Israel kembali bunuh dokter di Gaza

Kematian dokter Marwan Al-Sultan tambahkan daftar panjang korban tenaga kesehatan dalam serangan sistematis Israel ke fasilitas medis Gaza.

Israel kembali bunuh dokter di Gaza. © Ahmed Jihad Ibrahim Al-arini/Anadolu/Getty Images
Kerabat dan tenaga medis berkabung atas wafatnya Dr. Marwan Sultan, Direktur Rumah Sakit Indonesia, beserta keluarganya, usai serangan Israel yang menghantam sebuah apartemen di Junction 17 pada 2 Juli 2025 di Kota Gaza. © Ahmed Jihad Ibrahim Al-arini/Anadolu/Getty Images

Dalam dunia normal, rumah sakit seharusnya menjadi tempat penyembuhan, dan dokter dianggap penyelamat nyawa. Namun, di dunia versi Israel, dokter-dokter Palestina berubah jadi ancaman negara. Terbukti, Israel kembali menunjukkan "kebiadabannya" dengan membunuh Marwan Al-Sultan, Direktur RS Indonesia di Gaza, dalam serangan yang sangat “tepat sasaran” pada 2 Juli 2025.

Kamar tidur sang dokter menjadi lokasi terpilih, satu-satunya ruangan yang tidak tersambung ke ruang lain di rumahnya. Israel jelas telah belajar arsitektur sebelum menekan tombol peluncur rudal.

Dokter Al-Sultan adalah tenaga medis ke-70 yang dibunuh Israel dalam 50 hari terakhir. Jumlah korban yang sungguh impresif bagi negara yang selalu menekankan hak membela diri dengan membungkam siapa pun yang membawa stetoskop.

Anak sang dokter, Lubna, menjelaskan bahwa hanya kamar ayahnya yang menjadi target rudal. Rupanya, intelijen militer Israel sudah dilengkapi sensor detak jantung dokter, dan mereka tahu siapa yang tidak boleh diselamatkan.

Kementerian Luar Negeri Indonesia pun menyampaikan duka dan penghormatan yang semakin terasa seperti copy-paste bulanan. “Indonesia mengapresiasi jasa, komitmen, dan perjuangan beliau bagi kemanusiaan,” ujar Kemenlu, sambil berharap barangkali surat protes berikutnya bisa ditulis otomatis oleh AI karena pola pembunuhannya pun nyaris sama: sistematis, sadis, dan didiamkan dunia.

Healthcare Workers Watch (HWW) mencatat bahwa total 70 tenaga medis telah dibunuh Israel hanya dalam waktu 50 hari. Dalam daftar prestasi kematian ini, Al-Sultan menempati posisi spesial karena selain sebagai dokter jantung, ia juga simbol dari perlawanan medis terhadap kematian massal di Gaza.

Sebelumnya, Israel juga membunuh perawat kepala RS Indonesia dan RS Anak Al-Nasser. Sepertinya, bagi Tel Aviv, seorang perawat dengan termometer jauh lebih menakutkan daripada prajurit Hamas dengan RPG.

Rumah sakit kini tak lebih dari bangunan hancur, klinik menjadi abu, dan rumah tenaga medis jadi latihan akurasi bagi rudal pintar buatan sekutu. Israel tampaknya sedang membuat peta Gaza bebas dari fasilitas kesehatan demi memudahkan laporan “tidak ada korban sipil karena tidak ada lagi rumah sakit”.

PBB sudah menyatakan bahwa tak satu pun rumah sakit berfungsi normal di Gaza. Hanya sebagian yang masih berfungsi, meski lebih mirip klinik darurat di medan perang yang sudah kalah dari awal.

Medical Aid for Palestinians (MAP) mencatat, setidaknya 1.400 tenaga kesehatan telah tewas sejak Israel memulai invasi ke Gaza pada Oktober 2023. Para pakar PBB menyebut tindakan ini sebagai pelanggaran hukum internasional—tapi, seperti biasa, pelanggaran itu tidak pernah dikenai denda atau skorsing. Dunia masih memilih untuk diam sambil mengirim lebih banyak “dukungan moral.”

Dokter Khaled Al-Shawa menyebut, “Kami hanya bisa melihat pasien meninggal tanpa bisa menyelamatkan mereka.” Barangkali, satu-satunya yang bisa diselamatkan saat ini hanyalah sisa-sisa kemanusiaan yang belum terkikis oleh kemunafikan global.

Menurut hukum internasional, tenaga kesehatan seharusnya mendapat perlindungan dalam konflik bersenjata. Tapi di Gaza, hukum itu sudah dipensiunkan dini. Buktinya? Tenaga medis dibantai, rumah sakit dibom, dan ambulans dijadikan target bergerak.

Rohan Talbot dari MAP menyatakan, “Sistem kesehatan Gaza sedang dihancurkan.” Tapi tampaknya, dunia sedang sibuk dengan konten media sosial dan urusan pilpres masing-masing, hingga nyawa ribuan orang cuma jadi headline sehari.

Sementara itu di Riyadh, Presiden Prabowo Subianto bertemu Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman. Mereka membicarakan gencatan senjata, yang sayangnya lebih sering jadi mitos daripada kenyataan. Dalam pernyataan bersama, mereka menyatakan harapan agar gencatan senjata “berkelanjutan.”

Mungkin setelah 1.401 tenaga kesehatan tewas, dunia baru akan mengadakan “konferensi khusus” untuk membuat poster Save Gaza yang dicetak di kertas daur ulang.

Indonesia dan Arab Saudi juga mengecam penggunaan blokade dan kelaparan sebagai senjata perang. Tapi mengecam saja rasanya seperti memukul tembok dengan sendok plastik. Selagi mereka berdiplomasi, di Gaza orang-orang mencari air bersih dengan botol bekas dan anak-anak tidur di lantai rumah sakit yang nyaris roboh.

Pemindahan paksa warga Palestina masih berlangsung, dan dunia masih berdebat apakah itu “relokasi darurat” atau “kejahatan kemanusiaan.” Definisi kini tergantung siapa yang bicara dan berapa besar kontraknya dengan industri militer.

Lainnya

Posting Komentar