![]() |
Angin berhembus di pantai. © Alvaro Bueno/iStock |
Selamat datang di negeri absah-absahan. Di sini, pulau bisa dipindah lewat surat, sejarah bisa dikoreksi pakai cap Kemendagri, dan hukum tinggal lampiran.
Empat pulau Aceh dipindah ke Sumut bukan lewat gerakan lempeng bumi, tapi lewat selembar surat dari Jakarta. Kalau bumi bisa menangis, mungkin sudah longsor malu. Pulau Mangkir Kecil, Mangkir Besar, Panjang, dan Lipan kini secara ajaib — seperti trik sulap kelas dua — dinyatakan milik Tapanuli Tengah, padahal sejarah, hukum, dan masyarakat setempat bilang: itu Aceh, bos!
Dalam logika waras, memindahkan wilayah seharusnya melalui undang-undang atau referendum. Tapi di republik ini, cukup pakai surat keputusan dan satu stempel yang disahkan sambil ngopi di ruangan ber-AC.
Lalu muncul Jusuf Kalla, tokoh senior yang, meski dua kali jadi wakil presiden, tetap merasa perlu menyuarakan logika sederhana: ini soal harga diri Aceh, bukan minyak. Meski siapa tahu, gas dan minyak ikut tersinggung juga karena namanya disebut-sebut tanpa diundang.
Dalam Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, empat pulau di perairan Aceh Singkil secara resmi masuk wilayah Tapanuli Tengah. Pemerintah pusat berdalih: survei telah dilakukan, koordinat sudah dicek, dan keputusan diambil demi efektivitas administratif. Ah, klasik.
Efektivitas? Untuk siapa? Apakah yang dimaksud adalah efektivitas menghilangkan batas-batas sejarah dan konstitusi? Atau efektivitas membuat masyarakat di dua provinsi mulai saling curiga? Kalau itu tujuannya, selamat. Efektivitasnya 100 persen.
Apalagi Aceh bukan provinsi biasa. Ia adalah daerah istimewa dengan status otonomi khusus, hasil perjanjian damai-berdarah. Tapi rupanya, dalam kacamata birokrasi pusat, "khusus" itu hanya sebatas judul, tanpa bab dan pasal.
Kalau Kepmen bisa mengalahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, mungkin kita bisa ganti buku hukum dengan majalah birokrasi. Lebih ringan dibaca, walau lebih berat dampaknya.
JK bilang, "Ya, itu pulaunya tidak terlalu besar. Jadi, bagi Aceh itu harga diri." Sederhana. Jelas. Dan menyentil. Sebab dalam logika bangsa besar, harga diri itu tidak diukur dari luas wilayah, melainkan dari bagaimana negara menjaga kehormatan wilayahnya — termasuk milik warga Aceh.
Apalagi perjanjian Helsinki 2005 sudah mengatur batas Aceh berdasarkan UU lama, yang dalam teori hukum kita, tidak bisa dipatahkan oleh Kepmen. Tapi seperti biasa, kalau sudah berbau politik dan ego wilayah, hukum seringkali cuma aksesoris.
JK pun jujur mengatakan, "Mungkin nanti ada gas, tapi sekarang belum." Jadi kita tahu motif ekonomi itu belum ada. Tapi siapa tahu? Ah, justru itu masalahnya. Pemerintah pusat seolah terburu-buru mengamankan "potensi", bahkan sebelum potensi itu jadi nyata.
Kalau memang tidak ada apa-apa di sana, kenapa dipindah? Dan kalau alasannya hanya administrasi, mengapa tidak ada pembicaraan dengan Pemerintah Aceh sebelumnya? Jangan-jangan ini seperti cerita rebutan lahan kosong karena kabarnya akan dibangun mal.
Pemerintah Aceh bilang akan menempuh pendekatan kekeluargaan. Indah sekali. Tapi sayangnya, pemerintah pusat sudah telanjur seperti saudara sepupu yang tiba-tiba datang dan menempel stiker nama sendiri di kulkas rumah kita.
Mungkin memang harusnya pendekatannya bukan kekeluargaan, tapi pendekatan psikiatri. Karena hanya orang yang kehilangan nalar yang bisa memindahkan pulau orang lain sambil bilang: "Kami sudah verifikasi."
Kalau kita lihat bukti yang dikantongi Aceh — mulai dari peta kolonial, surat agraria 1965, RTRW Aceh Singkil, hingga UU pembentukan kabupaten — narasi bahwa empat pulau itu milik Aceh bukan cuma kuat, tapi nyaris tak tergoyahkan.
Tapi ya, dalam republik ini, kadang peta kalah oleh niat, dan niat itu sering tertuang dalam dokumen birokrasi yang tidak bisa diuji kecuali sudah terjadi kegaduhan.
Seorang senator asal Aceh bilang, "Ngapain ke PTUN? Itu pulau milik kami kok." Dan memang betul, kenapa warga Aceh harus menggugat negara hanya untuk mempertahankan wilayah yang sejak awal sudah jelas milik mereka?
Apakah nanti, demi 'efisiensi', istana Bogor akan dipindahkan ke Bandung karena lebih dekat dengan tol?
Mari kita ingat: Aceh bukan daerah yang asing dengan konflik. Butuh waktu dan darah untuk menyepakati perdamaian. Dan sekarang, pemerintah pusat datang dengan SK yang bisa memicu kembali bara lama.
Ini bukan soal nasionalisme. Ini soal keadilan dan kejujuran. Kalau memang ingin menjaga persatuan, pusat harus belajar menghormati sejarah dan konstitusi, bukan sekadar bermain-main dengan alat ukur administratif.
JK benar: harga diri tidak bisa diukur pakai GPS. Ia tumbuh dari sejarah, dari pengorbanan, dan dari hak yang sah. Kalau pusat terus sembrono, jangan heran kalau warga negara kembali bertanya: untuk siapa negara ini berdiri?