Drama dalam empat pulau milik Aceh

Polemik empat pulau Aceh yang tiba-tiba "dimiliki" Sumatera Utara bikin publik bertanya: siapa sebenarnya yang butuh GPS, warga atau negara?
Drama dalam empat pulau milik Aceh. © Riza Azhari/iStock
Kelapa muda. © Riza Azhari/iStock

Pernah dengar cerita pulau yang pindah provinsi karena surat? Kalau belum, selamat datang di Republik Fantasi Administrasi, di mana sejarah, hukum, dan harga diri bisa dibatalkan oleh selembar Kepmen dan beberapa kalimat pasif-agresif dari pejabat pusat. Ya, kisah ini tentang bagaimana empat pulau Aceh dipindah ke Sumut bukan lewat referendum atau revolusi, tapi lewat kertas dan stempel. Dunia nyata kalah cepat dibanding imajinasi birokrat.

Pulau Panjang, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, dan Lipan — empat nama yang mungkin dulu cuma disebut dalam peta sekolah dasar — kini jadi rebutan tingkat tinggi. Saking panasnya, Prabowo sampai turun tangan. Tapi sebelum kita berharap Presiden bisa jadi wasit, mari kita telusuri dulu kelucuan yang dibungkus dalam drama ini.

Segalanya dimulai ketika Menteri Dalam Negeri, seperti sedang mencoba fitur baru Microsoft Excel, tiba-tiba memutakhirkan data wilayah dan... abrakadabra, empat pulau yang sejak era Presiden Soekarno masuk wilayah Aceh, sekarang dinyatakan milik Sumatera Utara. Namanya juga update — cuma kali ini bukan aplikasi, tapi peta bangsa.

Kalau warga Aceh kaget, wajar. Mereka bangun pagi, baca portal berita, lalu sadar sebagian wilayahnya sudah pindah provinsi. Bayangkan Anda punya kamar kos, lalu tiba-tiba pemilik kontrakan bilang, "Mulai hari ini, kamarmu jadi milik tetangga sebelah. Karena survei kami bilang dia lebih deket ke dapur."

Lebih lucu lagi, Kementerian Dalam Negeri yang harusnya jadi penjaga netral malah tampil seperti MC pertandingan tinju yang menyodorkan sabuk ke satu kubu, lalu bilang, "Kalau nggak setuju, silakan ke PTUN."

Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf alias Mualem, tentu saja tidak tinggal diam. Dalam bahasa yang lebih blak-blakan dari pidato kenegaraan mana pun, beliau bilang, "Macam mana kita duduk bersama, itu kan hak kami, kepunyaan kami, milik kami."

Terjemahan bebasnya: "Ngapain kompromi kalau yang diambil itu barang kami dari awal?" Tentu kita bisa berdebat panjang soal administrasi dan yuridiksi, tapi coba dulu jawab pertanyaan sederhana ini: Apa yang membuat empat pulau itu, yang sejak 1956 masuk wilayah Aceh, tiba-tiba berubah jadi properti Sumut? Jawabannya ternyata bukan gas, bukan minyak, tapi spreadsheet dan SK.

Sumut, tentu saja, tak mau ketinggalan. Gubernur Bobby Nasution — menantu Presiden Jokowi — langsung bilang, "Kami ikut pusat." Ya, masuk akal. Tapi siapa yang untung duluan kalau tiba-tiba Aceh kehilangan tanah?

Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti, menyarankan agar Aceh menempuh jalur PTUN sesuai arahan Kemendagri. Warga Aceh diminta tenang. Kalau begitu caranya, mungkin nanti kalau rumah Anda dicaplok tetangga, Anda diminta lapor ke RT dengan surat permohonan materai Rp10.000.

Ketika situasi makin absurd, datanglah Jusuf Kalla membawa MoU Helsinki seperti tokoh agama membawa kitab suci. JK, sebagai saksi hidup perjanjian damai GAM dan pemerintah Indonesia, mengingatkan: batas Aceh itu sudah final — berdasar UU Nomor 24 Tahun 1956.

Tapi tampaknya, Mendagri kita lebih percaya spreadsheet daripada sejarah. Menurut JK, "Keputusan menteri tidak bisa mengubah undang-undang." Tapi di negeri ini, kadang logika malah terlihat seperti hoaks, sementara keputusan ngawur terasa seperti SOP.

JK menyebut, bagi Aceh, ini bukan soal pulau kecil, tapi harga diri. Dan harga diri bukan barang yang bisa copy-paste ke provinsi sebelah hanya karena jaraknya lebih strategis. Ini bukan soal kelola bersama, ini soal siapa yang punya hak.

Melihat drama ini makin tidak lucu, Presiden Prabowo turun tangan. Lewat pernyataan Sufmi Dasco Ahmad, kita tahu bahwa Prabowo akan menyelesaikan ini dalam seminggu. Cepat juga, ya? Padahal perkara sengketa tanah keluarga bisa bertahun-tahun, ini sengketa empat pulau bisa selesai dalam tujuh hari — semoga bukan karena ingin tampil 80,8% di survei kepuasan publik.

Tapi apakah Prabowo akan mengembalikan pulau ke Aceh? Atau malah melegalkan Keputusan Mendagri atas nama stabilitas? Kita belum tahu. Tapi satu hal yang pasti: ketika pusat tak bisa mengelola urusan wilayah dengan hormat, maka warga negara akan mulai mempertanyakan legitimasi.

Polemik empat pulau Aceh dipindah ke Sumut ini bukan hanya soal pulau. Ini soal watak. Apakah pusat masih punya sikap hormat terhadap sejarah dan konstitusi, atau sudah berubah jadi birokrasi yang doyan main pindah-pindah lewat SK?

Kalau empat pulau bisa dipindah lewat surat, maka jangan kaget suatu hari desa Anda dipindahkan ke provinsi lain karena "pertimbangan efektivitas." Negara ini tak kekurangan tanah, tapi mungkin kekurangan rasa malu.

Dan kalau satu-satunya solusi adalah PTUN, maka bersiaplah kita untuk menyaksikan drama babak baru: Aceh vs Republik Absurd.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar