Legislasi dibajak populisme dan kekuasaan simbolik
Dalam negara hukum yang diklaim demokratis, legislasi kini dibentuk bukan oleh partisipasi publik, tapi oleh ilusi rakyat dan imajinasi kekuasaan.
Legislasi dibajak populisme dan kekuasaan simbolik
Apa yang lebih demokratis daripada lembaga legislatif yang dipenuhi oleh “wakil rakyat”? Mungkin hanya reality show di televisi yang menampilkan voting penonton via SMS. Dalam demokrasi kontemporer kita, rakyat adalah penonton, legislatif adalah aktor, dan hukum adalah skrip drama. Legislasi, yang dahulu seharusnya merupakan produk deliberasi rasional antar-warga lewat representasi, kini menjadi produk rating politik. Populisme menulis undang-undang dengan tinta kemarahan, bukan tinta akal sehat. Yang penting terdengar “pro-rakyat”, walau merugikan rakyat. Mari kita undang Michel Foucault duduk di bangku DPR. Ia akan tertawa pahit melihat bagaimana legislasi tidak lagi dibuat untuk mengatur, tapi untuk mengontrol cara berpikir masyarakat . Hukum digunakan untuk membentuk persepsi: siapa yang bermoral, siapa yang patuh, siapa yang layak dicurigai. Legislasi bukan hanya soal sanksi, tapi cara membentuk kebenaran versi penguasa. Maka jangan heran jika undang-undang bisa berubah tergantung si…
Tentang
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.