APBN terancam defisit karena program Prabowo

Tantangan pelaksanaan APBN 2025 makin besar akibat defisit anggaran dan ambisi program unggulan.

APBN terancam defisit karena program prioritas Prabowo. © Asprilla Dwi Adha/Antara
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) bersama Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu (kanan) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) mengikuti Rapat Kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/7/2025). © Asprilla Dwi Adha/Antara

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedang memasuki wilayah yang sangat genting. Bukan hanya karena kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, tetapi juga karena penambahan berbagai program prioritas baru yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR pada Kamis, 3 Juli 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan dengan tegas bahwa APBN terancam defisit dalam skala yang cukup besar.

"Pelaksanaan APBN 2025 sangat menantang karena lingkungan yang berubah sangat dinamis dan juga karena ada prioritas-prioritas baru dari Presiden," kata Sri Mulyani. Ia menambahkan bahwa kebijakan baru ini difokuskan untuk meningkatkan kinerja ekonomi nasional dan memperkuat pertahanan negara. Namun, semangat ekspansi tersebut tidak serta-merta datang dengan kemampuan pendanaan yang seimbang.

Salah satu sumber tekanan terbesar dalam struktur APBN tahun ini datang dari ambisi program-program baru yang membutuhkan alokasi dana masif. Di antara program tersebut, makan bergizi gratis menjadi sorotan utama karena menguras anggaran sebesar Rp 71 triliun. Program lain seperti revitalisasi sekolah, pemeriksaan kesehatan gratis, sekolah rakyat, penguatan Koperasi Desa Merah Putih, serta pembangunan perumahan, juga menambah tekanan terhadap kas negara.

Sayangnya, lonjakan kebutuhan belanja ini tidak diiringi oleh lonjakan serupa di sisi penerimaan negara. Pemerintah memperkirakan realisasi defisit akan menyentuh angka Rp 662 miliar atau sekitar 2,78 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Dalam situasi ini, Sri Mulyani mengusulkan untuk menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 85,6 triliun pada semester kedua 2025 sebagai solusi jangka pendek menambal kekurangan tersebut.

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Wihadi Wiyanto, menanggapi usulan tersebut dengan nada mendukung. Ia menyebut penggunaan SAL sebagai langkah strategis untuk menghindari tekanan pasar keuangan. "Penerbitan utang tidak bisa kita memperbesar terus," ujar politisi Partai Gerindra itu.

Namun, di balik argumen penggunaan SAL, mengintai persoalan struktural yang lebih dalam. SAL memang bisa menjadi solusi sementara, tetapi tidak cukup untuk menopang APBN jika defisit terus membesar. Ketergantungan pada SAL adalah tanda bahwa sistem fiskal kita belum cukup kuat untuk membiayai ambisi pemerintah tanpa bergantung pada cadangan.

Pemerintah tampaknya sadar akan hal ini. Wihadi sendiri menyampaikan bahwa penerimaan negara tetap harus ditingkatkan agar defisit bisa ditekan. Meski menunjukkan tren positif, potensi penerimaan belum bisa mengejar laju pengeluaran. “Kita harapkan ada kenaikan-kenaikan tambahan (penerimaan negara),” kata dia. Namun, harapan saja tidak cukup untuk menghindari ancaman nyata dari defisit yang semakin besar.

Pertanyaan yang harus kita ajukan hari ini adalah: apakah Indonesia siap membiayai semua program prioritas Prabowo dengan kapasitas fiskal yang ada? Meningkatkan kualitas hidup masyarakat tentu sebuah cita-cita mulia. Tapi jika kebijakan ini dipaksakan tanpa basis fiskal yang kuat, maka ujungnya bisa menjadi bumerang: baik terhadap kredibilitas fiskal maupun stabilitas ekonomi nasional.

Kebijakan seperti makan bergizi gratis dan pemeriksaan kesehatan gratis memiliki daya tarik politik yang luar biasa. Namun, kebijakan populis semacam ini harus dihitung secara cermat agar tidak menimbulkan dampak fiskal jangka panjang. Terlebih jika pendanaan berasal dari utang atau cadangan yang tidak bisa diandalkan terus-menerus.

Masalahnya bukan pada program itu sendiri, melainkan pada timing dan kapasitas fiskal negara. Sri Mulyani telah lama dikenal sebagai penjaga disiplin fiskal Indonesia. Ketika ia mulai memberikan sinyal waspada, maka publik perlu mendengarnya dengan seksama. Ini bukan sekadar angka, melainkan persoalan keberlanjutan fiskal negara.

Indonesia sudah pernah mengalami krisis akibat defisit anggaran dan pemborosan fiskal. Krisis ekonomi 1998 menjadi bukti nyata betapa pentingnya pengelolaan anggaran yang hati-hati. Kini, dengan dinamika global yang tak kalah menantang, termasuk tensi geopolitik, perlambatan pertumbuhan Tiongkok, serta ketidakpastian suku bunga di Amerika Serikat, kita tidak bisa gegabah dalam merancang APBN.

Di sisi lain, publik juga harus mulai memahami bahwa tidak semua janji kampanye bisa dieksekusi sekaligus. Politik anggaran bukan hanya soal niat baik, tetapi juga soal kapasitas riil. Jika semua dilakukan sekaligus, maka kemungkinan besar negara akan mengalami kekurangan anggaran yang berujung pada utang atau pemotongan belanja lain yang lebih penting.

Jika Presiden Prabowo tetap ingin menjalankan program prioritasnya, maka perlu ada reformulasi terhadap skema pembiayaannya. Salah satu opsinya adalah merealokasi anggaran dari pos yang kurang produktif ke program-program prioritas. Selain itu, reformasi perpajakan menjadi syarat mutlak jika negara ingin menambah penerimaan secara signifikan tanpa terus mengandalkan utang.

Optimalisasi penerimaan dari sektor pajak digital, penguatan pengawasan terhadap wajib pajak besar, hingga transparansi dana transfer daerah, bisa menjadi langkah awal. Tanpa itu semua, ancaman defisit akan terus menghantui setiap APBN yang dirancang.

Pemerintah juga bisa mempertimbangkan pendekatan bertahap dalam menjalankan program prioritas. Alih-alih meluncurkan semua program secara bersamaan, skema pilot project di daerah tertentu bisa menjadi cara untuk mengukur efektivitas dan efisiensi kebijakan sebelum diterapkan secara nasional.

Kita tidak sedang membicarakan ancaman yang jauh di masa depan. APBN terancam defisit adalah kenyataan yang sudah di depan mata. Pemerintah harus segera melakukan langkah korektif, bukan hanya dengan menambal defisit secara darurat melalui SAL, tetapi dengan menata ulang keseluruhan struktur belanja dan penerimaan negara.

Jika tidak, maka cita-cita mulia untuk membangun Indonesia melalui program unggulan bisa berujung pada penurunan kepercayaan investor, pelemahan rupiah, hingga tekanan terhadap daya beli masyarakat akibat inflasi.

Narasi pertumbuhan ekonomi yang kuat harus berjalan seiring dengan pengelolaan fiskal yang disiplin dan berkelanjutan. Dalam hal ini, suara Sri Mulyani patut menjadi alarm bagi seluruh pemangku kebijakan di negeri ini.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar