Gratifikasi Rp17 miliar dalam pengadaan di MPR

Mantan Sekjen MPR Ma’ruf Cahyono jadi tersangka, KPK dalami biaya komitmen dan proses pengadaan.

Gratifikasi Rp17 miliar di pengadaan MPR. © Puspa Perwitasari/Antara
Ma'ruf Cahyono mengucapkan sumpah jabatan sebagai Sekretaris Jenderal MPR dalam pelantikan yang berlangsung di Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/2/2016). © Puspa Perwitasari/Antara

Kasus korupsi di lingkungan lembaga legislatif kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, sorotan tajam diarahkan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan tengah menyidik dugaan gratifikasi dalam pengadaan barang dan jasa di lembaga tersebut. KPK usut gratifikasi Rp17 miliar dalam pengadaan di MPR RI bukan hanya menjadi tajuk utama, tetapi juga mempertegas betapa rapuhnya integritas dalam sistem pengadaan barang dan jasa negara.

Dalam keterangannya kepada pers, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengonfirmasi bahwa penyidik mendalami praktik permintaan commitment fee atau biaya komitmen yang diduga menjadi bagian dari modus korupsi. Pernyataan itu disampaikan setelah pemeriksaan dua saksi, yakni seorang wiraswasta bernama Iis Iskandar dan aparatur sipil negara di Setjen MPR RI, Benzoni, pada Kamis, 3 Juli 2025.

Biaya komitmen dalam pengadaan pemerintah bukanlah hal baru. Ia sering kali menjadi gerbang awal terjadinya tindak pidana korupsi yang terstruktur. Dalam kasus ini, KPK usut gratifikasi Rp17 miliar dalam pengadaan di MPR RI dengan menelusuri bagaimana proses permintaan biaya tersebut berlangsung, siapa saja pihak yang terlibat, dan bagaimana aliran dana disamarkan di antara kontrak dan pembayaran resmi.

Budi Prasetyo menyampaikan bahwa selain menggali informasi terkait permintaan commitment fee, penyidik juga menelisik mekanisme pembayaran dalam proses pengadaan barang dan jasa. Ini menjadi poin krusial, mengingat proses pengadaan di institusi negara seharusnya berlangsung transparan dan akuntabel. Namun, dalam praktiknya, celah-celah korupsi sering ditemukan dalam tahap verifikasi, pembayaran, hingga pengadaan fiktif yang dibungkus laporan seolah sah.

KPK telah menetapkan mantan Sekretaris Jenderal MPR RI, Ma’ruf Cahyono, sebagai tersangka dalam perkara ini. Penetapan itu diumumkan pada 23 Juni 2025, hanya beberapa hari setelah KPK menyatakan sedang menyidik kasus baru di lingkungan MPR RI. Ma’ruf diduga menerima gratifikasi sekitar Rp17 miliar dari proyek pengadaan yang sedang disorot.

Dengan penetapan tersangka ini, KPK menegaskan bahwa praktik korupsi di lingkungan legislatif masih sangat rentan, bahkan dilakukan oleh pejabat tinggi yang seharusnya menjadi panutan integritas. Ini bukan hanya mencoreng nama lembaga negara, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap proses legislasi dan representasi rakyat.

Mengapa praktik seperti ini terus berulang? Salah satu jawabannya adalah lemahnya sistem pengawasan internal di lembaga negara. Ketika sistem pengadaan tidak memiliki pengawasan ketat dari internal lembaga maupun publik, peluang penyalahgunaan wewenang terbuka lebar. Dalam konteks ini, KPK usut gratifikasi Rp17 miliar dalam pengadaan di MPR RI harus menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengadaan dan fungsi kontrol yang berjalan selama ini.

Di Setjen MPR RI, proses pengadaan seharusnya melewati sejumlah tahapan ketat: mulai dari perencanaan anggaran, pemilihan penyedia barang dan jasa, hingga audit pelaksanaan. Namun, sebagaimana keterangan KPK, indikasi permintaan biaya komitmen justru muncul di awal proses, menandakan bahwa pengawasan sudah lemah sejak tahap inisiasi proyek. 

Adalah ironi ketika lembaga tertinggi negara yang mengemban tugas konstitusional justru menjadi ladang subur bagi korupsi. MPR RI memegang mandat penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk mengamendemen UUD, melantik presiden, dan menjaga prinsip-prinsip demokrasi. Namun, bagaimana publik bisa percaya pada integritas lembaga tersebut ketika Sekretaris Jenderalnya diduga menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri?

Lebih dari itu, kasus ini membuka mata bahwa korupsi tidak lagi terbatas pada sektor eksekutif atau birokrasi daerah. KPK usut gratifikasi Rp17 miliar dalam pengadaan di MPR RI menunjukkan bahwa bahkan di pusat kekuasaan, korupsi tetap mengakar. Ini adalah krisis moral dan kelembagaan yang perlu ditanggapi secara serius, tidak cukup hanya dengan penegakan hukum. 

Penindakan adalah satu hal, tetapi pencegahan jauh lebih penting. Dalam konteks kasus ini, reformasi menyeluruh dalam sistem pengadaan barang dan jasa di semua lembaga negara adalah keniscayaan. Proses lelang harus dibuat transparan dengan sistem digital yang terintegrasi dan terbuka untuk diawasi publik.

KPK juga perlu memperkuat kolaborasi dengan BPK, LKPP, dan Ombudsman dalam membangun sistem pengadaan yang berbasis transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia di lingkungan legislatif menjadi penting agar para pelaksana pengadaan memahami secara utuh regulasi dan risiko hukum dalam setiap pengambilan keputusan.

Publik menaruh harapan besar pada KPK untuk menindak tegas para pelaku korupsi, termasuk di lingkungan legislatif. Namun, kepercayaan itu juga rentan terkikis jika proses penyidikan tidak diiringi transparansi. Oleh karena itu, keterbukaan informasi menjadi faktor penting dalam menjaga kredibilitas lembaga antirasuah.

Dalam hal ini, penyampaian rutin progres penyidikan kepada publik perlu dilakukan. Apakah ada pihak lain yang ikut menerima aliran dana Rp17 miliar tersebut? Apakah praktik gratifikasi ini sudah berlangsung lama? Apakah ada jaringan sistemik yang melibatkan pihak luar MPR? Semua pertanyaan itu harus dijawab oleh proses hukum yang berjalan secara objektif dan terbuka.

Kasus KPK usut gratifikasi Rp17 miliar dalam pengadaan di MPR RI bukan sekadar cerita kriminal. Ini adalah cerminan dari sistem yang bobrok dan minim pengawasan. Jika tidak segera diperbaiki, maka kasus serupa akan terus muncul, dan makin banyak uang rakyat yang digelapkan demi kepentingan pribadi pejabat negara.

Publik harus terus mengawasi, media harus tetap kritis, dan lembaga negara harus berani melakukan introspeksi. MPR bukan hanya simbol kekuasaan, tetapi juga simbol tanggung jawab. Ketika simbol itu tercemar, maka demokrasi kita pun terancam.

Lainnya

Posting Komentar