Kompolnas dianggap beban negara

Syamsul dan Ernawati gugat Pasal 37 UU Polri ke Mahkamah Konstitusi karena nilai Kompolnas hanya jadi corong Polri.

Kompolnas dianggap beban negara. © Muhammad Ramdan/Antara
Ketua Harian Kompolnas Irjen Pol. (Purn) Arief Wicaksono menyampaikan keterangan terkait kasus dugaan pemerasan oknum polisi kepada penonton DWP 2024 di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, Kamis (2/1/2025). © Muhammad Ramdan/Antara

Jika Anda mengira pengawasan adalah fungsi untuk menjamin keadilan dan akuntabilitas, bersiaplah kecewa. Di negeri ini, pengawasan bisa berarti mendukung—atau setidaknya, menyambut hangat—segala hal yang diawasi. Komisi Kepolisian Nasional, atau Kompolnas, adalah bukti hidup dari transformasi menakjubkan itu. Alih-alih mengawasi Polri, mereka kini dituduh tampil sebagai humas tidak resmi kepolisian.

Dua warga negara yang masih waras—Syamsul Jahidin, seorang karyawan swasta, dan Ernawati, ibu rumah tangga—melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menginginkan Pasal 37 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dinyatakan inkonstitusional. Dengan kata lain, mereka ingin Kompolnas dibubarkan, dan halaman sejarah lembaga pengawas yang dianggap gagal itu segera ditutup.

Syamsul dan Ernawati mengajukan gugatan dengan alasan yang tidak biasa: mereka muak. Mereka lelah melihat institusi yang seharusnya mengawasi malah berdiri manis di belakang institusi yang diawasi, seolah menyanyikan lagu pujian tanpa nada minor.

Menurut mereka, Kompolnas selama ini gagal memberikan kontrol hukum dan kepastian hukum atas tindakan Polri. Kewenangan pengawasannya kabur, seperti rambu lalu lintas yang buram di tengah kabut tebal. Bukannya mengarahkan atau mengkritik, Kompolnas malah tampil sebagai komentator yang menyemangati, meskipun drama yang disaksikan adalah tragedi hukum.

Puncak gunung es dari performa menawan Kompolnas terlihat dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo. Saat publik mencium bau busuk konspirasi, Kompolnas malah menyemprotkan parfum penenang. Ketua Hariannya waktu itu, Benny Mamoto, menyatakan tidak ada kejanggalan setelah kunjungan ke tempat kejadian perkara. Sebuah analisis kilat dengan kepekaan selembut palu godam.

Syamsul dengan tegas menyebut Kompolnas terkesan menjadi juru bicara Polri, atau lebih parah, bagian dari tim produksi skenario. Lembaga ini dinilai tidak hanya lalai, tapi berpotensi aktif dalam membungkus kebohongan dengan pita pengawasan palsu.

Kompolnas, menurut para pemohon, tidak hanya gagal menjalankan fungsinya, tetapi juga menyedot anggaran negara untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Ini semacam investasi bodong dalam reformasi hukum. Lembaga yang dibentuk dengan semangat reformasi justru menjadi beban yang memperlambat perbaikan sistem.

Jika dibutuhkan lembaga pengawas yang efektif, kenapa mempertahankan yang tak berguna? Syamsul menyatakan tegas bahwa keberadaan Kompolnas saat ini justru menjadi bukti buruknya desain kontrol dalam struktur negara.

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo, mungkin seperti kita semua, mengalami kebingungan eksistensial. Ia mempertanyakan logika gugatan: ingin memperkuat Polri tapi meminta pengawasnya dihapus? Apakah logikanya seperti membakar alarm kebakaran agar rumah tidak terbakar?

Namun para pemohon menegaskan, lebih baik tanpa pengawas daripada punya pengawas yang justru memperburuk keadaan. Seperti membayar satpam kompleks yang setiap malam malah sibuk main gaplek dengan maling.

Permasalahan utama dalam Pasal 37 Ayat (2) UU Polri menurut pemohon adalah ketiadaan batasan hukum yang jelas, tujuan yang konkret, dan standar objektif untuk menilai efektivitas Kompolnas. Hasilnya adalah lembaga yang tidak bisa diukur keberhasilannya, karena sejak awal memang tidak memiliki parameter.

Norma yang multitafsir ini menurut pemohon bukan hanya tidak fungsional, tapi juga membuka celah manipulasi kekuasaan. Dalam kerangka negara hukum, hal seperti ini tidak bisa dibiarkan hanya karena rasa malas membenahi.

Dalam sidang, MK meminta Syamsul dan Ernawati menunjukkan kerugian konstitusional yang mereka alami secara langsung akibat keberadaan Kompolnas. Ini bukan hanya soal kecewa pada kinerja lembaga, tapi harus ada bukti bahwa keberadaan Kompolnas merugikan hak konstitusional mereka sebagai warga negara.

Namun, ketika pengawasan publik mati suri dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum makin keropos, mungkin bentuk kerugian terbesar adalah hilangnya keadilan sebagai nilai yang hidup dalam negara hukum.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic menyoroti bahwa masalah yang dihadapi bisa jadi bukan pada norma, tapi pada implementasinya. Namun, ketika implementasi dari awal memang diarahkan untuk gagal, apakah masih pantas norma itu dipertahankan?

Alih-alih memperbaiki kapal yang sudah bocor di semua sisi, Syamsul dan Ernawati mengusulkan agar kapal itu ditenggelamkan. Solusi radikal? Tentu. Tapi bukankah negara kita juga sedang mengalami dekadensi pengawasan yang sama radikalnya?

Kompolnas didirikan sebagai buah tuntutan reformasi, tetapi kini lebih menyerupai buah busuk yang menggantung di pohon demokrasi. Tentu, ada pengawasan lain dari DPR dan masyarakat, tapi apa jadinya jika lembaga formal yang seharusnya jadi rujukan justru berperan sebagai penyiar ulang narasi institusi yang diawasi?

Mungkin kita tidak perlu membubarkan Kompolnas jika saja ia bekerja. Tapi dalam dunia nyata, bekerja tampaknya adalah kata kerja yang asing di lingkungan pengawasan.

Kompolnas dianggap beban negara bukan semata karena tidak berguna, tetapi karena keberadaannya justru merusak kepercayaan publik terhadap sistem pengawasan. Jika lembaga ini tak bisa diaudit fungsinya, lalu apa gunanya lembaga yang hanya menonton ketidakadilan tanpa suara?

Syamsul dan Ernawati, dalam kesunyian suara rakyat yang terlalu sering diabaikan, mencoba mengetuk pintu Mahkamah Konstitusi. Bukan untuk sensasi, tapi untuk memperlihatkan bahwa di balik semua sistem ini, masih ada yang peduli. Meskipun hanya dua orang.

Dan ketika pengawas tidak lagi mengawasi, rakyat pun harus turun tangan. Meskipun hanya lewat gugatan. Meskipun hanya dengan harapan tipis. Tapi bukankah sejarah selalu dimulai dari orang-orang seperti itu?

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar