![]() |
Gedung di Jakarta. © Iggoy el Fitra/Antara |
Langit Jakarta mungkin masih kelabu, tapi hati pemerintah terang-benderang ketika bicara tentang bangunan hijau. Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumawati dengan penuh semangat menyampaikan bahwa arsitektur kini punya misi sakral: mengusir dosa emisi karbon dari bumi pertiwi. Di forum ARCH:ID yang disulap menjadi mimbar kenabian pembangunan, Diana menyebut bangunan hijau sebagai “penawar krisis iklim” sekaligus “obat mujarab disrupsi teknologi.” Sebuah klaim yang tampak religius dan sangat... hijau.
Pemerintah galakkan bangunan hijau demi menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), terutama dari sektor bangunan yang, menurut mereka, bertindak layaknya perokok aktif dalam dunia urban: konsumsi tinggi, kontribusi besar terhadap polusi, dan tetap berdiri angkuh di tengah kota. Data dari Kementerian PUPR bahkan menyebut bahwa dari 2011 hingga 2021, bangunan menyumbang rata-rata 33 persen emisi GRK.
Tentu, angka ini menggetarkan nurani pemerintah, hingga mereka menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021. Karena tak ada yang lebih ampuh mengusir karbon selain tinta basah dari lembaran peraturan yang... yah, belum tentu dibaca apalagi dijalankan.
Apa saja langkah konkret dari kampanye pemerintah galakkan bangunan hijau?
Pertama, mereka menyusun dokumen yang luar biasa tebal dan mengundang kantuk: “Peta Jalan Penyelenggaraan dan Pembinaan BGH.” Seolah peta ini akan membuat semua pengembang berseru “Eureka!” dan langsung merobohkan beton-beton boros energi.
Namun, realitas menunjukkan bahwa implementasi aturan ini masih semeriah perayaan tahun baru yang jatuh di hari Senin: ada, tapi tidak ada semangat. Saat ini, hanya ada 10 bangunan, satu kawasan, dan lima perumahan yang bersertifikasi BGH. Itu pun dengan syarat dan ketentuan berlaku: lokasi harus di planet Bumi, dan arsiteknya harus percaya pada reinkarnasi insentif fiskal.
Demi meramaikan narasi, Green Building Council Indonesia juga ikut menyumbang angka: 110 gedung bersertifikat Greenship dan 153 EDGE. Angka ini sangat menggugah... bila dibandingkan dengan jumlah warung kopi di Jakarta Selatan.
Survei International Finance Corporation menunjukkan 62 persen pengembang masih menganggap bangunan hijau seperti beban moral: terasa penting, tapi lebih nyaman diabaikan. Biaya awalnya 30 persen lebih mahal, insentifnya samar seperti janji kampanye, dan keuntungannya masih mengawang-awang seperti panel surya di atas gedung yang belum dibangun.
Padahal, jika pemerintah serius dengan misi “pemerintah galakkan bangunan hijau”, semestinya tersedia insentif nyata, bukan hanya fatwa teknokratis. Kita butuh sesuatu seperti yang dilakukan Malaysia: GITA dan GITE—dua insentif pajak yang kedengarannya seperti nama band indie, tapi lebih efektif daripada pasal-pasal pasif.
Perusahaan di Malaysia seperti Mah Sing Group dan Yakult Malaysia sudah menikmati hasilnya: emisi turun, biaya energi menyusut, dan mereka tidak harus menunggu rapture untuk menikmati hasil bangunan hijau.
Vietnam, yang selama ini lebih dikenal dalam narasi sejarah daripada dalam tren arsitektur, telah menyalip kita di jalan tol hijau. Mereka sudah punya 559 bangunan bersertifikasi hijau, dengan luas mencapai 13,6 juta meter persegi. Target nasional mereka dilewati seperti motor Vespa melintasi zebra cross: mulus dan tidak dikejar Satpol PP.
Bandingkan dengan Indonesia yang baru berhasil menulis target dalam dokumen, mencetaknya dengan tinta berwarna, lalu mengirimkannya ke rak arsip di lemari kementerian. Mungkin, di sanalah semua kebijakan tinggal dan berkembang biak.
Beberapa kota mencoba menyalakan lilin dalam gelap. Samarinda, misalnya, melalui Keputusan Wali Kota No. 55/2021, telah menjadi kota pertama di luar Jawa yang punya regulasi mendukung bangunan hijau. Kolaborasi mereka dengan UNTAG dan Global Building Performance Network sangat inspiratif—jika Anda adalah dosen yang sedang mencari bahan penelitian.
Di sisi lain, proyek SETI di Surabaya dan Batam juga tampak menjanjikan. Didukung oleh konsorsium GIZ, IESR, WRI, dan CERAH—yang terdengar seperti boyband Jerman—mereka ingin membuktikan bahwa bangunan hijau bisa lahir dari kolaborasi, bukan sekadar kompetisi jargon.
Insentif fiskal adalah mimpi basah setiap pengembang. Tapi sayangnya, di Indonesia, insentif untuk bangunan hijau masih lebih langka daripada pohon di parkiran mal. Alih-alih mengurangi pajak, pemerintah malah menambahkan laporan dan formulir baru.
Belum ada tax holiday, hanya tax holiday spirit. Bahkan sistem pengecekan bangunan lewat SIMBG pun lebih mirip kuis interaktif daripada sistem pengawasan. Jika pengecekan bangunan existing bisa dipadukan dengan PBB, mungkin kita akhirnya bisa melihat insentif dan pengawasan bergandengan tangan—bukan saling menghindar.
Pemerintah galakkan bangunan hijau, katanya. Tapi sampai hari ini, yang hijau baru niatnya, bukan realisasinya. Peraturan ada, tapi implementasinya menguap bersama emisi karbon. Pengembang ragu, insentif ragu-ragu, dan masyarakat bingung apakah bangunan hijau ini benar-benar nyata atau sekadar pencitraan arsitektural.
Jika pemerintah benar-benar ingin menyelamatkan planet, mulailah dengan insentif yang jelas, kolaborasi yang nyata, dan evaluasi yang jujur. Jangan sampai bangunan hijau hanya jadi label untuk gedung mewah yang punya pot bunga di lobi dan sensor lampu di toilet, tapi tetap memakai pendingin ruangan 24 jam dan kaca patri dari Dubai.
Bangunan hijau bukan sekadar trend. Ia adalah kebutuhan. Tapi jika terus ditangani dengan gaya seminar dan slogan, maka jangan salahkan bila warga memilih menyelamatkan bumi dengan cara paling sederhana: tinggal di hutan.