Mengapa legislasi tak lagi butuh akal sehat

Ketika hukum ditulis tanpa logika dan moral, legislasi menjadi puisi kekuasaan yang absurd dan menertawakan demokrasi.
Mengapa legislasi tak lagi butuh akal sehat
Pernahkah membayangkan seorang filsuf Yunani zaman kuno duduk di galeri DPR RI? Aristoteles mungkin akan tersedak kopi saat menyaksikan pembahasan RUU dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam. Plato barangkali akan membatalkan konsep Politeia begitu tahu bahwa legislasi hari ini bisa didesain dalam ruang lobi hotel, dibumbui dengan kuota menteri dan tabungan elektoral. Begitu ajaibnya dunia hukum kita, hingga sesuatu yang disebut "legislasi" tidak perlu lagi menunggu pengkajian etika, moral publik, atau evaluasi filosofis. Cukup disepakati oleh koalisi besar—yang terdiri dari orang-orang dengan rekam jejak "tak tercela" versi partai, dan... voila! Lahir sudah norma baru, siap menghukum rakyat. Kata legis berasal dari Latin yang berarti hukum. Tapi di Indonesia, itu artinya: "hasil rapat cepat, disahkan oleh koalisi kuat." Undang-undang bukan lagi dokumen moral, melainkan hasil musyawarah elite, seperti memo internal yang dibumbui pasal-pasal pidana. Dulu, le…

Tentang

Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar