Prabowo nyatakan perang terhadap korupsi

Presiden Prabowo Subianto bersumpah berantas korupsi dan singkirkan pejabat yang tak setia.

Prabowo nyatakan perang terhadap korupsi. © Seno/Antara
Presiden Prabowo Subianto meresmikan pengoperasian dan pembangunan sejumlah PLTP Blawan Ijen Unit 1 di Bondowoso, Jawa Timur, Kamis (26/6/2025), lewat konferensi video dari Bali. © Seno/Antara

Dalam pidato yang menggema dan penuh semangat di peresmian proyek energi baru terbarukan pada Kamis (26/6), Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, kembali menyatakan sesuatu yang amat revolusioner: Prabowo nyatakan perang terhadap korupsi. Kabar ini jelas membuat warga terpukau, terutama mereka yang masih percaya bahwa korupsi bisa diberantas seperti semut di dapur—asal disemprot habis, selesai urusan.

“Semua kebocoran harus dihentikan!” tegas Prabowo. Pernyataan itu langsung membuat warga negara terenyuh. Bukan karena yakin masalah selesai, tapi karena sudah terlalu sering dengar kalimat yang sama dari presiden sebelumnya. Tapi tetap saja, warga negara itu sabar—selalu siap diberi harapan baru, walau dengan wajah lama.

Dalam upacara Hari Lahir Pancasila, Prabowo menyampaikan satu kenyataan pahit yang sebenarnya sudah basi tapi tetap saja penting diulang: “Terlalu banyak maling yang mencuri uang rakyat.”

Betapa jujur dan menyentuh. Presiden kita mengakui malingnya bukan satu-dua, tapi “terlalu banyak.” Tentu, kalimat ini begitu jujur sampai membuat sebagian warga negara bertanya dalam hati, “Pak, mereka malingnya di mana ya? Boleh tahu daftar namanya?” Tapi tentu saja, seperti biasa, tidak ada yang disebut. Biar warga nebak-nebak sendiri.

Prabowo mendorong masyarakat melapor jika menemukan korupsi. Luar biasa. Setelah sekian dekade warga negara dijadikan korban, kini mereka diberi kehormatan jadi detektif.

“Kalau ada bukti, segera siarkan!” kata Prabowo. Tentu, ini adalah bentuk kepercayaan kepada publik—sekaligus beban baru. Karena di negeri ini, melapor maling bisa lebih berbahaya daripada maling itu sendiri. Terlalu sering pelapor justru diperiksa lebih dulu, sementara yang dilaporkan malah promosi jabatan.

Untuk memperkuat narasi, Prabowo menyebut Pancasila. Sudah menjadi tradisi, setiap kali pejabat bicara soal moral, korupsi, atau keadilan, nama Pancasila wajib disebut.

Pejabat yang tidak setia kepada negara akan disingkirkan, katanya. “Tanpa pandang bulu, tanpa lihat keluarga siapa.” Sebuah kalimat yang indah, meski warga negara sudah tahu persis: kalau yang dilanggar aturan kecil, bisa langsung disikat. Tapi kalau pelanggar duduk di lingkar kekuasaan, biasanya diberi waktu “untuk introspeksi diri.”

“Lebih baik mundur sebelum saya berhentikan!” ucap Prabowo dengan gaya tegas yang khas. Ancaman ini ditujukan kepada pejabat yang tidak mampu bekerja. Sebuah standar yang agung, meskipun warga masih bertanya-tanya: apakah definisi ‘tidak mampu’ itu diukur dari gagal bekerja atau gagal menyenangkan atasan?

Karena sejauh ini, pejabat yang terang-terangan tidak mampu justru sering naik pangkat. Yang terlalu kritis malah menghilang dari siaran pers. Tapi semangat Prabowo patut diapresiasi. Karena apa pun niatnya, melawan korupsi selalu terdengar heroik—meski realisasinya sering tertahan oleh rapat koordinasi tanpa ujung.

Warga negara diminta untuk ikut berjuang memberantas korupsi. Tapi hingga kini, belum jelas siapa yang bertugas memulai dari dalam. Karena sebagian besar lembaga pemberantasan korupsi sudah lebih sibuk dengan pencitraan daripada penyidikan.

Warga negara pun hanya bisa menonton: siapa hari ini yang ditangkap KPK, dan siapa yang akan diselamatkan oleh revisi undang-undang. Dalam suasana seperti ini, wajar jika perang terhadap korupsi terdengar seperti sinetron panjang yang tak kunjung tamat, dengan plot twist yang selalu mengejutkan.

Prabowo menyebut bahwa perang terhadap korupsi adalah kunci menuju kesejahteraan. “Kekayaan kita sangat besar,” katanya, “tapi banyak yang dicuri.” Ini seperti mendengar seseorang bilang, “Makananku banyak, tapi habis dicomot.” Maka warga negara hanya bisa berharap: semoga ke depan yang mencuri lebih sedikit, atau setidaknya lebih ketahuan.

Janji untuk menyejahterakan warga negara melalui perang terhadap korupsi sebenarnya sudah jadi lagu lama. Tapi dengan nada suara baru, mungkin warga negara akan percaya satu kali lagi. Karena dalam demokrasi kita, harapan adalah barang murah yang dijual mahal setiap lima tahun.

Prabowo nyatakan perang terhadap korupsi dengan semangat tinggi dan ancaman keras. Tapi seperti biasa, warga negara masih menunggu: kapan korupsi betul-betul takut, bukan hanya ditakuti.

Kalau warga negara harus jadi pelapor, siapa yang melindungi mereka? Kalau pejabat salah disuruh mundur, siapa yang mengevaluasi? Kalau semua kebocoran harus dihentikan, siapa yang selama ini membuat lubangnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini akan terus mengalir, sementara pidato terus dikumandangkan. Karena dalam republik ini, korupsi adalah musuh bersama—tapi kadang, musuh yang terlalu dekat untuk disingkirkan.

Lainnya

Tentang

Rochem
Mengomentari politik, hukum, dan urusan luar negeri.

Posting Komentar