mirip perusahaan keamanan swasta: semua masalah sosial dianggap bisa diselesaikan dengan satu solusi, yaitu intervensi polisi.

David Graeber, dalam The Utopia of Rules, menulis bahwa negara modern menjadi kaku karena mengandalkan birokrasi kekerasan. Saat aturan tak lagi efektif, maka yang dikirim bukan dialog, tetapi kekerasan polisi.

Jika ada anak muda mengamen, kirim polisi. Jika ada warga mengeluh harga sembako, kirim polisi. Jika ada kritik di Twitter, kirim—ya, tahu sendiri kan jawabannya.

Mari berandai-andai. Bagaimana jika negara dibentuk tanpa aparat pemaksa? Apakah manusia akan otomatis berubah jadi makhluk barbar? Ataukah kita hanya perlu sistem lain yang tak bergantung pada intimidasi?

Beberapa komunitas adat seperti di Rembang, Seko, atau masyarakat Inuit di Arktik hidup berabad-abad dengan sistem keadilan berbasis mediasi. Tanpa polisi, tapi dengan reputasi, musyawarah, dan tanggung jawab sosial. Mereka mengenal sanksi sosial dan perbaikan komunitas, bukan borgol dan pasal karet.

Giorgio Agamben, dalam State of Exception, menyebutkan bahwa negara modern justru makin kehilangan makna ketika kekuasaan bersandar terus-menerus pada status darurat. Seolah-olah polisi bukan alat sementara, tapi identitas permanen negara.

Dalam tatanan seperti itu, kita tak hanya kehilangan kebebasan, kita juga kehilangan imajinasi: tidak bisa membayangkan kehidupan tanpa sirine.

Salah satu kebingungan terbesar dalam bernegara adalah ketika hukum dianggap sakral, tapi hanya polisi yang boleh menafsirkannya di lapangan. Maka, kita mendapat “tafsir situasional” yang kadang lebih ajaib dari novel Paulo Coelho.

Contohnya: unjuk rasa damai dibubarkan karena “tak ada izin.” Tapi penggusuran rumah warga bisa dilakukan tanpa putusan hukum yang final. Di sinilah kita paham, hukum bukan lagi instrumen keadilan, tapi kosmetik untuk tindakan represif.

Mark Neocleous, dalam The Fabrication of Social Order, menulis bahwa “policing” bukanlah kegiatan netral, tapi aktivitas ideologis yang bertujuan membentuk masyarakat sesuai selera penguasa.

Dengan kata lain, polisi tidak menjaga hukum. Polisi menjaga interpretasi politik atas hukum.

Pertanyaan ini sering muncul dengan nada retoris: “Tanpa polisi, siapa yang akan menjaga keamanan?” Tapi mari kita balik pertanyaannya: dengan polisi, siapa yang akan menjaga kita dari mereka?

Juvenal, penyair Romawi Kuno, sudah muak dengan hal ini dan menulis, “Quis custodiet ipsos custodes?”—Siapa yang menjaga para penjaga?

Dalam dunia modern, jawabannya tampaknya bukan lembaga pengawas internal, bukan pula sistem peradilan. Jawabannya: kamera warga, media sosial, dan sesekali, tekanan publik yang viral.

Tentu saja, ide tentang negara tanpa polisi terdengar mengerikan bagi mereka yang hidup nyaman dalam sistem hierarkis. Mereka membayangkan kerusuhan, kriminalitas, dan kekacauan. Tapi, bagaimana jika yang selama ini disebut “kekacauan” justru datang dari ketimpangan yang dipelihara?

Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity menjelaskan bahwa negara modern kerap menanggapi ketidakpastian sosial bukan dengan solusi struktural, tetapi dengan penambahan kontrol. Semakin kacau ekonomi, semakin banyak aparat. Karena ketimpangan yang terus tumbuh harus diawasi, bukan diselesaikan.

Bernegara tanpa polisi, dalam bayangan para elit, adalah bunuh diri. Tapi bagi warga biasa, itu bisa berarti awal dari pemberdayaan masyarakat.

Jadi, bisakah bernegara tanpa polisi? Bisa. Tapi dengan satu syarat: kita harus mendefinisikan ulang apa itu negara.

Negara bukan mesin kekuasaan, tapi arena kolaborasi. Negara bukan sekadar pasal dan aparat, tapi rasa percaya antarwarga. Negara yang sejati adalah komunitas yang saling jaga, bukan saling curiga. Dan ya, itu berarti peran polisi—kalau masih ada—harus digeser: bukan sebagai penguasa jalanan, tapi sebagai fasilitator komunitas.

Mungkin, negara tak pernah benar-benar membutuhkan polisi. Yang dibutuhkan adalah keadilan yang tak bisa disuap, kebenaran yang tak perlu disembunyikan, dan masyarakat yang tak takut untuk berpikir bebas.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar