![]() |
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas interupsi rapat Komisi X bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Jakarta, 2 Juli 2025. © Dian Rahma/Tempo |
Apa jadinya jika sejarah tak lagi ditulis oleh para sejarawan, tetapi oleh mereka yang takut akan masa lalu? Jawabannya ada di gedung megah di Senayan, tempat para penguasa berdandan rapi untuk membahas bagaimana cara terbaik menyulap tragedi jadi prestasi. Tepat pada Rabu, 2 Juli 2025, sejarah Indonesia mengalami momen paling getirnya: sekelompok warga sipil di balkon ruang rapat DPR menjadi pengingat paling vokal bahwa luka bangsa tak bisa dihapus dengan tinta negara.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas tak datang dengan senjata. Mereka hanya membawa spanduk, suara nyaring, dan memori yang tak bisa dibungkam. Begitu Fadli Zon selesai memaparkan anggaran dan ambisi menulis ulang sejarah Indonesia, sekitar sepuluh orang dari balkon berdiri dan menyuarakan apa yang selama ini hanya bergema di hati nurani rakyat.
“Hentikan pemutihan sejarah!” teriak mereka. Dan seketika, atmosfer gedung parlemen yang tadinya hangat oleh retorika politik menjadi dingin oleh kebenaran yang telanjang.
Aksi Koalisi berlangsung singkat. Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hardian Irfani, cepat bertindak. Tidak untuk mendengarkan, tentu. Tapi untuk memanggil petugas keamanan DPR — Pamdal — agar suara-suara mengganggu itu segera dibungkam. “Cukup ya, tolong kembali ke tempat masing-masing. Pamdal tolong diamankan,” katanya, seolah sejarah bisa diamankan semudah poster protes disita.
Pamdal pun menggiring para demonstran keluar seperti pengantar sejarah ke pemakaman. Ironisnya, semua ini terjadi dalam gedung yang dengan bangga menyebut dirinya “rumah rakyat.” Rupanya, rumah rakyat kini punya ruang VIP: untuk elite yang bicara, dan balkon terkutuk: untuk rakyat yang dilarang bersuara.
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang dipimpin Kementerian Kebudayaan di bawah Fadli Zon kini bukan sekadar ambisi dokumentasi. Ia telah berubah menjadi upaya pelicinan memori nasional. Sebelumnya, dalam wawancara, Fadli Zon menyanggah bahwa kerusuhan Mei 1998 mengandung unsur pemerkosaan massal. Baginya, pemerkosaan boleh terjadi, tapi kalau tak cukup banyak, jangan dipakai istilah massal.
Logika yang begitu akurat. Mungkin nanti akan ada panduan resmi: berapa korban agar boleh disebut massal? 10? 20? 50? Fadli bahkan membandingkan tragedi 1998 dengan pembantaian Nanking oleh Jepang, sebagai tolok ukur pemerkosaan massal yang sah secara historis. Rupanya, di republik ini, sejarah perlu melewati standar kuantitatif sebelum bisa disebut tragedi.
Spanduk bertuliskan “Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat” dan seruan “Dengarkan suara korban!” menjadi bukti nyata bahwa rakyat masih punya ingatan. Tapi di mata elite, ingatan adalah ancaman. Apalagi jika menyangkut nama besar Soeharto, yang oleh sebagian politisi kini hendak diberi gelar pahlawan. Ironis bukan? Di negara yang selalu gagal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, justru pelaku kekuasaan di masa lalu diangkat ke panggung kehormatan.
Koalisi Masyarakat Sipil menolak itu. Mereka tak ingin sejarah dijadikan halaman Instagram pemerintah. Mereka sadar bahwa ketika sejarah ditulis ulang tanpa akuntabilitas, maka yang lahir bukan catatan ilmiah, tapi brosur propaganda. Dan dalam brosur itu, korban tak punya tempat. Poster mereka yang disita bukan hanya atribut protes, tapi simbol bahwa sejarah rakyat sedang dirampas oleh kekuasaan.
Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia bukan sekadar akademik. Ia adalah politik. Dan Fadli Zon, sang menteri budaya yang lebih fasih bicara retorika daripada sensitif terhadap trauma perempuan korban kerusuhan, tetap tersenyum di tengah kritik.
Apa pentingnya proyek ini kalau tidak untuk menata ulang narasi sejarah demi kepentingan hari ini? Dalam narasi yang sedang dibangun, 1998 mungkin akan diubah menjadi sekadar peristiwa "kericuhan akibat ekonomi." Aktivis yang diculik? Akan disebut “hilang dalam suasana tidak stabil.” Dan kekerasan seksual? Akan dijelaskan sebagai "dugaan tanpa struktur."
Salah satu tuntutan massa adalah menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto. Di era di mana penghianat bisa jadi pahlawan dan pahlawan bisa dicap penghianat, tuntutan ini seperti melawan tsunami dengan sendok. Tapi itulah tugas sejarah sejati — menolak tunduk pada penguasa.
Soeharto yang menjabat selama 32 tahun dengan penuh represi, yang menyebabkan luka mendalam bagi bangsa, kini dilirik untuk diberi gelar oleh generasi penguasa yang merasa Orde Baru tak seburuk itu. Mungkin karena mereka lahir dari rahim yang sama.
Dan begitulah: sejarah bukan lagi pengingat masa lalu, tapi penyihir masa kini. Ia bisa menghapus nama Marsinah, menyembunyikan Wiji Thukul, dan membuat tragedi 1998 tak lebih dari keributan mahasiswa.
Koalisi masyarakat sipil hari itu tidak merusak apa-apa. Tidak melempar kursi, tidak membakar meja, tidak merusak fasilitas negara. Mereka hanya membentangkan spanduk dan bersuara. Tapi itupun sudah cukup untuk membuat mereka dikeluarkan seperti pengganggu keamanan. Sementara mereka yang membuat sejarah menjadi barang dagangan, tetap duduk tenang, membahas anggaran.
Negara ini rupanya lebih takut pada spanduk rakyat daripada pada penyimpangan sejarah oleh pejabat. Kita hidup di republik yang lebih siap menyita poster daripada menyita pelaku pelanggaran HAM. Sejarah bukan lagi milik bangsa, tapi milik mereka yang punya akses ke mikrofon, anggaran, dan lembaga penerbit.
Jika proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini selesai, maka pada Agustus 2025, saat HUT Ke-80 RI, kita akan menyambut buku sejarah baru. Buku yang kemungkinan besar akan mencuci tangan negara dari tragedi, membersihkan jejak kekuasaan, dan menyamakan semua luka sebagai ‘bagian dari dinamika bangsa.’
Anak-anak sekolah kelak akan membaca bahwa sejarah Indonesia berjalan tertib, reformasi sukses, dan masa lalu penuh kebanggaan. Mereka tidak akan tahu bahwa di suatu hari di bulan Juli 2025, sekelompok orang dibungkam di balkon gedung DPR hanya karena mencoba mengingatkan bangsa ini untuk tidak melupakan rasa malu.