Puan kritik penulisan ulang sejarah Indonesia

Puan Maharani minta proyek penulisan ulang sejarah Indonesia tidak menghapus fakta sejarah.

Puan kritik penulisan ulang sejarah Indonesia. © Rivan Awal Lingga/Antara
Ketua DPR Puan Maharani (tengah) bersiap memimpin rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (25/5/2025). © Rivan Awal Lingga/Antara

Ketua DPR RI Puan Maharani secara terbuka menyampaikan kritiknya terhadap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan. Menurut Puan, penulisan ulang sejarah tak boleh menjadi sarana untuk menghapus jejak historis pihak-pihak tertentu, apalagi jika hal itu dilakukan demi kepentingan politik masa kini.

Puan menyampaikan pernyataan tersebut di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis. Ia menegaskan bahwa setiap penulisan sejarah harus dilakukan secara transparan dan jujur agar tidak ada kelompok atau individu yang merasa dirugikan karena sejarah mereka dihapuskan atau diabaikan.

“Kita harus sama-sama menghargai dan menghormati bahwa penulisan sejarah itu harus dilaksanakan sejelas-jelasnya, seterang-terangnya, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan atau dihilangkan jejak sejarahnya. Jadi saling menghormati lah terkait dengan hal itu ya, saling menghormati dan menghargai,” ujar Puan.

Pernyataan Puan Maharani tersebut menjadi respons langsung terhadap Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang bersikukuh tetap melanjutkan proyek penulisan ulang sejarah, walaupun sejumlah anggota Komisi X DPR RI mendesak agar proyek itu dihentikan atau setidaknya ditunda. Fadli Zon sebelumnya menyebut bahwa sejarah yang ditulis sebelum masa pemerintahan saat ini terlalu menonjolkan tokoh-tokoh dari Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah narasi yang menuai kontroversi di ruang publik.

"Ya, coba kita lihat nanti apakah seperti itu atau tidak," kata Puan ketika ditanya wartawan mengenai apakah proyek itu memang bertujuan mengubah narasi sejarah secara sepihak.

Sikap keras Fadli Zon dalam menggagas proyek ini telah memicu kekhawatiran di kalangan sejarawan, akademisi, dan politisi lintas partai. Mereka khawatir bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia bisa menjadi alat propaganda politik kekuasaan, alih-alih refleksi objektif masa lalu bangsa.

Dalam pernyataannya, Puan Maharani menegaskan bahwa sejarah Indonesia tidak bisa ditulis ulang dengan cara mengabaikan fakta-fakta penting, khususnya peristiwa tahun 1998 yang menjadi titik balik dalam reformasi politik Indonesia. Ia menyebut pengakuan Presiden ke-3 Republik Indonesia, B. J. Habibie, dalam pidato kenegaraannya saat itu sebagai salah satu fondasi sejarah yang tidak boleh diabaikan.

“Kita berpegang saja pada fakta sejarah tahun 1998, di mana waktu itu Presiden Habibie kan dalam pidatonya menyatakan bahwa ada fakta sejarah yang dalam poin-poinnya itu disampaikan,” kata Puan.

Penegasan ini menunjukkan kekhawatiran Puan bahwa proyek penulisan ulang sejarah berpotensi mengabaikan fase-fase penting dalam sejarah transisi demokrasi Indonesia, yang tidak hanya menentukan arah reformasi, tetapi juga mencerminkan aspirasi rakyat terhadap keterbukaan dan akuntabilitas.

Puan juga mengingatkan bahwa para sejarawan yang memiliki kompetensi dan rekam jejak akademis harus dilibatkan dalam proses penulisan sejarah yang dilakukan pemerintah. Ia menekankan bahwa fakta-fakta sejarah harus divalidasi oleh komunitas ilmiah, bukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik sesaat.

"Kalau kemudian dalam fakta-fakta sejarah itu memang dianggap ada yang kemudian tidak perlu, apa betul? Karena kan banyak ahli-ahli sejarah yang menyatakan kita harus menyatakan namanya fakta sejarah, apalagi disampaikan oleh seorang Presiden," ujarnya.

Pernyataan Puan ini menggarisbawahi pentingnya transparansi metodologi dan keterlibatan akademik dalam proyek ini. Dalam banyak kasus, sejarah telah digunakan oleh rezim penguasa sebagai alat untuk membentuk narasi publik sesuai dengan kepentingan politik mereka. Hal tersebut tentu berbahaya bagi perkembangan demokrasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Pernyataan Puan Maharani dapat dibaca sebagai peringatan serius terhadap potensi manipulasi sejarah oleh negara. Ia memperingatkan agar sejarah tidak dijadikan alat untuk menjustifikasi kepentingan kelompok tertentu, apalagi sampai menghapus fakta-fakta penting yang telah diakui secara luas oleh masyarakat dan dunia akademik.

"Artinya, kan itu suatu fakta sejarah yang harus kita akui dan kita hormati. Jadi jangan sampai fakta-fakta sejarah kemudian tidak dihargai dan dihormati," katanya lagi, menekankan pentingnya kejujuran dalam menghadapi masa lalu bangsa.

Jika penulisan sejarah dilakukan tanpa akuntabilitas, maka Indonesia akan berisiko menciptakan generasi yang tidak mengenal sejarah bangsanya secara utuh dan kritis. Sebaliknya, penulisan sejarah yang jujur akan menjadi bekal penting dalam membangun kesadaran kolektif atas perjalanan panjang bangsa menuju demokrasi.

Proyek besar penulisan ulang sejarah Indonesia tidak boleh hanya menjadi urusan internal pemerintah atau segelintir elite. Puan menyinggung pentingnya pengawasan publik agar penulisan ulang sejarah ini tidak berubah menjadi proyek politisasi ingatan kolektif.

Dalam hal ini, masyarakat sipil, akademisi, media, dan mahasiswa diharapkan turut serta mengawal jalannya proyek ini agar tetap objektif dan tidak menjadi alat kekuasaan. Di tengah kondisi demokrasi yang terus diuji oleh berbagai tekanan politik dan kepentingan elite, sejarah justru harus menjadi pelajaran yang jujur, bukan sekadar narasi buatan.

Penulisan ulang sejarah memang bisa menjadi kesempatan untuk menyempurnakan narasi kebangsaan, namun ia juga bisa menjadi alat pelupaan kolektif yang disengaja. Pernyataan Puan Maharani menunjukkan bahwa ada kesadaran di dalam parlemen terhadap bahaya tersebut, terutama ketika sejarah mulai dibingkai berdasarkan sudut pandang satu kelompok saja.

Dengan tetap menekankan pada pengakuan terhadap fakta sejarah tahun 1998 dan pentingnya pelibatan sejarawan independen, Puan menempatkan dirinya sebagai suara moderat di tengah narasi-narasi ekstrem yang berkembang. Ia tidak secara langsung menolak penulisan ulang sejarah, namun ia memperingatkan akan dampaknya jika tidak dijalankan dengan kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas.

Peringatan Puan patut menjadi pengingat bagi kita semua bahwa sejarah bukanlah milik pemerintah semata. Sejarah adalah milik rakyat. Dan rakyat berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, tanpa sensor dan tanpa manipulasi.

Lainnya

Posting Komentar