Penulisan ulang sejarah berwajah impunitas

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia di bawah menuai kritik tajam karena abaikan korban kekerasan 1998 dan berpotensi menutupi pelanggaran HAM.

Penulisan ulang sejarah berwajah impunitas. © Rivan Awal Lingga/Antara
Suasana rapat kerja Kementerian Kebudayaan dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/7/2025). © Rivan Awal Lingga/Antara

Di suatu siang yang panas di Senayan, Jakarta, di ruang rapat Komisi X DPR yang seharusnya menjadi tempat rakyat menyampaikan aspirasi, justru dipenuhi oleh drama klasik kekuasaan: bagaimana membuat sejarah sesuai selera penguasa. Menteri Kebudayaan Fadli Zon duduk dengan tenang, meskipun atmosfer di sekelilingnya panas oleh pertanyaan tajam anggota DPR dan teriakan protes dari balkon. Isu yang dibahas bukan sekadar anggaran, tapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya: penulisan ulang sejarah Indonesia.

Ya, sejarah akan ditulis ulang. Tapi jangan berharap ada keadilan bagi korban. Jangan harap ada keberanian menyebut pelanggaran HAM dengan nama sebenarnya. Jangan pula bermimpi bahwa korban kekerasan seksual Mei 1998 akan mendapatkan pengakuan. Sebab, sejarah baru ini bukanlah milik rakyat. Ini milik kekuasaan, milik mereka yang ingin menghapus noda darah dengan tinta emas birokrasi.

Ketika Fadli Zon menyampaikan bahwa tidak tepat menyebut kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai "pemerkosaan massal", ia tidak sedang mendebat data. Ia sedang menunjukkan betapa penguasa bisa menentukan diksi untuk luka orang lain. 85 kasus kekerasan seksual, 52 di antaranya pemerkosaan, bukan dianggap fakta mengerikan, tapi sekadar angka yang belum memenuhi standar massal menurut kamus kekuasaan.

Dia bahkan membandingkan peristiwa itu dengan tragedi Nanking — seolah luka bangsa ini harus dikomparasi dulu dengan jumlah korban dari negara lain agar layak disebut serius. Satu korban di mata korban, adalah segalanya. Tapi di mata birokrat, satu korban hanyalah satu suara yang bisa diredam, direduksi, direvisi, dan kalau perlu, dihapus dari buku sejarah.

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini diklaim telah rampung 80 persen. Buku sebanyak 11 jilid akan dirilis Agustus 2025, tepat pada Hari Kemerdekaan Ke-80 RI. Tapi sayangnya, bukan kemerdekaan yang akan dirayakan. Yang akan kita lihat adalah kematian memori kolektif bangsa. Kita akan membaca sejarah dari sudut pandang para pemenang, yang sibuk memoles wajah mereka agar terlihat heroik di halaman buku.

Dalam proyek ini, suara para korban kekerasan 1998, penghilangan orang secara paksa, penggusuran atas nama pembangunan, dan berbagai bentuk ketidakadilan lainnya tidak mendapat tempat. Mereka yang berteriak dari balkon gedung DPR membawa poster dan spanduk, dianggap pengganggu, bukan bagian dari sejarah. Para perempuan yang menuntut permintaan maaf karena luka mereka diabaikan, justru dituduh sensitif. Sebab dalam dunia sejarah versi elite, rasa sakit harus tunduk pada narasi resmi.

Kita pernah belajar bahwa sejarah adalah cermin bangsa. Tapi cermin ini kini tengah dipecahkan oleh tangan-tangan kuasa agar kita hanya melihat potongan yang mereka sukai. Fakta diubah menjadi opini. Tragedi dijadikan catatan kaki. Pelaku diubah jadi pahlawan. Dan korban? Dibiarkan membusuk dalam lembar kosong.

Ketika DPR mengingatkan pentingnya transparansi dan akurasi dalam proyek ini, Fadli Zon tetap bersikukuh dengan retorika formal. Ia tak menyangkal kekerasan, katanya, hanya memperdebatkan istilahnya. Tapi publik tidak sedang bicara soal linguistik. Mereka bicara tentang luka, kehilangan, dan hak untuk diakui. Tapi tentu saja, luka rakyat tidak bisa bersaing dengan gengsi kementerian.

Sejarah Indonesia kini sedang dijadikan investasi politik jangka panjang. Melalui proyek penulisan ulang ini, kekuasaan hendak membentuk generasi baru yang tidak mengenal nama Wiji Thukul, tidak tahu siapa Marsinah, dan menganggap reformasi 1998 hanya peristiwa gaduh yang tidak penting. Bayangkan satu generasi yang diajari bahwa pemerkosaan massal hanyalah ilusi media, bahwa Soeharto adalah pahlawan pembangunan, dan bahwa tragedi 1965 adalah penyelamatan negara.

Di tangan Kemenbud, sejarah bukan lagi pelajaran. Ia telah berubah menjadi senjata untuk mengatur kesadaran. Mereka tidak sekadar mengontrol masa depan, tapi juga masa lalu. Sehingga rakyat kehilangan arah, karena tidak lagi tahu dari mana mereka datang.

Yang paling menyayat dari rapat itu bukan sekadar debat. Tapi perlawanan sipil yang tulus dari balkon, dari orang-orang yang bukan anggota DPR, bukan pejabat negara, tapi bagian dari bangsa ini. Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas datang bukan untuk ribut, tapi untuk mengingatkan. Tapi seperti biasa, negara selalu punya ruang untuk mendengar elite dan punya pasukan untuk menggusur suara rakyat.

Ketika mereka berteriak agar proyek ini dihentikan, agar Fadli Zon meminta maaf, agar Soeharto tidak diberi gelar pahlawan, semua itu tidak masuk dalam notulen. Sebab sejarah baru tidak punya halaman untuk mereka. Karena dalam sejarah versi elite, rakyat hanya figuran. Dan figuran tidak berhak bicara.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon (tengah) dengan khidmat mendengarkan pandangan fraksi saat rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/7/2025). © Rivan Awal Lingga/Antara
Menteri Kebudayaan Fadli Zon (tengah) dengan khidmat mendengarkan pandangan fraksi saat rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/7/2025). © Rivan Awal Lingga/Antara

Apa yang lebih tragis dari bangsa yang terluka? Bangsa yang melupakan lukanya. Dan di sinilah kita berada: di tengah proyek pelupaan kolektif terbesar sepanjang sejarah republik. Lewat buku-buku yang akan segera diterbitkan, negara akan memberi kita narasi indah penuh kepahlawanan, pembangunan, dan kedamaian. Tak ada darah. Tak ada air mata. Tak ada tangis perempuan yang dilecehkan.

Dan bila nanti anak-anak muda membaca buku itu, mereka tak akan tahu bahwa gedung DPR — yang disebut rumah rakyat — pernah mengusir rakyat dari balkonnya sendiri.

Sementara tim penyusun sejarah sibuk menghitung halaman, rakyat sibuk menghitung luka. Sementara kementerian menyiapkan peluncuran resmi sejarah versi elite, para korban menanti pengakuan yang tak kunjung tiba. Dan sementara DPR membahas anggaran dan komunikasi publik, sejarah yang jujur justru dikubur di bawah gedung parlemen yang megah itu.

Penulisan ulang sejarah Indonesia hari ini bukanlah koreksi akademik. Ia adalah bentuk lain dari impunitas — pelembagaan pelupaan, dan pengkhianatan terhadap masa lalu yang penuh darah dan air mata.

Kalau sejarah benar-benar ditulis oleh pemenang, maka bangsa ini seharusnya malu karena terlalu sering berpihak pada pelupa, bukan pada korban.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar