Mahkamah Konstitusi, lembaga tinggi negara yang konon menjadi benteng konstitusi, baru saja mengeluarkan putusan monumental: pemilu nasional dan pemilu lokal harus dipisahkan. Putusan ini final dan mengikat, kata konstitusi. Tapi tentu saja, finalitas itu hanya berlaku bagi rakyat biasa, bukan bagi partai politik yang sudah terlalu nyaman duduk di atas panggung kekuasaan. Maka, tidak heran jika kini muncul pemandangan yang memalukan namun menghibur: partai politik menolak putusan MK seakan-akan mereka adalah pengadilan banding dari Tuhan.
Partai Nasdem paling cepat mengibarkan panji penolakan. Bukan dengan alasan substansi, tapi dengan retorika tentang "kepastian hukum" dan "stabilitas sistem hukum." Luar biasa. Ketika hukum menguntungkan mereka, ia menjadi tiang penyangga demokrasi. Tapi ketika hukum menuntut sedikit kerja ekstra—seperti revisi UU Pemilu—maka hukum disebut tidak konsisten, problematis, bahkan mengancam ketatanegaraan.
Menurut anggota Majelis Tinggi Nasdem, Lestari Moerdijat, putusan MK “tidak konsisten” dan “berubah-ubah,” seolah Mahkamah Konstitusi adalah tukang parkir yang lupa memberi tanda. Tapi publik tahu, yang paling sering berubah bukan MK, melainkan pendirian partai terhadap hukum—tergantung dari siapa yang sedang memegang palu.
Sikap seperti ini memperlihatkan dengan telanjang bagaimana partai politik menolak putusan MK demi stabilitas kekuasaan, bukan demi rakyat atau sistem hukum. Sebab, jika konstitusi dianggap bisa dinegosiasikan, maka tidak ada lagi perbedaan antara negara hukum dan negara boneka partai.
Titi Anggraini, akademisi Universitas Indonesia, bahkan harus mengingatkan bahwa penolakan terhadap putusan MK adalah tindakan yang membahayakan sistem hukum dan demokrasi konstitusional. Tapi tentu saja, nasihat akademisi hanya bergema di ruang kuliah, bukan di ruang rapat fraksi.
DPR, lembaga yang katanya pembuat undang-undang, tampaknya terlalu sibuk menatap kalender pemilu 2029 hingga lupa membaca putusan MK yang keluar di depan mata. Padahal, revisi UU Pemilu sudah masuk ke daftar Prolegnas 2025. Tapi hingga kini, belum ada gerakan berarti, selain rapat konsultasi tanpa hasil dan komentar-komentar diplomatis yang sebenarnya hanya menunda-nunda.
Sikap ini bukan sekadar lambat. Ia adalah bentuk perlawanan pasif terhadap konstitusi. Sebuah bentuk pembangkangan lunak, dengan senyum manis dan jargon demokrasi. DPR tidak mau terlihat frontal, tapi juga tidak ingin tunduk sepenuhnya. Mereka memilih diam sambil berharap badai putusan MK akan berlalu begitu saja.
Putusan MK tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal seharusnya langsung ditindaklanjuti dengan revisi UU Pemilu. Tapi tentu saja, itu jika kita hidup dalam negara hukum. Sayangnya, kita hidup di republik kompromi, di mana hukum hanya sekuat kepentingan mayoritas fraksi.
Politisi PDIP Aria Bima pun berkata bahwa putusan MK memang bersifat pertama dan terakhir. Tapi dia menambahkan: “Kami ingin bagaimana constitutional engineering ini tidak membuat polarisasi politik.” Kalimat ini, meski terdengar akademik, sejatinya adalah pesan terselubung: “Kami tidak siap kalau perubahan hukum membuat peta politik bergeser.”
Bukannya segera bekerja, DPR malah sibuk mencari formula rekayasa konstitusional yang aman bagi semua partai, terutama yang sudah mapan. Tak ada satupun fraksi yang bicara soal pentingnya memperkuat supremasi hukum. Yang mereka bahas hanyalah bagaimana perubahan ini tidak mengguncang stabilitas kekuasaan yang sudah nyaman.
Inilah ironi paling getir dari sistem demokrasi kita: konstitusi hanya dihormati jika sesuai dengan keinginan penguasa politik. Ketika tidak, maka konstitusi akan dikritik, ditunda implementasinya, atau diabaikan dengan berbagai alasan teknis. Kata “checks and balances” hanya ada di buku pelajaran, sementara di parlemen, yang ada hanyalah “bargain and survive.”
Tidak ada satu pun partai yang bicara soal pentingnya edukasi hukum kepada masyarakat. Tidak ada pula yang menjadikan momen ini sebagai titik balik memperbaiki arsitektur demokrasi kita. Yang ada hanyalah strategi bertahan, demi kursi, demi logistik pemilu, dan tentu demi status quo.
Bagi rakyat biasa, pemisahan pemilu mungkin terdengar rumit. Tapi mereka berharap wakil-wakilnya di DPR bisa menerjemahkan putusan MK ke dalam bentuk aturan yang jelas. Sayangnya, harapan itu kembali kandas. Seperti biasa, rakyat hanya dijadikan penonton setia dalam teater politik tahunan, di mana drama hukum, intrik fraksi, dan dialog munafik dipentaskan berulang-ulang.
Rakyat juga tahu, ketika partai menolak putusan MK, itu bukan demi mereka. Itu demi menjaga ritme kekuasaan agar tetap terkendali. Demi memastikan bahwa logistik kampanye, patronase daerah, dan jaringan mesin politik tidak terganggu oleh hal remeh seperti... konstitusi.
Mungkin ini pertanyaan yang layak diajukan: Mengapa partai politik menolak putusan MK yang sudah jelas bersifat final dan mengikat? Jawabannya sederhana: karena putusan itu membuka kotak Pandora reformasi elektoral yang bisa mengubah pola main mereka. Dengan pemilu lokal dan nasional dipisah, kekuatan patronase bisa bergeser, pengaruh pusat melemah, dan fraksi lokal bisa tumbuh di luar kendali elite nasional.
Mereka tidak takut pada hukum. Mereka takut pada perubahan. Karena perubahan berarti ketidakpastian, dan ketidakpastian berarti kekuasaan yang harus dibagi. Dan dalam kamus partai politik kita, berbagi kekuasaan adalah dosa besar.
Putusan MK kali ini membuka borok lama: bahwa sebagian besar partai politik kita belum dewasa dalam menjalankan demokrasi. Mereka masih menganggap negara sebagai milik pribadi, hukum sebagai alat taktis, dan rakyat sebagai penonton yang mudah dibujuk saat kampanye.
Dengan segala sumber daya yang mereka punya—fraksi, alat negara, media, konsultan—mereka justru memilih menyerang atau menunda implementasi putusan MK. Mereka tidak membantah konstitusi dengan argumen ilmiah, melainkan dengan strategi "jangan sekarang."