Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang senilai Rp5,3 miliar dari rekening swasta yang diduga berkaitan langsung dengan kasus korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di bank milik negara. Penyitaan tersebut merupakan hasil dari penggeledahan intensif yang dilakukan KPK pada 1 dan 2 Juli 2025 di tujuh lokasi berbeda di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
“KPK mengamankan dan menyita barang bukti yang diduga punya keterkaitan secara langsung dengan perkara tersebut, yaitu berupa uang sebesar Rp5,3 miliar yang tersimpan di rekening swasta,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (3/7).
Langkah KPK sita Rp5,3 miliar ini menjadi babak penting dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan mesin EDC yang nilainya mencapai Rp2,1 triliun. Uang yang disita telah resmi dipindahkan ke rekening penampungan KPK sebagai barang bukti yang sah.
Selain uang tunai dalam bentuk rekening, tim penyidik KPK juga menyita dokumen penting lainnya yang diduga memiliki keterkaitan dengan aliran dana proyek pengadaan EDC. Salah satu temuan mencolok adalah adanya bilyet deposito senilai Rp28 miliar yang diterbitkan oleh salah satu bank.
Menurut Budi Prasetyo, selain deposito tersebut, KPK turut mengamankan sejumlah dokumen pengadaan, catatan keuangan, dan barang bukti elektronik yang ditemukan dari penggeledahan di lima rumah pribadi dan dua kantor vendor.
Temuan ini mengindikasikan adanya dugaan bahwa proyek pengadaan mesin EDC yang seharusnya memperkuat layanan transaksi digital perbankan justru menjadi ladang korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.
Penyidikan kasus ini bermula dari penggeledahan yang dilakukan KPK pada 26 Juni 2025 di dua kantor utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), yakni di Jalan Sudirman dan Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Dari penggeledahan itu, KPK menyita dokumen-dokumen pengadaan, rekening tabungan, barang bukti elektronik, dan catatan keuangan.
Pada hari yang sama, KPK mengumumkan bahwa lembaga antikorupsi itu secara resmi membuka penyidikan baru terhadap kasus ini. Proyek pengadaan mesin EDC senilai Rp2,1 triliun yang berlangsung antara 2020 hingga 2024 menjadi fokus penyelidikan.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 30 Juni 2025, KPK menyampaikan bahwa nilai kerugian keuangan negara akibat proyek ini ditaksir mencapai Rp700 miliar, atau sekitar 30 persen dari total nilai proyek. Kerugian tersebut, menurut KPK, muncul akibat markup harga, pengadaan fiktif, serta keterlibatan pihak-pihak yang memanipulasi proses lelang dan distribusi mesin.
Sebagai langkah preventif, KPK telah mencegah 13 orang yang diduga memiliki keterkaitan langsung dengan kasus korupsi ini untuk bepergian ke luar negeri. Daftar nama-nama tersebut diumumkan pada akhir Juni, mencakup sejumlah pejabat dan mantan pejabat bank pelat merah.
Dua nama mencolok dalam daftar pencekalan adalah Catur Budi Harto, mantan Wakil Direktur Utama BRI, dan Indra Utoyo, mantan Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI yang kini menjabat sebagai Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk.
Keduanya diduga memiliki peran penting dalam proses pengadaan mesin EDC yang saat ini tengah disorot karena tidak hanya menyebabkan kerugian finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi perbankan dan pengelolaan anggaran di BUMN.
Penyidikan KPK tidak berhenti pada institusi bank saja. Penggeledahan juga menjangkau dua kantor vendor swasta yang diduga menjadi mitra dalam pengadaan mesin EDC. Lokasi penggeledahan berada di kawasan strategis Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.
Dari dua kantor tersebut, KPK menyita sejumlah perangkat elektronik, dokumen pengadaan, serta catatan komunikasi antar vendor dan pihak internal bank. Barang-barang ini tengah dianalisis oleh tim penyidik dan forensik KPK untuk memastikan keterlibatan pihak swasta dalam rekayasa pengadaan barang.
Langkah ini menunjukkan bahwa praktik korupsi yang sedang diusut tidak hanya melibatkan pejabat bank, tetapi juga jaringan bisnis yang mungkin telah menjalin kerja sama jangka panjang dengan pihak internal.
Hingga kini, KPK memperkirakan bahwa nilai kerugian negara dari proyek EDC masih bisa bertambah. Meskipun angka sementara yang diumumkan adalah Rp700 miliar, tim penyidik terus menelusuri aliran dana serta nilai-nilai transaksi yang mencurigakan.
Kasus ini berpotensi menjadi salah satu skandal pengadaan terbesar dalam sejarah bank BUMN di Indonesia jika ditemukan bahwa praktik korupsi terjadi secara sistemik.
Jika pola yang ditemukan KPK mengarah pada keterlibatan struktural dalam pengambilan keputusan pengadaan, maka akan sangat sulit membantah bahwa kasus ini merupakan bentuk korupsi terencana.
Sejak mencuatnya kasus ini, publik menyoroti pentingnya transparansi dalam proses penyelidikan dan penindakan. Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang antikorupsi, seperti ICW dan Transparency International Indonesia, mendesak agar KPK segera mengumumkan tersangka secara terbuka dan menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hijau.
KPK sendiri belum mengumumkan secara resmi siapa tersangka dalam kasus ini. Namun, sejumlah media dan pengamat menilai bahwa pencekalan 13 orang merupakan sinyal kuat bahwa penetapan tersangka tinggal menunggu waktu.
Kasus pengadaan mesin EDC ini membuka kembali diskursus soal lemahnya pengawasan internal di tubuh BUMN, khususnya dalam proyek digitalisasi dan transformasi teknologi. Pemerintah dan DPR diminta untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap proyek-proyek pengadaan yang berpotensi sarat penyimpangan.
KPK juga didesak untuk memperluas investigasi ke lembaga-lembaga keuangan negara lainnya guna mencegah pola serupa terulang. Dalam banyak kasus sebelumnya, praktik markup dan pengadaan fiktif menjadi modus yang lazim dalam proyek-proyek besar yang melibatkan teknologi.
Digitalisasi tidak boleh jadi kedok baru untuk korupsi. Justru transformasi digital harus disertai transformasi integritas.