![]() |
Palu raksasa. © J Studios/Getty Images |
Apa yang lebih demokratis daripada lembaga legislatif yang dipenuhi oleh “wakil rakyat”? Mungkin hanya reality show di televisi yang menampilkan voting penonton via SMS. Dalam demokrasi kontemporer kita, rakyat adalah penonton, legislatif adalah aktor, dan hukum adalah skrip drama.
Legislasi, yang dahulu seharusnya merupakan produk deliberasi rasional antar-warga lewat representasi, kini menjadi produk rating politik. Populisme menulis undang-undang dengan tinta kemarahan, bukan tinta akal sehat. Yang penting terdengar “pro-rakyat”, walau merugikan rakyat.
Mari kita undang Michel Foucault duduk di bangku DPR. Ia akan tertawa pahit melihat bagaimana legislasi tidak lagi dibuat untuk mengatur, tapi untuk mengontrol cara berpikir masyarakat.
Hukum digunakan untuk membentuk persepsi: siapa yang bermoral, siapa yang patuh, siapa yang layak dicurigai. Legislasi bukan hanya soal sanksi, tapi cara membentuk kebenaran versi penguasa. Maka jangan heran jika undang-undang bisa berubah tergantung siapa yang sedang memegang mikrofon.
Populisme hadir dengan mantra: "Kami suara rakyat." Tapi dalam praktiknya, suara rakyat dipakai sebagai topeng. Legislasi populis lahir dari ambisi kekuasaan, lalu dibungkus jargon-jargon kerakyatan seperti UU Cipta Kerja atau UU Konservasi, misalnya.
Yang tak dibahas adalah bagaimana pasal-pasal di dalamnya menyisihkan partisipasi publik dan menyempitkan ruang diskusi. Di dalamnya, kepentingan ekonomi dan politik tersembunyi di balik kata-kata yang terdengar mulia.
Dalam negara populis, rakyat bukan subjek politik, melainkan objek simbolik. Mereka dipanggil saat kampanye, dipamerkan saat RUU akan disahkan, dan diklaim telah “dilibatkan”. Tapi jangan tanya mengapa tidak ada risalah sidang yang bisa diakses publik. Atau mengapa audiensi hanya berlangsung 30 menit, tanpa pencatatan suara penolakan.
Rakyat cukup dijadikan angka—70% setuju, 30% bingung, 0% dianggap penting. Demokrasi numerik inilah yang menjadi dasar pengesahan undang-undang. Deliberasi? Terlalu rumit. Yang penting survei puas.
Menurut Jurgen Habermas, hukum yang sah lahir dari diskusi rasional dalam ruang publik yang bebas dan setara. Tapi di negeri ini, ruang publik telah lama disulap menjadi ruang komersial. Argumen moral diganti rating, etika diganti gimmick, diskusi diganti trending topic.
Maka lahirlah legislasi yang tidak berasal dari kehendak rakyat, melainkan dari ilusi kehendak rakyat. Penguasa hanya menyebut nama “rakyat” sesering mungkin agar terdengar sah. Padahal rakyat yang mana, kapan mereka bicara, dan apa yang mereka minta—itu tidak relevan. Yang penting ada frasa “demi rakyat” dalam naskah akademik.
Di era digital, validitas hukum tak lagi diuji oleh logika hukum, melainkan seberapa viral pembahasannya. Legislator lebih banyak mempertimbangkan respons media sosial daripada masukan akademisi. Dan jika undang-undang dikritik, cukup diadakan revisi kecil, diberi label “perbaikan partisipatif”, lalu diunggah dengan filter Instagram.
Bahkan sekarang, hukum dapat dijustifikasi hanya dengan narasi pendek: “Jangan percaya hoaks. Ini demi masa depan bangsa.” Hukum telah menjadi konten, bukan kontrak sosial.
Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi pengawal nilai-nilai dasar konstitusi, kini hanya dianggap tempat mengadu. Kalau menang: “kami menang di MK.” Kalau kalah: “MK sudah tidak netral.” Dalam logika populisme, lembaga yudikatif bukan pilar demokrasi, melainkan sekadar penghalang progres.
Putusan MK pun bisa didekonstruksi lewat framing media: yang penting narasi, bukan argumen hukum. Begitulah kekuasaan simbolik bekerja—mengendalikan makna, bukan fakta.
Karena populisme hanya butuh dukungan, maka mayoritas menjadi segala-galanya. Jika mayoritas anggota DPR setuju, maka sah. Jika mayoritas koalisi mendukung, maka adil. Jika mayoritas buzzer menyebarkan, maka benar.
Logika hukum diganti logika logistik: siapa yang punya suara, dialah yang berkuasa. Etika hanya akan menghambat kecepatan pengesahan. Diskusi publik hanya akan memperpanjang jadwal.
Apa gunanya Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi menafsir pasal dengan seksama, kalau para pembuat undang-undang bisa membantah dengan satu kalimat: “Kami lebih tahu kebutuhan rakyat.” Di tangan populis, tafsir konstitusi hanyalah gangguan ideologis. Yang penting adalah kontrol atas makna.
Dan seperti kata Foucault, yang mengontrol wacana, mengontrol kekuasaan. Dalam konteks ini, legislasi adalah media untuk mengendalikan bagaimana rakyat berpikir tentang kebebasan, kebenaran, dan hukum itu sendiri.
Saat legislasi dibuat bukan oleh deliberasi warga, melainkan oleh ilusi populisme dan imajinasi kekuasaan, maka hukum kehilangan jiwanya. Ia menjadi jasad pasal-pasal yang dipakai untuk menghukum, bukan untuk melindungi. Negara hukum pun menjadi negara simbol, dan demokrasi berubah menjadi drama.
Jadi, jika hukum tak lagi dibentuk lewat logika dan moralitas, apakah ia masih layak disebut hukum? Atau jangan-jangan, kita hanya menyebutnya begitu agar terlihat beradab?