Artjog berlangsung di tengah perang dunia

Pameran Artjog 2025 hadir sebagai bentuk perenungan estetis di tengah konflik global dan eksploitasi lingkungan.

Pengunjung mengamati karya seni dalam pameran ARTJOG 2025 di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta, Jumat (20/6/2025). © Andreas Fitri Atmoko/Antara
Pengunjung mengamati karya seni dalam pameran ARTJOG 2025 di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta, Jumat (20/6/2025). © Andreas Fitri Atmoko/Antara

Jika perang adalah seni menghancurkan, maka Artjog 2025 mencoba menjadi seni untuk mengingat. Tahun ini, pameran tahunan yang digelar di Jogja National Museum dari 20 Juni hingga 31 Agustus, tidak hanya menampilkan karya estetis, tetapi juga mengangkat tema yang cukup filosofis: Motif: Amalan. Tema ini adalah pamungkas dari trilogi Motif, sebuah seri yang barangkali hanya bisa dipahami jika Anda sudah membaca dua novel filsafat dan tiga buku sejarah dalam sehari.

Namun ada yang berbeda tahun ini. Artjog berlangsung di tengah perang dunia—bukan secara resmi tentu saja, tapi cukup nyata jika Anda melihat berita: Iran versus Israel, Palestina yang terus dibombardir, dan Ukraina yang belum juga diberi kesempatan hidup damai dari Rusia. Semua itu menjadi latar ironis bagi sebuah pameran seni yang menampilkan harapan, perenungan, dan... instalasi yang tidak bisa menyelamatkan siapa pun dari misil.

Kurator Hendro Wiyanto tidak menutup-nutupi rasa bersalahnya. Dalam sambutannya yang agak jujur (dan sangat tidak Instagramable), ia mengakui bahwa merayakan seni di tengah perang itu seperti makan gelato sambil nonton berita genosida: enak, tapi terasa jahat. “Kita tidak bisa menghentikan perang,” katanya. “Itu rasa bersalah yang semakin lama semakin tak bisa dihindarkan.”

Dan di sinilah seni mengambil peran: bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai pengingat. Karena setidaknya, kalau dunia harus terbakar, seniman masih bisa membuat mural dari puing-puingnya.

Tema Motif: Amalan bukan sekadar tempelan label estetika, melainkan sebuah upaya memaksa audiens untuk berpikir—aktivitas yang, sayangnya, makin langka di era algoritma. Jika tahun 2023 kita disuguhi tema Lamaran, dan 2024 dengan Ramalan, maka tahun ini adalah giliran Amalan—yang artinya kita diajak berhenti menggombal dan mulai bertindak.

Tapi tentu saja, tindakan dalam dunia seni tak berarti aksi nyata seperti memadamkan api atau menghentikan bom. Tindakan ini lebih seperti membentuk patung dari kayu mati, lalu berharap orang yang melihatnya akan berhenti menebang pohon—setidaknya selama tiga menit. Karena sesungguhnya, di dunia seni, harapan selalu lebih penting dari hasil. Apalagi kalau hasilnya bisa dibingkai dan dijual.

Salah satu karya yang cukup menggugah adalah milik pematung Anusapati berjudul Pohon/Kayu. Ia mencoba ‘menumbuhkan’ kembali pohon-pohon mati dengan akar menjuntai dari langit-langit ruang pamer. Sebuah simbol dari eksploitasi alam—atau setidaknya itu yang dikatakan di katalog. Pekerjaan yang secara fisik melelahkan, tapi secara metaforis bisa dikalahkan oleh satu keputusan pemerintah untuk membuka tambang nikel baru.

Artjog berlangsung di tengah perang dunia. © Andreas Fitri Atmoko/Antara
© Andreas Fitri Atmoko/Antara

“Bayangan saya, ini tentang penambangan di Raja Ampat,” ujar seniman Sunaryo, membuka pameran dengan gaya elegan—sebuah keahlian yang hanya dimiliki segelintir orang di negeri ini. Dalam dunia yang penuh presentasi PowerPoint dan proyek greenwashing, sebuah pohon palsu dari kayu mati bisa terasa lebih jujur daripada pidato-pidato resmi tentang keberlanjutan.

Tentu saja, tidak semua karya di Artjog bertema gelap. Ada juga cahaya—terutama yang datang dari anak-anak. Melalui Project Artjog Kids, sebanyak 44 seniman cilik di bawah usia 15 tahun tampil memukau. Mereka menciptakan karya dari limbah padat anorganik—atau dalam bahasa sederhananya: sampah industri yang tidak muat di gudang dan akhirnya diberi label “instalasi pendidikan”.

Namun jangan salah. Justru dari tangan mungil mereka, lahir pesan paling tulus: bahwa masa depan mungkin penuh plastik, tapi bukan berarti tidak bisa diwarnai.

Proyek-proyek spesial dari kelompok seni seperti ruangrupa, Murakabi Movement, dan DEVFTO Printmaking Institute menghadirkan semacam kolaborasi lintas wilayah dan lintas harapan. Murakabi, misalnya, membuat instalasi berjudul Tanah Air Beta yang lantainya menggunakan trasah batu—batu kali kecil-kecil yang disusun tanpa semen. Ini bukan sekadar desain etnik, melainkan deklarasi diam: kita harus mengingat bahwa tanah dan air bukan cuma objek pajak, tapi sumber kehidupan.

“Tanpa semen, tanpa air,” kata salah satu anggotanya. Sebuah pernyataan yang terdengar seperti sindiran terselubung pada proyek-proyek properti yang membangun ribuan rumah tanpa jiwa.

Tahun ini, Artjog juga memperkenalkan program Spotlight yang menghubungkan dunia seni rupa dengan sektor formal lain. Karena tak bisa dimungkiri: seni juga butuh sponsor, dan kadang seni juga ingin tampil dengan blazer rapi.

Aktor Reza Rahardian tampil sebagai bintang program ini dengan instalasi berjudul Eudaimonia, kolaborasi bersama Garin Nugroho, Andra Matin, dan lainnya. Proyek ini memperingati 20 tahun karier Reza, sekaligus mengaburkan batas antara seni rupa, seni peran, dan seni cari spotlight.

Tapi jangan sinis dulu. Karena kalaupun seni akhirnya harus tampil di panggung besar, mengapa tidak sekalian membawa pesan damai? Lagipula, lebih baik melihat Reza berkontemplasi di tengah galeri daripada melihat debat Capres di TV yang hasilnya cuma menambah kadar gula darah.

Hendro benar: seni tidak bisa menghentikan perang. Tapi justru karena itu, seni penting. Karena di saat dunia dikuasai oleh pemimpin-pemimpin yang lebih tertarik pada rudal daripada risalah, karya seni bisa menjadi bentuk perlawanan paling sunyi: sebuah patung, sebuah lukisan, atau sehelai kain yang berbicara dalam bahasa keindahan di tengah teriakan kebencian.

Artjog 2025 tidak menawarkan solusi. Ia bukan forum PBB, bukan pula konferensi perdamaian. Tapi ia menawarkan ruang: untuk melihat, merasa, dan berpikir. Dan mungkin itu sudah cukup—karena hari ini, berpikir pun bisa dianggap aksi radikal.

Lainnya

Tentang

Novanka Laras
Laras di sini menulis seni dan budaya.

Posting Komentar