![]() |
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di depan Stasiun Tangerang, Banten, Selasa (9/8/2022). © Fauzan/Antara |
Di zaman ketika kecerdasan buatan merambah segala lini, dan aplikasi menjadi penentu segalanya, muncullah satu fenomena ajaib di Indonesia: pungli yang bukan sembarang pungli, tapi pungli legal dalam sistem ojol. Canggih, bukan? Ini bukan pungutan di pinggir jalan oleh preman berseragam. Ini pungutan beraroma startup, dibungkus dengan algoritma, dan disemprot parfum "promo hemat untuk warga negara."
Namun, di balik semua itu, para pengemudi ojek online dan konsumen menjadi sapi perah dalam skema pungutan tanpa dasar hukum. Anggota Komisi V DPR, Adian Napitupulu, bahkan terang-terangan menyebut bahwa biaya aplikasi Rp2.000 dan biaya perjalanan aman Rp1.000 tidak punya dasar hukum apa pun. Jika itu bukan pungli, mungkin kita perlu membuat kamus baru.
Sementara pengemudi sibuk mengisi bensin dan menghindari lubang jalan, para aplikator sibuk menghitung omzet dari potongan 20% yang mereka ambil dari setiap transaksi. Tak cukup dengan itu, mereka juga memungut biaya tambahan dari konsumen dan driver. Katanya, itu untuk asuransi dan pengembangan aplikasi. Tapi asuransi sudah dibayar saat bikin SIM dan STNK, dan pengembangan aplikasi? Entahlah, sepertinya lebih sibuk mengembangkan fitur promo murahan ketimbang keadilan algoritmik.
Dengan sekitar 3 juta driver aktif dan hitungan minimal satu trip per hari, pungutan Rp2.000 dan Rp1.000 saja sudah menghasilkan Rp9 miliar per hari. Sebuah bisnis luar biasa yang tidak perlu menjual barang atau jasa, cukup menjual ilusi layanan digital.
Selama ini, publik dikibuli oleh narasi promo. "Diskon Rp5.000", "Ongkir hemat", "Perjalanan aman dengan harga ramah". Tapi siapa yang bayar? Bukan aplikator. Itu uang hasil pungutan tadi—uang driver, uang konsumen—yang dikembalikan dalam bentuk potongan harga. Seperti mencuri dari dompet orang, lalu berpura-pura memberi hadiah.
Lebih ironis, diskon itu justru membuat tarif menjadi sangat rendah. Pengemudi harus bekerja dua kali lipat lebih lama untuk mendapatkan hasil yang sama. Tapi siapa peduli? Selama grafik pertumbuhan aplikasi naik dan investor senang, para driver bisa terus menunggu order sambil kepanasan di pinggir jalan.
Aplikator mengambil 20% dari setiap perjalanan. Artinya, jika seorang driver mendapat Rp20.000, maka hanya Rp16.000 yang ia terima. Tapi jangan senang dulu. Dari angka itu, ia masih harus mengisi bensin, merawat motor, dan menyiapkan uang makan. Hitung-hitungan kasar saja, driver hanya dapat sekitar Rp6.000–Rp8.000 bersih. Uang lelah, katanya. Tapi lebih mirip uang tersisa.
Sementara itu, perusahaan aplikator dengan tenangnya mendeklarasikan pendanaan seri C, D, atau IPO. Driver disebut “mitra,” tapi hak-haknya tidak pernah sebanding dengan perusahaan. Mereka bukan karyawan, tapi juga bukan sepenuhnya mandiri. Mereka makhluk abu-abu dalam ekosistem digital yang memuja efisiensi, tapi menistakan keadilan.
Kementerian Perhubungan tampaknya lebih nyaman menjadi komentator daripada regulator. Saat ditanya soal potongan aplikasi yang mencekik, Dirjen Perhubungan Darat menjawab dengan manis: "Masih dikaji." Sementara itu, aplikator dengan senyum lebar mengumumkan kenaikan tarif sebesar 15%, tapi tak menyentuh potongan 20% yang menjadi sumber keluhan para driver.
Kebijakan yang harusnya menjadi pelindung malah menjadi penonton pasif. Satu-satunya yang aktif adalah mesin pemroses transaksi di kantor aplikator, menghitung pemasukan dari pungutan legal yang tak henti.
Para driver ojol tak tinggal diam. Pada Mei lalu, mereka menyuarakan lima tuntutan mendesak:
- Potongan aplikasi diturunkan dari 20% menjadi 10%.
- Dibentuknya Undang-Undang Transportasi Online.
- Kenaikan tarif penumpang dan penghapusan sistem promo yang merugikan.
- Penetapan tarif jasa makanan dan logistik secara adil.
- Penentuan tarif bersih yang benar-benar diterima mitra pengemudi.
Tapi lima tuntutan itu tetap jadi senandung di antara deru knalpot. Pemerintah belum juga bergerak tegas. Seolah semua pihak menikmati status quo: aplikator kenyang, driver kelaparan, dan warga negara dihibur dengan promo yang sebenarnya milik mereka sendiri.
Sistem ojol hari ini adalah bentuk paling mutakhir dari ketimpangan sosial digital. Teknologi yang katanya membebaskan justru menindas. Startup yang katanya menghubungkan malah mengeksploitasi. Dan pemerintah yang katanya melindungi warga negara malah terlalu sibuk berdialog sambil minum kopi bersama CEO aplikator.
Kita hidup dalam zaman ketika pungli tak lagi butuh preman, tapi cukup pakai tombol dan Terms of Service. Di mana ketidakadilan bukan disembunyikan, tapi dipoles jadi promo cashback. Dan di mana driver ojol menjadi buruh digital yang bekerja tanpa perlindungan, tanpa kejelasan, tapi tetap disuruh bersyukur karena "dikasih kerjaan."
Jika pungutan Rp2.000 dan Rp1.000 tidak memiliki dasar hukum, maka sudah waktunya hukum menyusul zaman. Bukan dengan merestui pungli itu, tapi dengan membongkarnya. Perlu ada regulasi tegas yang melindungi hak-hak pengemudi dan konsumen. Jangan sampai aplikasi jadi negara dalam negara, punya hukum sendiri, pungutan sendiri, dan keadilan versi sendiri.
Pemerintah tidak boleh tunduk pada tekanan korporasi. Mereka harus berdiri di pihak warga negara—driver dan konsumen—yang selama ini hanya menjadi objek eksploitasi digital. Undang-Undang Transportasi Online bukan sekadar formalitas. Ia harus jadi pelindung, bukan penunda.
Setiap hari, jutaan pengemudi ojol bangun pagi, menyiapkan motor, dan menjemput orderan demi sesuap nasi. Tapi sistem yang mereka hadapi bukan sekadar aplikasi, melainkan jaringan eksploitatif yang legal dan dilegalkan.
Pungli legal dalam tarif ojol bukan soal teknologi atau efisiensi. Ini soal keadilan. Dan jika keadilan terus dikompromikan demi grafik pertumbuhan, maka kita sedang menyemai benih ketidakadilan yang jauh lebih dalam.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: apakah negara ini masih diatur oleh hukum, atau oleh algoritma milik korporasi?