UU KSDAHE ancam ruang hidup masyarakat adat

UU Konservasi dinilai abaikan hak adat, rawan kriminalisasi komunitas lokal.

UU KSDAHE ancam ruang hidup masyarakat adat. © Basri Marzuki/Antara
Foto udara memperlihatkan bentangan hutan purba Ranjuri di Desa Beka, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat (14/2/2025). © Basri Marzuki/Antara

Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) tampaknya membawa lebih banyak kecemasan dibanding harapan, terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini hidup berdampingan secara lestari dengan alam. Alih-alih menjadi payung hukum konservasi yang melindungi ekosistem dan manusia, UU KSDAHE ancam ruang hidup masyarakat adat melalui pendekatan konservasi yang justru meminggirkan kelompok rentan.

Permohonan uji formil terhadap undang-undang ini telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi sejak September 2024. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan sejumlah individu menilai proses pembentukan UU ini mengabaikan prinsip partisipatif, tidak memperhatikan asas kemanfaatan, dan justru membuka peluang kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

UU KSDAHE dinilai menyimpan bias struktural yang berpihak pada kepentingan korporasi. Fahrizal Dirhan dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menegaskan bahwa UU KSDAHE ancam ruang hidup masyarakat adat, terutama karena membuka celah kriminalisasi terhadap mereka yang mempertahankan hidup di kawasan konservasi.

Dalam diskusi publik yang digelar pada 4 Juli 2025, Fahrizal menyatakan bahwa banyak masyarakat adat dikriminalisasi hanya karena menjalankan kehidupan sebagaimana yang diwariskan leluhur mereka. Di Halmahera misalnya, masyarakat adat dibatasi aksesnya ke hutan dan laut, sementara di tempat yang sama, konsesi tambang nikel justru dibiarkan beroperasi.

Kondisi ini jelas memperlihatkan standar ganda negara: masyarakat adat yang menjaga alam dianggap melanggar, tetapi korporasi yang merusaknya diberi izin eksploitasi.

Salah satu alasan kuat mengapa UU KSDAHE ancam ruang hidup masyarakat adat adalah nihilnya partisipasi publik, khususnya dari pihak yang terdampak langsung oleh undang-undang ini. Dalam sidang perdana di MK Oktober 2024, para pemohon menyatakan bahwa undang-undang ini tidak bermanfaat dan tidak berdaya guna.

Tidak dilibatkannya masyarakat adat dalam penyusunan UU KSDAHE menunjukkan bahwa negara masih memandang konservasi secara sempit—hanya sebagai perlindungan ruang fisik tanpa mempertimbangkan dimensi sosial dan kultural yang menyertainya.

Penamaan istilah “preservasi” dalam UU ini, sebagaimana dikritik para ahli konservasi, bahkan telah salah kaprah sejak awal. Preservasi yang seharusnya mengandung semangat perlindungan berkelanjutan, malah dijadikan justifikasi untuk membuka ruang eksploitasi sumber daya.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, menyebut UU ini sebagai kelanjutan dari paket regulasi sebelumnya, yakni UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, yang selama dua dekade terakhir justru memperparah kerusakan hutan dan peminggiran masyarakat adat.

Menurut Zenzi, pemisahan antara manusia dan wilayah hidupnya dalam logika regulasi konservasi telah menyebabkan hutan kita rusak, sementara jutaan rakyat tidak memiliki tanah dan rumah. Konservasi yang memisahkan manusia dari alamnya adalah warisan kolonial yang gagal memahami bahwa masyarakat adat memiliki sistem pengetahuan ekologis yang terbukti mampu menjaga alam.

Karena itu, UU KSDAHE ancam ruang hidup masyarakat adat bukan hanya secara hukum, tapi juga secara kultural dan ekologis.

Zenzi menyatakan bahwa perubahan UU KSDAHE seharusnya menjadi momentum untuk memulihkan hak dan peradaban masyarakat adat yang selama ini dirusak oleh regulasi konservasi. UU ini semestinya tidak hanya berbicara soal satwa, tumbuhan, atau tanah semata, tetapi juga tentang manusia sebagai bagian dari ekosistem.

Sayangnya, UU KSDAHE justru memperkuat narasi negara sebagai satu-satunya aktor konservasi, dengan mengabaikan peran vital masyarakat adat yang selama berabad-abad menjaga hutan, laut, dan gunung sebagai bagian dari kehidupan mereka. Inilah sebabnya UU KSDAHE ancam ruang hidup masyarakat adat secara menyeluruh.

Dalam pembelaannya, pemerintah melalui Komisi III DPR dan Kementerian Kehutanan menyebut bahwa pasal-pasal dalam UU KSDAHE sudah mengakomodasi keberadaan masyarakat adat. Pasal 37 ayat 3 disebut sebagai bentuk pelibatan masyarakat hukum adat dalam konservasi.

Namun, kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya. Pelibatan itu hanya terjadi secara formal di atas kertas, bukan dalam proses substansi penyusunan maupun implementasi kebijakan. Bahkan, hingga hari ini, banyak komunitas adat yang masih menghadapi intimidasi, perampasan lahan, dan pelabelan sebagai pelanggar hukum di kawasan konservasi.

Satyawan Pudyatmoko dari Ditjen KSDAE Kementerian Kehutanan mengklaim UU ini memberi ruang kepada masyarakat adat, tetapi tidak menjelaskan bagaimana perlindungan itu diwujudkan di tengah masifnya izin industri ekstraktif di kawasan konservasi.

Konservasi tanpa manusia hanyalah mitos dalam konteks Nusantara. Di Indonesia, hampir setiap wilayah yang hari ini masih hijau dan lestari adalah wilayah yang dijaga oleh masyarakat adat. Mereka bukan ancaman, melainkan sekutu bagi alam.

Karena itu, solusi bagi konservasi Indonesia bukanlah mengusir manusia dari hutannya, melainkan menjadikan masyarakat adat sebagai garda terdepan pengelolaan ekosistem.

UU KSDAHE harus direvisi secara fundamental dengan paradigma baru yang mengakui hak hidup, hak budaya, dan hak ekologis masyarakat adat sebagai bagian utuh dari konservasi.

Dengan uji formil yang kini berjalan di Mahkamah Konstitusi, terbuka peluang untuk membatalkan UU KSDAHE dan menyusun ulang regulasi konservasi yang adil, partisipatif, dan berkelanjutan.

Jika MK gagal membatalkan undang-undang ini, maka UU KSDAHE ancam ruang hidup masyarakat adat akan menjadi babak baru dari sejarah panjang perampasan ruang hidup atas nama konservasi. Sebaliknya, jika MK memihak keadilan ekologis, maka akan lahir harapan baru bagi masyarakat adat yang selama ini menjaga warisan hayati Nusantara dengan tangan dan hati mereka sendiri.

Lainnya

Tentang

Anna Fadiah
Menulis bisnis dan ekonomi, kadang mengomentari isu lingkungan.

Posting Komentar