Selamat datang di Indonesia, negara yang senang merayakan masa lalu karena masa kini terlalu bikin stres. Dalam semangat nostalgia yang dikemas cantik dan artistik, pameran SciArt 8.0 hadir di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, menampilkan lukisan potret 29 ilmuwan lintas zaman. Dari Rumphius sampai Habibie, dari Tan Malaka sampai Kartini—semuanya dilukis dengan gaya visual penuh cahaya, karena katanya mereka adalah penerang zaman gelap.
Tentu saja, kita apresiasi pameran ini. Di negara yang lebih sering memajang foto pejabat ketimbang tokoh ilmuwan di dinding sekolah, ini langkah besar. Tapi jangan buru-buru terharu. Karena di balik lukisan yang elegan, gala pembukaan yang manis, dan sambutan yang penuh semangat, tetap ada pertanyaan mendasar: apakah sains dan teknologi benar-benar dipahami dan dihargai, atau hanya jadi dekorasi indah demi PR kementerian?
Yudi Darma dari Ditjen Sains dan Teknologi menjelaskan bahwa pameran ini dibagi ke dalam tiga periode sejarah: zaman Hindia Belanda, masa kolonial di Nusantara, dan era pasca-kemerdekaan. Semua ilmuwan itu katanya dipilih dengan cermat dan representatif. Tapi jujur saja, kapan terakhir kali kita mendengar nama Sartono Kartodirdjo diajarkan dalam pelajaran sejarah? Atau kapan anak-anak di sekolah tahu siapa itu Koentjaraningrat, selain sebagai nama jalan atau gedung?
Faktanya, sistem pendidikan kita masih lebih rajin menghafal rumus dari pada mengapresiasi pemikir. Buku-buku teks sekolah penuh kutipan dari Ki Hajar Dewantara, tapi ruang kelas minim praktik saintifik. Ironi sekali melihat ilmuwan-ilmuwan besar dijadikan panutan visual, sementara laboratorium sekolah masih pakai tabung reaksi zaman Orde Baru.
Menurut pihak penyelenggara, pameran SciArt 8.0 bertujuan menginspirasi generasi muda agar menjadikan para ilmuwan sebagai idola. Tapi apakah bisa? Ketika mereka tumbuh di era algoritma, selebritas instan, dan sistem pendidikan yang lebih sibuk mengurus P5 daripada memberi ruang riset, seberapa mungkin Habibie bisa bersaing dengan Jerome Polin di YouTube?
Ilmuwan tak mungkin jadi idola jika negara sendiri tak memperlakukan mereka sebagai prioritas. Cobalah tanya anak SMA sekarang, siapa penemu vaksin cacar? Bandingkan dengan: siapa yang punya 10 juta follower di TikTok? Hasilnya akan membuat B.J. Habibie menangis di pojok lukisan.
Menurut Prof. Ismunandar, dari target 80 tokoh ilmuwan, baru 29 yang berhasil ditampilkan. Bukan karena tak ada ilmuwan hebat lainnya, tapi karena, ya begitulah... birokrasi, kurasi, dan mungkin dana publik yang lebih dulu habis buat rapat koordinasi berlogo tiga kementerian.
Katanya, para ilmuwan ini dipilih lewat kurasi yang ketat. Tapi kenapa kita masih melihat tokoh seperti Soekarno, Supomo, dan Tan Malaka yang biasanya dikenal sebagai politisi? Jawabannya sederhana: branding. Di era di mana semua harus viral dan relatable, mencampur tokoh nasionalis dengan label “ilmuwan” adalah langkah strategis. Lagi pula, siapa yang berani debat kontribusi Tan Malaka? Tokoh yang dicoret dari sejarah oleh pemerintah karena ideologinya, lalu diangkat lagi oleh kurator seni.
Paul Hendro, sang pelukis, punya filosofi menarik. Ia melukis dengan dasar hitam dan menambahkan goresan putih karena “kedatangan mereka seperti cahaya di masa gelap.” Romantis sekali. Tapi mohon maaf, Pak Paul, masa gelap itu masih berlangsung. Apalagi kalau kita bicara soal riset yang anggarannya digelontorkan setahun sekali dengan sistem laporan yang lebih ribet dari sidang skripsi.
Dalam konteks ini, lukisan bukan hanya bentuk penghormatan, tapi juga bisa jadi pelarian. Karena lebih mudah menggambar cahaya daripada membuat sistem pendidikan yang terang benderang.
Setiap kali ada pameran seni berbasis sains, kita selalu disuguhi kalimat standar: “untuk meningkatkan ketertarikan generasi muda terhadap ilmu pengetahuan.” Tapi siapa yang mengevaluasi klaim itu? Apakah pengunjung yang datang benar-benar terinspirasi untuk membaca biografi Koentjaraningrat? Atau mereka hanya datang untuk selfie di depan lukisan Kartini agar terlihat cerdas di Instagram Story?
Apresiasi ilmuwan semestinya tidak berhenti di galeri. Ia seharusnya menular ke dalam kurikulum, kebijakan riset, pendanaan, dan keteladanan. Jika tidak, maka semua ini hanya seremoni: seperti memberi bunga pada pusara pengetahuan yang tak pernah kita urus saat hidup.
Kita senang sekali membungkus ketertinggalan dengan narasi indah. Kita gelar pameran SciArt, padahal anggaran riset Indonesia masih berkutat di angka 0,2 persen dari PDB. Kita bicara tentang semangat ilmuwan, tapi lupa memberi insentif yang layak bagi dosen yang meneliti. Kita bicarakan Habibie dan pesawat, tapi industri dirgantara justru dibonsai.
Sains bukan hanya soal pengetahuan, tapi ekosistem. Kalau kita hanya fokus pada simbol dan estetika, maka sains berubah jadi fiksi ilmiah: mengagumkan, tapi tak nyata.
Pameran ini, pada akhirnya, adalah refleksi kita sendiri. Kita ingin tampak cerdas, tapi enggan berpikir. Kita bangga dengan warisan ilmuwan, tapi tak tahu caranya mencetak ilmuwan baru. Kita bicara cahaya, tapi membiarkan pendidikan meraba dalam gelap.
Mungkin yang paling tercerahkan dari semua ini adalah pengunjung yang dapat brosur, swafoto, dan tiket gratis ke Benteng Vredeburg. Sementara itu, siswa-siswa di pelosok yang masih belajar IPA pakai spidol kering, tetap jadi penonton dari jarak jauh. Dan para ilmuwan, baik yang di lukisan maupun yang masih hidup, hanya bisa tersenyum simpul sambil menunggu negeri ini benar-benar paham bahwa sains bukan pajangan, tapi pondasi.