Uang dan senjata di rumah Topan Ginting

Tim penyidik KPK menemukan Rp 2,8 miliar dan dua pucuk senjata saat menggeledah rumah tersangka korupsi proyek jalan di Sumatera Utara, Topan Ginting.

Uang dan senjata di rumah Topan Ginting. © Yudi Manar/Antara
Polisi berjaga di gerbang rumah bak satpam perumahan elit, sementara penyidik KPK sibuk mengobrak-abrik isi rumah Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, Topan Obaja Putra Ginting, dalam penggeledahan kasus dugaan korupsi proyek jalan di kompleks Royal Sumatera, Medan, Rabu (2/7/2025). © Yudi Manar/Antara

Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mencetak rekor dalam menemukan harta karun koruptor: Rp 2,8 miliar dan dua pucuk senjata api, semuanya didapati dalam penggeledahan rumah tersangka Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumatera Utara nonaktif, Topan Ginting. Penggeledahan itu dilaksanakan Rabu, 2 Juli 2025, dan langsung disiarkan dalam video ala dokumenter kriminal di era digital.

Dalam video tersebut, tumpukan uang pecahan Rp 100.000 terikat rapi, masing-masing ikatan senilai Rp 100 juta. Tak mau kalah, senjata pun ikut mejeng: sebuah pistol Beretta lengkap dengan tujuh butir peluru dan sebuah senapan angin coklat yang santai tersimpan dalam tas hitam di lantai ruang tamu—mungkin untuk berjaga-jaga jika ada tamu tak diundang selain KPK.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dengan suara serius mengumumkan bahwa penggeledahan ini adalah bagian dari penyidikan dugaan korupsi proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut serta preservasi jalan di Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah I Sumut. “Tim mengamankan uang sekitar Rp 2,8 miliar dan dua pucuk senjata,” katanya sambil menegaskan akan berkoordinasi dengan Polri untuk penanganan senjata.

Tidak hanya harta kas, KPK juga telah lebih dulu menggeledah kantor Dinas PUPR untuk mengamankan dokumen penting. Jika uang dan dokumen adalah bumbu dapur korupsi, maka senjata sepertinya menjadi saus spesial yang menambah cita rasa penyidikan ini.

Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Kamis malam, 26 Juni 2025, di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Lima orang telah ditetapkan tersangka, termasuk Topan Ginting yang disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Gubernur Sumut, Bobby Nasution.

Selain Topan, tersangka lain adalah Rasuli Efendi Siregar (Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Sumut sekaligus pejabat pembuat komitmen), Heliyanto (PPK Satker PJN Wilayah I Sumut), M Akhirun Efendi Siregar (Direktur Utama PT Dalihan Natolu Group), dan M Rayhan Dulasmi Pilang (Direktur PT RN).

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut total nilai proyek yang diduga korupsi mencapai Rp 231,8 miliar. Sebuah angka yang cukup untuk membangun jalan tol dari Sumut ke bulan—kalau memang mau.

KPK masih menelisik proyek-proyek lain yang mungkin juga dihiasi dengan “praktik kreatif” serupa. Seperti biasa, prinsip follow the money alias mengikuti aliran uang jadi metode andalan. Jika uangnya mengalir ke atas, jangan heran jika pejabat lebih tinggi juga disiapkan kursi pemeriksaan.

Satu pertanyaan yang kini mengemuka di meja penyidikan KPK: apakah Gubernur Sumut Bobby Nasution juga kecipratan “setoran”? KPK belum menutup kemungkinan memanggil pejabat nomor satu di Sumut ini, tergantung apakah aliran dana korupsi itu berakhir di kantongnya.

Asep Guntur menjelaskan, “Kami sedang fokus mengikuti aliran uang. Kalau terbukti ada setoran ke BN (Bobby Nasution) atau atasannya, tentu akan kami tindaklanjuti.” Sebuah pernyataan yang membuat semua pihak menahan napas sambil menunggu giliran panggilan.

Temuan dua pucuk senjata di rumah Topan Ginting tentu menimbulkan tanda tanya besar. Apakah itu bentuk proteksi diri di tengah proyek jalan yang rawan ‘bergelinding’, atau sekadar alat berjaga-jaga dari wartawan yang kepo?

KPK berjanji akan menyerahkan penanganan senjata ini ke Polri, agar senjata-senjata tersebut tidak dipakai untuk duel ala film laga di ruang sidang.

Rp 2,8 miliar tunai yang ditemukan itu bukan hanya sekadar amplop biasa. Dengan uang sebanyak itu, bisa membangun sekian kilometer jalan baru, atau menghidupkan lampu jalan di desa terpencil selama bertahun-tahun—tapi sayangnya uang ini diduga mengalir ke kantong para tersangka.

Kini, uang itu menjadi bukti nyata betapa korupsi di proyek infrastruktur masih jadi santapan sehari-hari, sementara jalan-jalan rusak tetap jadi momok warga Sumut.

Kasus ini masih awal, tapi janji KPK untuk terus mengikuti jejak uang menambah ketegangan. Jika jejak ini sampai ke pejabat tertinggi, tentu bukan hanya jalan yang akan diperbaiki, tapi juga wajah birokrasi yang selama ini terselubung.

Kita tunggu apakah drama korupsi ini akan berakhir dengan jeruji besi atau cuma ganti-ganti pemain di panggung lama yang sama.

Lainnya

Posting Komentar