Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, kembali menunjukkan kelasnya dalam urusan diplomasi angan-angan. Dalam pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Malaysia Dato' Sri Anwar Ibrahim, ia menegaskan bahwa solusi dua negara—two-state solution—merupakan satu-satunya jalan keluar dari penjajahan Palestina oleh Israel. Pernyataan ini disambut anggukan dan tepuk tangan dari para penonton tetap: para pejabat, diplomat, dan warga negara yang sudah terlalu lelah untuk berharap lebih dari sekadar kata-kata.
Namun mari kita sejenak membuka mata. Prabowo dan two-state solution tak ubahnya seperti mengoleskan salep ke luka yang masih ditusuk peluru. Retorika yang begitu santun, padahal realitasnya begitu bengis.
Di dunia nyata, Israel terus membangun permukiman ilegal, membunuh warga sipil, dan merampas tanah Palestina sedikit demi sedikit. Tapi di podium internasional, para pemimpin dunia, termasuk Prabowo, tetap bersikeras mengulang mantra: two-state solution. Entah karena sungguh percaya, atau karena terlalu nyaman dengan kebohongan kolektif.
Solusi dua negara seharusnya menghadirkan dua negara merdeka yang berdampingan: Israel dan Palestina. Masalahnya, Palestina sebagai negara merdeka bahkan tak punya wilayah utuh, kedaulatan penuh, atau kontrol atas perbatasan dan udaranya.
Sejak Perjanjian Oslo pada 1993 yang kini telah compang-camping, Israel terus memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat, membangun tembok pemisah, dan memblokade Gaza. Apa yang tersisa dari Palestina hanyalah serpihan wilayah yang tak saling terhubung—lebih mirip kantong-kantong kecil ketimbang negara.
Tapi Prabowo tetap menyebut two-state solution sebagai satu-satunya jalan. Jalan menuju ke mana, sebenarnya? Menuju peta yang tak ada? Atau menuju legitimasi penjajahan yang dibungkus diplomasi?
Lebih dari itu, sebelumnya ketika Prabowo berbicara di hadapan Presiden Prancis Emmanuel Macron, ia bahkan menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengakui Israel jika negara itu mengakui Palestina. Retorika ini tampak moderat dan “rasional” bagi para diplomat, tapi terdengar absurd bagi mereka yang benar-benar mengikuti perkembangan di lapangan.
Israel bukanlah kekuatan yang mencari pengakuan—ia telah eksis, didukung penuh oleh kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Prancis. Justru Palestina yang masih terpinggirkan, bahkan oleh negara-negara Arab sendiri. Menawarkan pengakuan terhadap Israel sebagai hadiah atas pengakuan terhadap Palestina hanyalah bentuk lain dari diplomasi yang menyamakan korban dengan pelaku.
Apalagi, ironisnya, di tengah semua retorika itu, Indonesia di bawah Prabowo juga gencar memperkuat kerja sama militer dengan negara-negara Barat. Jangan heran jika kelak negara yang katanya mendukung Palestina itu membeli sistem senjata dari negara-negara yang mendanai dan melindungi penjajahan Israel.
Dalam pidatonya, Prabowo menyebut dukungan Indonesia terhadap Palestina sebagai bagian dari amanat konstitusi. Betul, Pembukaan UUD 1945 memang mengamanatkan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Tapi bagaimana mungkin kita bicara penghapusan penjajahan sambil menyerukan jalan damai kepada penjajah yang tidak pernah menunjukkan itikad untuk berdamai?
Israel hari ini bukanlah negara yang sedang mencari solusi. Ia adalah negara apartheid modern, seperti yang diakui oleh Amnesty International dan Human Rights Watch. Israel membangun sistem hukum ganda, memblokade wilayah, membunuh ribuan warga sipil di Gaza, dan menyebutnya sebagai “tindakan pertahanan”.
Maka, setiap kali seorang pemimpin dunia, termasuk Prabowo, berbicara soal perdamaian melalui two-state solution, yang terdengar bukanlah harapan, tapi pengulangan dari skenario yang gagal total selama 30 tahun terakhir.
Sayangnya, diplomasi Indonesia soal Palestina cenderung kosmetik. Banyak kata, sedikit aksi. Bertahun-tahun kita berdiri di podium PBB, KTT OKI, dan berbagai forum internasional untuk menyampaikan dukungan pada Palestina. Namun apakah kita pernah benar-benar menggunakan kekuatan diplomatik dan ekonomi kita untuk menekan Israel? Tidak.
Apakah kita pernah menghentikan kerja sama dagang dengan perusahaan yang terlibat dalam penjajahan di Tepi Barat? Tidak juga. Apakah kita pernah memboikot produk-produk Israel atau menghentikan ekspor ke negara-negara pendukungnya? Sama sekali tidak.
Yang kita lakukan hanyalah berdiri di panggung, berkata benar, lalu duduk kembali tanpa membuat dampak nyata. Maka wajar jika banyak aktivis Palestina dan simpatisan internasional mulai meragukan ketulusan negara-negara yang katanya mendukung mereka.
Prabowo juga menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengirimkan pasukan perdamaian ke wilayah Palestina. Pernyataan yang terdengar mulia, tetapi sesungguhnya kosong. Bagaimana bisa mengirim pasukan perdamaian jika tidak ada kesepakatan damai? Jika satu pihak terus menyerang dan pihak lain terkepung, pasukan perdamaian akan menjadi dekorasi internasional belaka.
Jangan lupa: pasukan perdamaian PBB di Lebanon Selatan tak pernah bisa menghentikan agresi Israel. Bahkan di Bosnia dan Rwanda, kehadiran pasukan internasional justru menjadi saksi bisu pembantaian. Maka tawaran mengirim pasukan perdamaian ke Gaza hanya bisa dianggap serius jika diiringi tekanan internasional yang nyata—sesuatu yang tidak pernah menjadi prioritas Indonesia.
Presiden Prabowo menutup pernyataannya dengan merujuk pada UUD 1945. Ia menyebut bahwa Indonesia wajib ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial. Tapi, seperti sering terjadi, konstitusi hanya dikutip saat kamera menyala, dan dilupakan saat diplomasi ditukar dengan kepentingan ekonomi dan geopolitik.
Sejarah akan mencatat bahwa kita pernah berdiri di hadapan penjajahan, lalu memilih untuk menyarankan kompromi. Bahwa kita pernah melihat warga negara tertindas, lalu menyarankan mereka agar duduk di meja negosiasi tanpa daya tawar.
Dan ironinya, semua itu dibungkus dalam bahasa yang begitu sopan, formal, dan diplomatis—bahasa yang aman, dan karena itulah tidak mengubah apa-apa.