Selamat datang di negeri yang begitu mencintai sejarah—asal tidak disuruh baca buku dan rela kotor untuk menggali. Kali ini kita bicara tentang Situs Balekambang, sebuah lokasi yang katanya peninggalan masa Mataram Kuno atau mungkin juga Majapahit. Tapi, sebelum tim arkeologi sempat mengeja huruf prasasti, situs ini sudah sempat dilubangi masyarakat. Ya, semangat gotong royong di Indonesia itu memang sakral, termasuk kalau urusannya merusak warisan budaya.
Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jawa Timur mengerahkan tim survei sejak 22 Juni. Mereka membuka empat kotak galian di Dusun Bendungan, Landungsari, Dau, Kabupaten Malang. Temuan awal? Batu bata berserakan, pecahan growol, dan sisa-sisa kehancuran arkeologis yang, menurut ketua tim Ning Suryati, tampaknya hasil galian warga yang semangatnya terlalu tinggi tapi metodenya terlalu kreatif.
Batu bata yang ditemukan tidak tersusun rapi. Indikasinya jelas: situs sudah pernah diaduk, seperti mie instan yang dimasak oleh mahasiswa kelaparan. Belum lagi soal periodisasi: karena tidak ada satu pun batu bata yang utuh, tim arkeologi masih bingung, ini zaman Mataram, Singosari, atau malah reruntuhan dari pembangunan pos ronda tahun ‘90-an.
Untuk diketahui, setiap zaman punya ukuran batu bata khas. Batu bata era Mpu Sindok misalnya, bisa sepanjang 46 cm—lebih besar dari loyang martabak. Tapi karena semua sudah jadi pecahan, kita tinggal menebak-nebak. Sejarah pun berubah jadi teka-teki silang, dengan warga sebagai penyusun huruf acak.
Selain batu bata, tim arkeologi juga menemukan koin. Tapi lagi-lagi, koin ini tidak langsung bisa ditentukan asal-usulnya. Bisa dari masa kerajaan, bisa juga dari kolonialisme. Bisa jadi dari era VOC, bisa juga sisa recehan yang jatuh dari dompet warga saat selfie di punden.
Beginilah potret pelestarian budaya versi Indonesia: kita punya warisan masa lampau, tapi pendekatannya masa kini—serba instan, cepat, dan kalau bisa, tanpa prosedur. Yang penting konten dulu, riset menyusul.
Awal mula kisah Situs Balekambang ini terungkap bukan dari ekspedisi ilmiah, melainkan dari agenda bersih-bersih punden yang digelar komunitas Pelestari Purbakala dan Budaya Indonesia. Kegiatan mulia ini mendadak berubah jadi drama Indiana Jones lokal ketika mereka tanpa sengaja menemukan batu bata misterius. Dan di Indonesia, misterius selalu berarti: ayo gali!
Komunitas dan warga bergabung, kepala dusun ikut semangat, dan tanpa pelatihan arkeologi, mereka membuat situs ini jadi lebih bersih sekaligus lebih tidak bisa dibaca. Karena, seperti kata arkeolog mana pun, menggali tanpa metode artinya kehilangan konteks. Itu seperti membaca novel tapi cuma halaman 3, 17, dan 68—terus menyimpulkan akhir ceritanya.
Dalam komentarnya, ketua tim arkeologi mengingatkan bahwa kegiatan ekskavasi bukanlah kerja bakti RT, melainkan metode ilmiah. Harus ada pengukuran tinggi, rendah, posisi, bahkan orientasi benda. Kalau sembarangan digali, kita kehilangan konteks: apakah benda itu bagian dari fondasi, altar, atau cuma bongkahan bangunan yang jatuh pas banjir tahun 1278?
Sayangnya, edukasi macam ini sering datang terlambat. Situsnya sudah keburu jadi lubang gali komunitas, dan para arkeolog datang seperti guru piket yang harus merapikan kelas setelah siswa kabur semua.
Sejarawan Malang menyebut bahwa tanah di sekitar situs punya jejak historis panjang. Ada prasasti dari masa Sindok tahun 948 M yang menyebut nama Wurandungan, yang kemungkinan kini dikenal sebagai Landungsari. Nama lain seperti Klandungan, Bendungan, bahkan mungkin Campursari, turut menguatkan dugaan bahwa ini wilayah penting lintas masa.
Dari masa Mataram, Kadiri, Singosari, hingga Majapahit, situs ini disebut-sebut punya nilai strategis. Tapi seperti biasa, pentingnya hanya terasa di kutipan akademik. Di lapangan, situs tetap berada di tengah lahan jeruk yang bisa berubah jadi lahan parkir kapan saja kalau pemiliknya tiba-tiba butuh biaya renovasi rumah.
Sejarawan juga menyebut Mpu Sindok sebagai peletak fondasi peradaban Malang pasca-Kanjuruhan. Tapi sekuat apapun fondasinya, tak akan mampu melawan kombinasi antara ketidaktahuan publik dan ketidaksabaran masyarakat menggali. Ironisnya, kita sering menyebut budaya sebagai "warisan leluhur", tapi memperlakukannya seperti barang nemu di halaman belakang.
Warisan budaya itu semestinya dijaga, diteliti, dan diajarkan. Tapi kenyataannya, kita membiarkan situs-situs seperti ini tenggelam dalam kelalaian institusi, dibantu oleh rasa ingin tahu warga yang tak tahu batas.
Survei yang dilakukan oleh BPK akan menghasilkan rekomendasi untuk ekskavasi penuh. Artinya, jika semua prosedur berjalan ideal, situs ini akan digali secara ilmiah, dikaji, didokumentasikan, lalu—dalam harapan utopis—dijadikan destinasi edukatif. Tapi sayangnya, kita tahu jalannya tak pernah mulus.
Prosedur ekskavasi sering terbentur anggaran, waktu, dan politik lokal. Sementara situsnya sendiri dikepung oleh spekulasi: dari mitos lokal sampai desas-desus tambang tersembunyi. Maka, ekskavasi kadang-kadang terasa seperti formalitas, sekadar mencatat apa yang tersisa setelah masyarakat "bersih-bersih" besar-besaran.
Situs Balekambang bukan hanya reruntuhan batu bata. Ia adalah cermin bagaimana bangsa ini memperlakukan sejarahnya: dengan semangat tinggi, pengetahuan rendah, dan dokumentasi seadanya. Dari prasasti kuno ke jeruk modern, dari punden ke lubang gali, kisah situs ini mengajarkan satu hal penting: cinta pada budaya itu tak cukup pakai niat baik. Harus disertai ilmu, metode, dan pengendalian diri untuk tidak langsung menggali begitu melihat batu aneh.
Karena kalau tidak, kita hanya akan terus menggali lubang—bukan sejarah, tapi lubang ketidaktahuan kolektif yang makin dalam setiap tahunnya.