Kirab pusaka Ponorogo dan parade pemimpin sempurna

Ratusan ribu warga saksikan kirab pusaka dan filosofi sakral yang terasa sangat relevan... di atas kertas.

Kirab pusaka Ponorogo dan parade pemimpin sempurna. © Siswowidodo/Antara
Peserta mengikuti Kirab Budaya Lintas Sejarah di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Kamis (26/6/2025). © Siswowidodo/Antara

Kamis sore, langit belum sempat bersajak, tetapi jalanan Kabupaten Ponorogo sudah lebih dulu bersajak oleh langkah-langkah penuh semangat ratusan ribu warga. Mereka berdesakan di sepanjang jalur protokol hanya untuk satu tujuan mulia: menyaksikan kirab pusaka Ponorogo menjelang peringatan 1 Suro atau 1 Muharram dalam kalender Jawa.

Acara tahunan ini bukan sekadar pawai benda antik. Ini adalah parade nilai, kirab makna, dan prosesi sakral yang diselimuti wangi filosofi. Tiga pusaka yang dibawa—Payung Tunggul Wulung, Tombak Tunggul Nogo, dan Sabuk Angkin Cinde Puspita—menjadi pengingat bahwa dahulu para raja bukan hanya memakai aksesoris, tapi juga mengenakan harapan rakyat.

Ketiga pusaka ini konon adalah peninggalan langsung dari Prabu Bathara Katong, pendiri Ponorogo. Layaknya film trilogi, masing-masing pusaka memiliki pesan tersendiri. Dan karena ini budaya Jawa, tentu saja semuanya penuh perenungan.

Payung Tunggul Wulung melambangkan bahwa pemimpin harus melindungi rakyatnya. Sebuah pesan yang benar-benar menyentuh… sampai hujan datang dan rakyat tetap harus beli payung sendiri.

Tombak Tunggul Nogo melambangkan ketegasan. Pemimpin harus siap menembus ketidakadilan, membelah kabut ketimpangan. Tentu saja secara simbolik. Secara nyata? Kita lihat nanti, mungkin setelah masa jabatan kedua.

Sementara itu, Sabuk Angkin Cinde Puspita jadi penutup filosofis: pemimpin harus bisa mengendalikan diri. Artinya: menahan nafsu, kesombongan, kerakusan, dan tentunya—godaan proyek mercusuar.

Kirab pusaka Ponorogo tahun ini lebih istimewa karena dihadiri oleh barisan kepala daerah. Ada Bupati Nganjuk, Bupati Ngawi, Bupati Madiun, Wali Kota Magelang, hingga anggota DPR RI. Semua hadir, bukan untuk mencari inspirasi gaya berpakaian, tapi katanya demi memperkuat ekosistem pariwisata antarwilayah.

"Ya kami ajak-ajak kepala daerah biar saling dukung wisata. Nanti giliran kita yang diajak juga," ujar Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, atau Kang Giri, yang tampaknya paham betul pentingnya networking berbasis acara adat.

Pariwisata, rupanya, kini tak cukup dengan keindahan alam dan tempat Instagramable. Ia butuh bumbu spiritual dan baju tradisional. Wisata simbolik jadi tren baru: tidak usah terlalu logis, yang penting filosofis.

Kirab dimulai dari kawasan kota lama Setono menuju rumah dinas Bupati di Pringgitan, kompleks Pemkab Ponorogo saat ini. Proses ini bukan hanya pindah tempat. Ini semacam re-enactment politik masa lalu yang mencoba mengingatkan publik bahwa dulu pun ada perpindahan kekuasaan, tapi dilakukan dengan prosesi dan iringan gamelan—bukan reshuffle dadakan atau siaran YouTube.

Dan tentu saja, tiap langkah iring-iringan mengandung simbol. Bahkan debu yang beterbangan mungkin menyiratkan bahwa sejarah itu tidak pernah bersih-bersih amat.

Kang Giri tak lupa menguraikan filosofi dari setiap pusaka. Bahwa payung berarti perlindungan, tombak berarti perjuangan, dan sabuk berarti pengendalian diri. Sebuah rangkaian narasi yang sangat cocok untuk seminar kepemimpinan, terutama jika peserta sedang butuh materi renungan sebelum tahun politik.

"Pemimpin harus bisa bikin rakyat adem ayem," kata Kang Giri.

Kalimat ini tentu terdengar menenangkan—seperti AC di kantor bupati—meskipun rakyat masih harus antre air bersih di beberapa desa.

"Pemimpin harus bisa memperjuangkan rakyatnya," katanya lagi sambil mengarahkan tombak simbolik.

Tapi perjuangan itu, seperti layaknya tombak pusaka, tampaknya lebih sering dipajang ketimbang digunakan.

Sebagai penutup, tiga pusaka suci tadi dimandikan dalam prosesi jamasan di depan Paseban Alun-alun Ponorogo. Air yang digunakan berasal dari tujuh sumur berbeda, mungkin untuk memastikan spiritualitasnya tidak encer.

Usai dimandikan, air bekas jamasan tidak dibuang. Justru diperebutkan oleh masyarakat. Mereka percaya air itu membawa berkah dan bisa menolak bala. Bahkan ada yang membawa botol kosong sejak pagi demi membawa pulang setetes harapan.

Ini adalah bentuk spiritualitas rakyat yang paling jujur. Kalau tidak bisa ikut dalam pengambilan keputusan, setidaknya bisa ikut rebutan air sisa keputusan.

Tradisi kirab pusaka Ponorogo adalah contoh sempurna bagaimana budaya bisa bertahan, bahkan berkembang, meskipun tidak semua nilai filosofinya benar-benar dijalankan dalam praktik.

Di atas kertas, ini adalah ajang luar biasa yang menyatukan warisan, kepemimpinan, dan masyarakat. Tapi di jalanan, ini adalah ajang di mana rakyat bisa lupa sejenak soal BBM naik, proyek mangkrak, atau bansos salah sasaran.

Kekuatan kirab ada pada kemampuannya menyatukan. Menyatukan harapan dan hiburan, menyatukan sejarah dan selfie, menyatukan warga dan air bekas jamasan. Bahkan, kalau beruntung, bisa menyatukan kepala daerah dan proposal pembangunan.

Dalam hiruk-pikuk politik dan birokrasi modern, kirab pusaka Ponorogo mengajarkan satu hal penting: bahwa kadang, rakyat tidak menuntut pemimpin yang sempurna, cukup yang tidak terlalu sering lupa makna dari simbol yang ia arak.

Karena kalau payung hanya untuk foto, tombak hanya untuk prosesi, dan sabuk hanya aksesori, maka semua filosofi itu tak lebih dari dekorasi yang menunggu tanggal pemilu.

Dan seperti air jamasan yang cepat habis direbut warga, begitu pula kepercayaan—cepat menguap jika terlalu sering dijadikan simbol, tapi jarang jadi solusi.

Lainnya

Tentang

Novanka Laras
Laras di sini menulis seni dan budaya.

Posting Komentar