Festival Sasawangan dan layang-layang harapan

Warna-warni layang-layang dan semangat warga sambut tahun baru Islam di Pantai Batu Hiu.

Festival Sasawangan dan layang-layang harapan. © Adeng Bustomi/Antara
Peserta bersiap menerbangkan layang-layang dalam Festival Sasawangan di Pantai Batu Hiu, Pangandaran, Jawa Barat, Kamis (26/6/2025). © Adeng Bustomi/Antara

Sore itu, langit biru di atas Pantai Batu Hiu tampak seperti kanvas raksasa yang sedang direbut oleh puluhan seniman amatir bersenjatakan layang-layang. Aneka bentuk dan warna berseliweran di udara, dari naga berkumis, burung bermahkota, hingga bentuk yang tak jelas asal-usulnya tapi tetap diterbangkan dengan bangga. Semuanya bagian dari festival Sasawangan, sebuah tradisi masyarakat Pangandaran yang diadakan dalam rangka menyambut tahun baru Islam.

Sebuah bentuk spiritualitas yang bisa dijangkau dengan benang.

Dalam festival ini, warga dari berbagai desa sekitar berkumpul sejak pagi. Tidak ada dreskod. Tidak ada tiket masuk. Hanya perlu satu layangan, benang yang cukup panjang, dan keyakinan bahwa langit sedang lowong untuk menyambut harapan baru.

Panitia festival, Jajat Sudrajat, menyebut bahwa festival Sasawangan bukan hanya soal hiburan, tapi bagian dari perayaan 1 Muharram 1447 Hijriyah. Dan seperti biasa, layang-layang menjadi simbol spiritual yang bisa diterjemahkan bebas: dari alat pencari sinyal pengampunan hingga representasi kebebasan dari dosa-dosa tahun lalu.

Masyarakat Pangandaran tampaknya menemukan solusi jitu untuk semua tekanan hidup: menerbangkan harapan ke angkasa. Tidak perlu seminar motivasi, tidak perlu lembar kerja resolusi. Cukup selembar plastik warna-warni, sedikit bambu, dan angin laut yang loyal. Kalau Tuhan sedang luang, mungkin harapan itu nyangkut juga di langit.

Layang-layang bukan hanya mainan anak kecil. Di tangan masyarakat Pantai Batu Hiu, ia menjadi instrumen sakral untuk menyambut tahun baru Islam. Di tengah zaman digital, ritual ini terasa seperti pengingat bahwa tidak semua harapan harus diketik dan dikirim via Google Form.

Layang-layang, dengan semua kesederhanaannya, masih dipercaya sebagai pengantar spiritual. Dan jika itu tidak cukup, warnanya yang cerah bisa jadi terapi visual untuk masyarakat yang penat dengan warna kelabu politik dan cuaca ekonomi yang tak menentu.

Panitia festival Sasawangan tidak main-main. Meskipun tradisi ini terlihat santai, sebenarnya kompetisinya cukup ketat. Ukuran layangan ditetapkan: maksimal dua meter, minimal delapan puluh sentimeter. Terlalu besar? Diskualifikasi. Terlalu kecil? Anggap saja itu simbol kesederhanaan, tapi tetap tidak masuk penilaian.

Panjang tali pun diatur. Para peserta harus memulai dari jarak 50 meter dari garis batas, mungkin agar tidak saling menginterupsi spiritualitas satu sama lain. Setiap babak penerbangan terdiri dari 15 hingga 30 peserta, cukup untuk menciptakan langit yang ramai tapi tidak semrawut.

Dan pemenangnya? Layangan yang paling lama bertahan di udara. Sederhana. Sebuah metafora dari kehidupan itu sendiri: siapa yang bisa bertahan paling lama di atas, dialah yang dipuja.

Menurut Jajat, festival Sasawangan tahun ini lebih meriah karena ada peserta dari luar daerah, seperti Cilacap. Ini membuktikan bahwa spiritualitas tidak mengenal batas administratif. Bahkan, benang layangan pun sanggup menembus perbatasan kabupaten, sesuatu yang seharusnya bisa dicontoh oleh birokrasi.

Kehadiran peserta dari luar daerah juga memperlihatkan bahwa festival ini tak hanya ajang lokal, tapi pelan-pelan menjadi bentuk diplomasi budaya regional. Siapa tahu ke depan, layangan-layangan ini bisa menjalin hubungan antardaerah yang lebih kuat daripada surat edaran.

Tak cukup hanya dengan layangan, festival Sasawangan juga diiringi dengan hajat laut—sebuah ritual persembahan kepada laut yang dianggap sebagai entitas spiritual yang ikut menjaga keseimbangan hidup masyarakat pesisir. Sebuah bentuk kolaborasi antara manusia, alam, dan kearifan lokal.

Hajat laut ini menjadi pelengkap yang sempurna. Setelah harapan diterbangkan ke langit lewat layangan, kini giliran lautan menerima sesajen. Langit dan laut pun bekerja sama dalam mengurus permohonan umat manusia. Dan manusia? Mereka cukup berdoa dan berharap angin tidak mati mendadak.

Di tengah festival, terlihat anak-anak berlari mengejar layangan yang putus, remaja sibuk menyetel benang agar stabil, dan orang tua menyemangati dari balik tikar. Semua larut dalam euforia kolektif. Tidak ada algoritma yang menentukan siapa lebih viral, karena di langit, semua layangan punya hak yang sama untuk terbang.

Tradisi ini mengajarkan bahwa spiritualitas tidak harus serius dan kaku. Ia bisa hadir dalam tawa, dalam permainan, dalam angin, dan dalam upaya menerbangkan sesuatu yang mudah jatuh tapi tetap dicoba lagi. 

Tahun baru Islam biasanya diisi dengan acara pengajian, zikir bersama, atau setidaknya postingan Instagram dengan kaligrafi dan quote tentang hijrah. Tapi di Pangandaran, tahun baru Islam dirayakan dengan layangan. Bukan karena tak ada pilihan lain, tapi karena mereka memilih untuk merayakan harapan dengan cara yang mengakar pada budaya dan angin lokal.

Festival Sasawangan mungkin tidak viral di TikTok, tapi ia hidup di dalam hati masyarakat yang percaya bahwa warisan budaya tidak harus berisik untuk tetap berpengaruh. Cukup terbang di langit, dan diam-diam menggerakkan harapan.

Festival Sasawangan tidak butuh sponsor besar, tidak perlu panggung megah, dan tidak harus diliput media nasional untuk dianggap penting. Karena dalam kesederhanaan itulah letak kekuatannya. Warga saling bantu, saling tawa, dan saling terbangkan harapan.

Angin menjadi energi terbarukan yang paling murah dan paling menyenangkan. Dan benang? Ia seperti simbol bahwa hidup tetap butuh kontrol, agar layangan tidak lepas kendali. Kombinasi keduanya menciptakan ruang bagi kebahagiaan yang tidak dikapitalisasi.

Di tengah himpitan globalisasi dan algoritma kapitalisme, masyarakat Pangandaran menunjukkan cara bertahan hidup yang elegan: rayakan hidup bersama, libatkan alam, dan percaya pada angin. Mereka tidak mengejar trending topic, tapi mengejar ketinggian layangan.

Karena di langit yang penuh warna itu, ada semacam pengingat bahwa hidup, sesulit apa pun, tetap bisa indah selama kita mau mengangkat kepala dan melihat ke atas.

Siapa tahu, di antara layangan-layangan yang menari itu, ada satu yang membawa harapan kita—dan tidak nyangkut di pohon kelapa tetangga.

Lainnya

Tentang

Novanka Laras
Laras di sini menulis seni dan budaya.

Posting Komentar